Happy reading
Tandai typo dan jangan lupa tinggalkan jejak
"Kenapa alerginya makin parah?"
Sea menatap lehernya yang terlihat begitu mengerikan, ruamnya semakin banyak dan warnanya bukan merah lagi—tetapi berwarna ungu kebiruan. Pantas saja lehernya begitu sakit, ternyata alerginya memang separah ini.
"Ini nggak bisa dibiarin, bisa aja besok warnanya jadi hitam. Gue harus minum obat alergi," Sea bergegas keluar dari kamar mandi.
Kebetulan ini hari Sabtu dan sekolahnya libur, jadi Sea akan mengobati alerginya sampai benar-benar sembuh. Anak perempuan itu mencari keberadaan Robert atau seseorang yang bisa dimintai bantuan, tetapi tidak ada satupun orang yang ia temui.
"Pada kemana? Kenapa nggak ada orang sama sekali?" Sea memilih kembali ke kamarnya.
"Dari mana?" tanya Sean yang hendak turun.
"Cari om Robert. Tapi kenapa nggak ada orang sama sekali, mereka semua kemana?"
"Mereka libur sampai nanti siang, kalau mau makan bikin sendiri!" kata pemuda itu dengan tatapan yang tidak lepas dari leher Sea.
"Bukan mau makan, tapi aku mau minta obat alergi. Lihat ini! Alerginya makin parah, ruamnya banyak dan warnanya bukan merah lagi," Sea mendongak dan menunjukkan lehernya.
Sean menarik sudut bibirnya, itu hanya sebuah hukuman kecil yang ia berikan untuk adiknya tercinta. Ternyata Sea semakin cantik dengan leher yang penuh dengan kissmark darinya, pemuda itu mengulurkan tangannya untuk menyentuh hasil karyanya semalam.
"Gue punya obat alergi, kalau lo mau—bisa ke kamar gue," ucapnya.
"Mau!" Sea tidak nyaman dengan keadaan lehernya, jadi ia akan meminum obat tersebut.
Sean mengangguk, pemuda itu berjalan kembali ke kamarnya dengan sosok Sea yang mengikutinya. Ini adalah kedua kalinya Sea memasuki kamar kakak angkatnya, ternyata aroma Sean tidak terlalu buruk—mungkin kemarin dirinya belum terbiasa dengan wangi yang begitu pekat.
"Nih, obatnya dari dokter Riztan. Gue baru minum sekali, langsung sembuh alerginya," kata Sean sambil menyerahkan obatnya.
"Tapi alergi lo beda, jadi lo harus minum rutin dan leher lo harus ditutupi, gue nggak mau kena marah Mama," pemuda itu menyerahkan semua obat miliknya.
"Dosisnya berapa? Kenapa labelnya nggak ada?" tanya Sea yang tidak menemukan label nama dari obat tersebut.
"Ck, dosisnya rendah dan aman buat lo. Simpen obatnya, siapa tau alergi lo kambuh lagi," Sean mendorong adiknya untuk segera keluar dari kamarnya.
Sea menatap obat di tangannya, warnanya putih dan terlihat seperti obat biasa. Anak perempuan itu masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil air, ia meminum satu butir obat tersebut.
"Berhasil," kekeh Sean saat melihat Sea meminum obatnya.
Pemuda itu terlihat begitu senang, rencananya berjalan dengan mulus. Obat yang diminum Sea memang bukan obat alergi, karena anak perempuan itu tidak memiliki alergi apapun. Sean memberinya obat lain, obat yang akan membuat Sea tidak bisa kabur darinya.
*****
Siang harinya, Sea sedang bersantai di ruang keluar sambil memakan buah yang dibawa oleh Robert. Sean tidak keluar dari kamarnya, pemuda itu melanjutkan tidurnya setelah makan siang bersama sang adik. Kebetulan tadi Sea yang memasak, meskipun hanya nasi goreng.
Untuk obat yang diminumnya, tidak ada efek samping apapun dan Sea menutupi ruam di lehernya dengan foundation. Ia berharap ruamnya cepat menghilang, karena dirinya sangat malas menutupinya dengan foundation.
"Sea, putri cantik Mama!" suara Vanila mengejutkannya.
"Mama?"
Sea bingung kenapa Vanila dan Felix sudah pulang sekarang, tapi ia juga merasa lega saat melihat keduanya. Sea seperti melihat sosok pelindung yang bisa menghentikan perbuatan kejam sang kakak, dirinya tidak mau lagi memberi makan kucing—karena tadi pagi kepalanya hampir saja berada di dalam mulut kucing, saat ia sedang memberinya makan.
