About YOU

By sindiaasari

3.7K 1.7K 1.8K

Pertemuan yang terjadi antara aku dan kamu, ku anggap bukan sekadar kebetulan. Aku tak menyesalinya, sungguh... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Chapter 36
Chapter 37
Chapter 38
Chapter 39
Chapter 40
Chapter 41
Chapter 42
Chapter 43
Chapter 44
Chapter 45
Extra Chapter

Chapter 13

80 26 49
By sindiaasari

"Kak Revan!"

Ara langsung saja berdiri. Menubruk laki-laki yang dipanggilnya Revan tadi. Memeluknya erat. Menyalurkan rasa rindu yang amat sangat dalam.

Revan yang merasa tidak siap pun ikut terhuyung kebelakang. Berusaha menahan bobot Ara yang sebenarnya tak seberapa itu. "Ara," laki-laki itu cukup kaget dengan kehadiran Ara. Tak segan iapun turut membalas dekapan Ara.

Tinggi Ara yang hanya sebatas bahu lebih mempermudah akses Revan untuk memeluknya. Tak menyangka ia bisa bertemu gadis kecil itu lagi. Setelah sekian lama ia pindah ke Jakarta, ia tak lagi bertemu dengan gadis kecilnya itu. Terlebih lagi kesibukan mengurus cafe membuatnya sulit untuk kembali ke Jogja.

Tetapi hari ini semuanya telah berakhir ia telah bertemu dengan Ara. Rasa rindu yang sempat tak kelihatan ujungnya kini telah ditemukannya. Kini telah melebur.

Cukup lama mereka berpelukan, saling menyalurkan rasa rindu. Keduanya sampai tak sadar kalu masih ada satu manusia dengan wajah cengo sedang melihat keduanya. Terlihat begitu ngenes karena berasa melihat orang yang disuka sedang bertemu dengan pacar aslinya.

Ehem!

"Batuk Pak haji! Uhuk!"

Revan dan Ara sontak saling mengurai pelukannya. Bebarengan menoleh ke arah sumber suara.

"Eh kok udahan?" Farel dengan tampang yang dibuat sok bingung ikut menoleh karena merasa diperhatikan.

Tepat disampingnya Ara memasang muka paling datar yang dimilikinya. Pasalnya ia sungguh kesal dengan tingkah Farel. Ganggu aja sih orang lagi enak-enak pelukan juga!

Ara pun kembali berpaling pada Revan. Tak lupa mengganti raut wajahnya kembali dengan senyuman lebar. "Ihhh kak Revan, kangen tau," ucapnya kembali memeluk.

Farel? Ada yang tau Farel lagi ngapain disana? Tentu saja sedang menyaksikan drama yang menurutnya alay. Dengan tampang gondok ia mengalihkan pandangannya kesembarang arah. Merasa tak suka dengan laki-laki yang bernama Revan tadi.

Siapa dia sih! Udah tua juga, ganteng juga gantengan gue. Ara juga ngapain peluk-peluk segala. Niat awalnya kan mau pdkt eh...

"Katanya laper, Ra! Buruan! Gajadi gue traktir mampus lo."

Ara kembali mengurai pelukannya. Menatap ke arah Farel, "Bodo amat! Gajadi minta traktir orang pelit kaya lo." Kalimatnya ia akhiri dengan juluran lidah.

Farel dibuat melongo dengan jawaban Ara. Duit darimana dia? Katanya nggak bawa dompet.

"Gratis kan kak?"

Seulas senyum terbit di bibir Revan. Diacaknya gemas rambut milik Ara, "Iya,"

Dasar Ara kampret!

"Aaaa tambah sayang deh sama kakak."

"Yaudah duduk dulu gih, kakak ke dalem dulu." Ucap Revan sebelum melangkahkan kakinya.

Ara mengangguk patuh, duduk di bangku yang tadi ditempatinya. Masih dengan senyum yang sedari tadi tak pernah hilang di bibirnya. Ara pikir setelah Revan pindah ia tak akan pernah bisa bertemu dengannya lagi.

Pikiran Ara terlempar begitu saja pada tahun-tahun kebersamaannya dengan Revan saat di Jogja.

Flashback on,

"Kak Revan dorong yang kenceng ih, ini apaan nggak kerasa," omel Ara pada Revan karena kakaknya itu hanya pelan saat mendorong ayunan yang tengah didudukinya.

"Ini udah kenceng tau, kalo ditambahin nanti kamu jatoh lagi."

Ara memberenggut kesal. "Ihh enggak bakalan, cepetan kak inituh apaan nggak kerasa."

Akhirnya Revan pun menururi kemauran Ara, mendorong sedikit kencang ayunan itu. Ara pun memekik kegirangan, tak segan ia ikut menggoyangkan badannya agar ayunan itu semakin kencang.