"Putri Mama baik-baik saja 'kan? Bang Sean tidak nakal atau membuatmu menangis?" tanya Vanila yang kini memeluk putri angkatnya.
Sea tidak tahu menjawab apa, kalau berbohong dirinya akan berdosa. Tetapi kalau Sea mengatakan kebenarannya, bisa saja Sean menaruh dendam kepadanya dan semakin memperlakukannya dengan kejam. Bisa saja nanti pemuda itu menyuruh kucing untuk memakan Sea hidup-hidup.
"Mama, sepertinya Sea tidak bisa bernafas. Kamu memeluknya begitu erat," kata Felix saat melihat wajah putrinya yang memerah.
"Astaga, Mama sangat merindukanmu. Jadi, Mama tidak sadar memelukmu begitu erat. Nanti kita ngobrol lagi ya? Mama mau istirahat dulu," ucap Vanila sambil mencium kedua pipi putrinya.
Felix menghampiri putri angkatnya, "Dimana Sean?"
"Bang Sean lagi tidur di kamarnya," jawab Sea.
"Kamu lanjut nontonnya, Papa mau ke atas dulu."
Felix bukan pergi ke kamarnya, pria itu akan menemui putranya untuk menanyakan sesuatu. Seharusnya Felix belum pulang hari ini, tetapi pria itu tidak bisa berlama-lama di luar negeri.
Ceklek...
"Ocean Prince Delwin!" panggilnya kepada Sean yang terlihat baru bangun.
"Kenapa pulang-pulang langsung marahin aku?" tanya pemuda itu dengan mata setengah mengantuknya.
"Kamu masih tanya kenapa Papa marah? Apa kamu lupa dengan perbuatanmu di sekolah?" marah Felix yang sudah lelah dengan tingkah putranya yang tidak ada habisnya.
"Itu bukan salahku," sahut Sean yang kembali memejamkan matanya.
"Ocean! Kau hampir membunuh temanmu dan bilang kalau ini bukan salahmu? Papa akan memberimu hukuman, sampai masa skorsmu selesai—kau akan ditinggal bersama Nenekmu!," ujar pria itu yang tidak bisa dibantah.
"Tapi aku melakukannya, karena dia menghina Sea. Apa aku salah melindungi Sea dari bajingan itu?" Sean turun dari tempat tidurnya, ia tidak mau tinggal disana dan jauh dari adiknya.
"Apapun alasannya, tindakanmu sangat salah. Kau hampir saja membunuh seseorang, Papa tetap menghukummu!" putus Felix.
"Dia menghina Sea dengan kata-kata yang tidak pantas, Papa juga melakukan hal yang sama kalau di posisiku," pemuda itu tetap membela diri, bagaimanapun ini bukan salahnya.
"Apapun alasanmu, kau tetap mendapatkan hukuman. Cepat bereskan bajumu, Papa sendiri yang mengantarmu ke sana!" kata Felix sebelum keluar dari kamar putranya.
Sean melempar semua barang yang ada di depannya, pemuda itu tidak sadar membuat luka di tangannya yang belum kering kembali terbuka. Sean tidak mau pergi ke rumah neneknya, karena tempat itu sangat jauh dari Sea. Ia tidak bisa kesini malam-malam hanya untuk menyusup ke dalam kamar sang adik untuk menciumnya atau memberi tanda di leher Sea.
"Sialan! Ini semua gara-gara bajingan itu! Mending lo mati aja, Brian!"
Sean ingin sekali membunuh Brian, tetapi itu cukup mustahil. Semua orang bisa langsung mencurigainya kalau sampai Brian mati dengan mudah, jadi Sean akan melakukannya dengan perlahan. Brian harus mati, karena sudah membuatnya berpisah dengan Sea selama lima hari.
"Seenggaknya gue masih bisa lihat wajah Sea dan isi ponselnya," Sean menatap layar ponselnya, ia sedang melihat adiknya yang hendak tidur siang.
Dengan adanya lensa kamera di mata boneka beruang, ia bisa melihat wajah adiknya selama Sea berada di dalam kamar dan dirinya juga bisa melihat siapa saja yang mengirim chat kepada Sea. Meskipun semua itu belum cukup, karena dirinya tidak bisa mencium Sea seperti kemarin dan tadi malam.
TBC
Lanjut?
Spam sebanyak-banyaknya!
Kalau rame, kita lanjut ceritanya.