Hingga tiba-tiba Ara kehilangan keseimbangannya dan berakhir jatuh terjerembab. "Auhh....sakit"

"ARA!" Revan pun buru-buru menghampiri Ara. "Aduhh bangun-bangun, sakit? Mana yang yang sakit? Kamu sih minta dikencengin jadi jatoh beneran kan."

Ara meringis, "ihh kok kakak ngomel sih, Ara lagi sakit ini. Perih tau," ucapnya sembari mengibaskan tangannya serta meniupi lututnya yang luka.

"Kamu juga sih, udah tunggu sini dulu kakak ke apotek bentar."

Tak berapa lama pun Revan kembali dengan membawa kantong kresek yang berisi kapas beserta alkohol untuk membersihkan luka Ara. Dengan telaten Revan mengobatinya dengan sesekali meniup-niupnya.

"Nah udah, makannya nggak usah sok-sokan minta kenceng-kenceng, lagian kamu juga ngapain goyang-goyang sih." Revan masih saja membahas nya. "Udah pulang sekarang yuk,"

"Ihh Ara nggak bisa jalan, sakit." Ara kembali merengek.

Revan mengembuskan napasnya pelan, "Yaudah sini naik!" ucap Revan yang saat ini tengah jongkok membelakangi Ara.

Diam-diam Ara mengulas senyum. Lumayan enggak capek sampe rumah, hihi. Ara pun buru-buru naik ke punggung Revan.

Setelah dirasa Ara cukup nyaman digendongannya, Revan pun mulai melangkahkan kakinya.

"Kak Revan cepetan dong jalannya, masa kaya keong gini sih. Lari dong biar cepet."

"Kamu tuh ya... nanti kalo jatoh lagi gimana? Bonyok lagi itu lutut kamu. Yang tadi aja belum sembuh mau ditambah lagi?"

Ara hanya cekikikan di gendongan Revan. "Kak nanti berenti di situ ya Ara pengen es krim," tunjuk Ara pada penjual es krim yang tak jauh dari mereka. "Tapi yang jajanin kakak, Ara nggak bawa duit."

                           ***
                  
"Apa sih jangan ditarik-tarik!" Ara terus meronta pada cekalan tangan yang terus saja menariknya entah untuk kemana. "Kak lepasin! Aku nggak mau," Cekalan tangan itu semakin menguat saat dirinya terus meronta. Pergelangan tangannya sudah pasti memerah karena cekalan yang orang itu berikan.

Hingga akhirnya langkah orang yang menariknya itu berhenti, tetapi tetap tidak melepaskan cekalannya pada tangan Ara. Ara pun sontak ikut menghentikan langkahnya, matanya menyisir ke sekeliling mencari tahu dimana keberadaannya saat ini. Dilihatnya tembok-tembok tinggi yang mengapit kanan dan kirinya dengan ilalang yang sudah meninggi hampir setengah dari tinggi dirinya.

Ara tak tahu dimana ia berada saat ini. Matanya sudah memerah siap menumpahkan cairan bening yang saat ini tengah berusaha mendesak keluar. Apalagi dengan rasah perih yang masih saja terasa di pergelangan tangannya.

"Aku sayang sama kamu, Ra."

Ara masih saja diam, sudah berkali-kali orang itu mengatakan kalimat yang sama dalam kurun waktu 2 minggu ini.

"Jadi pacar aku,"

Ara menggeleng kuat. Bebarengan dengan itu cekalan di tangan Ara semakin kuat. "Kak lepas...sakit," ucapnya bergetar.

"Aku kurang apa sih? Hah! Semua yang kamu kamu mau bakal aku kasih! Kamu cukup bilang iya dan nurut sama perkataan aku!"

Cairan bening itu telah lolos dari matanya, isakan yang sedari tadi ditahannya pun telah keluar. Ara tidak suka dibentak, Ara takut dengan bentakan.

"Lepasih Ara bangsat!" Teriak seseorang dari ujung tempat dimana Ara dan orang itu berada.

"Kak Revan," isakan Ara semakin mengeras. Revan yang mendengarnya bun berubah menjadi beringas, air mukanya mengeras dan merah padam.

Tak segan Revan berlari dan menubruk orang yang menyakiti Ara. Sontak cekalan di tangan Ara pun terlepas, membuat Ara bernapas sedikit lega, walaupun bekas kemerahannya tercetak begitu jelas menimbulkan rasa kebas.

"Bangsat! Berani lo nyakitin adek gua!" Revan berteriak di depan muka orang itu. Dengan posisi Revan menindih perut lawannya yang telah terkapar dibawahnya. Memang Revan sempat memukulnya beberapa kali, membalas perbuatan yang dilakoni orang tadi pada Ara.

"Gua sayang sama Ara! Nggak mungkin gua nyakitin dia!" Teriaknya tak kalah keras.

Bugh!

Revan kembali melayangkan kepalan tangnnya pada wajah didepannya. "Liat! Apa yang udah lo lakuin!" Tunjuk Revan pada Ara yang saat ini tengah berjongkok menyembunyikan wajahnya. Revan berani bertaruh, kalau saat ini Ara tengah menagis.

"Gausah deketin adek gua lagi!" Tuturnya. Revan pun bangun dadi posisinya, menuju ke arah Ara.

"Ra..." panggil Revan seraya menarik Ara ke pelukannya. "Kakak disini."

Tangis Ara semakin pecah. Dipeluknya erat tubuh Revan. Menyalurkan segala ketakutan yang tadi dirasakannya.

Umur Revan yang hanya berpaut 3 tahun dengannya membuat Ara merasa mempunyai sosok kakak yang sangat diimpikannya. Sosok pelindung yang bisa diandalkannya. Beruntung Ara mempunyai Revan yang selalu ada untuk dirinya.

Walaupun antara Ara dan Revan tidak ada hubungan darah satu sama lain tetapi Revan telah menganggap Ara seperti adiknya sendiri. Hal itu juga didukung dengan rumah mereka yang hanya berbatasan jalan komplek.

Ara dan Revan telah dekat dari kecil, setiap ada yang menganggu Ara sudah dipastikan akan berurusan dengan Revan. Menurut Ara, Revan bukan hanya sosok tetangga depan rumah, tetapi sosok kakak yang siap siaga melindunginya. Tak hanya itu, Revan juga bisa dijadikan teman sebayanya ketika ia sedang merasa sendiri.

Hingga beberapa bulan setelah kejadian itu, Ara mendengar berita kepindahan Revan. Saat itu Ara begitu sedih, ia sempat merengek agar Revan membatalkan niatnya.

"Hiks... kakak jangan pergi, hiks... nanti yang jagain Ara siapa? Hiks...," Ara terus merengek dihadapan Revan ketika ia berpamitan padanya.

Revan merengkuh Ara ke dekapannya. Sebenarnya ia juga enggan untuk pindah, apalagi meninggalkan adik kesayangannya itu. Tetapi Revan tak memiliki kuasa untuk menolak kepindahannya. Perceraian kedua orang tuanya membuatnya harus ikut salah satu dari mereka. Revan dipaksa ikut papanya pindah ke Jakarta, sedangkan adik Revan, Radit tetap tinggal di Jogja bersama mamanya.

"Shut... jangan nangis dong. Kan disini masih ada Radit. Kalo ada apa-apa Ara bisa panggil Radit. Radit juga jago bela diri kok kaya kakak."

Ara masih saja sesenggukan, "Ta-tapikan Ara maunya sama kakak, nanti-nanti kalo Ara kangen sama kakak gimana? Jakarta kan jauh,"

Revan mengurai pelukannya. Menangkup kedua pipi Ara dan mengarahkan wajahnya kearah dirinya. Dilihatnya air mata yang masih saja mengalir deras pada pipi adiknya itu. Kedua tangan Revan pun bergerak lembut membelai pipi Ara. "Kita kan masih bisa telephonan, bisa video call juga. Jangan sedih lagi dong. Kalo kakak bisa milih, kakak juga nggak mau pindah, kakak mau jagain Ara disini tapikan kakak nggak bisa, harus ikut papa. Kasian kalo papa di Jakarta sendirian."

Akhirnya setelah Revan berkata banyak untuk membujuk Ara, Ara sudah bisa merelakan kepindahan Revan.

Flashback off.

# # #

Hai-hai haloo
Apa kabar nih? Baik-baik aja kan,

Oh iya selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan🙏

Emh, semakin kesini kok semakin sepi ya☹ jadi sedih akutu. Ayo dong ramein lagi, ajak yang lain buat baca. Kalo ada saran langsung DM aja ya. (ex : kak, kok ceritanya kek gini sih, berbelit-belit! Saran nih bla bla bla.)

Hihi, sekarang insyaallah aku updatenya pasti 1 bulan 2 kali ya, setiap tanggal 13 sama 27 kalo nggak ada halangan (ex: gadapet ide buat nulis, males), tungguin terus ya!

Semoga suka❤

Continue Reading

You'll Also Like

9.7M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
13.4M 1.1M 81
β™  𝘼 π™ˆπ˜Όπ™π™„π˜Ό π™π™Šπ™ˆπ˜Όπ™‰π˜Ύπ™€ β™  "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
8.3M 518K 34
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
30.9M 2M 103
COMPLETED! MASIH LENGKAP DI WATTPAD. DON'T COPY MY STORY! NO PLAGIAT!! (Beberapa bagian yang 18+ dipisah dari cerita, ada di cerita berjudul "Private...