EVANDER || BTS

By poppyopi

167K 9.9K 6K

[FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Evander, sebuah nama geng motor yang sangat terkenal di ibu kota. Kumpulan anak re... More

INTRODUCTION
PROLOG
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
33
34
35

32

2.1K 166 91
By poppyopi

Sepasang kaki melangkah cukup pelan memasuki halaman sekolah. Netranya sempat berlarian kesana-kemari hanya untuk memastikan bahwa keberadaannya sekarang tidak ada yang melihat, ataupun mengikuti. Dirasa aman, ia langsung mempercepat langkahnya masuk ke dalam sekolah yang sudah sepi.

Minggu pagi tak ada satu orang pun yang berada di sekolah, membuat orang tersebut memanfaatkan kondisi sekarang. Sedikit membenarkan kupluk hoodie, sebelum benar-benar melangkah masuk ke dalam sekolah. Suasana di sana benar-benar sepi, lelaki itu sesaat menarik senyum tipis, sembari menutup kembali pintu utama sekolah ini.

Tujuan pertamanya ruang ganti perempuan. Karena ruang tersebut hanya berada di lantai satu, memakan waktu tiga menit saja ia sudah sampai di sana. Pintu tidak dikunci, ia dengan leluasa masuk ke dalam––di sambut kegelapan. Sempat meraba dinding untuk memencet saklar lampu. Ketika pencahayaan sudah mulai terang, ia langsung mendekati lemari loker seseorang.

Merogoh kantong celananya untuk mengambil satu kunci cadangan dari salah satu lemari loker di depannya ini––milik Anjani. Kala pintu kecil itu terbuka, tak ada satu hal pun yang menarik perhatiannya. Beberapa detik, ia sempat terdiam menatap arloji di pergelangan tangannya, seolah menunggu sesuatu untuk melanjutkan aksinya.

Dari saku hoodie, ponselnya bergetar, lekas lelaki itu mengambilnya. Tanpa banyak berpikir ia langsung mengangkatnya––mempersilahkan orang di sebrang sana angkat bicara.

"Semua kamera sudah gue pasang sesuai arahan lo. Sudah terhubung semua juga."

"Bagus."

"Cepetan lo ke sini, Dev, nanti keburu orang itu datang."

Devan––lelaki itu tanpa banyak bicara langsung mematikan panggilan sepihak dari Kenzie. Ini semua adalah rencana yang mereka susun kemarin. Rencana yang mereka harapkan bisa membuahkan hasil––menjebak si peneror itu.

Sebelum benar-benar meninggalkan tempat ini, Devan menyempatkan untuk memasukkan kotak kecil yang ia bawa sejak tadi, di dalamnya terdapat secarik kertas, juga kamera pengintai di sana.

Tepat saat Devan menutup kembali pintu lemari loker Anjani, dari arah pintu ruang ganti seseorang tiba-tiba masuk, membuat Devan sempat terperanjat kaget melihat kedatangan Juna. Raut wajah yang terlihat panik itu membuat sebelah alis Devan terangkat bingung.

"Diluar ada anak cheerleader, mereka kayanya mau latihan. Mereka juga lagi jalan ke sini, buruan keluar cepet!"

Karena tidak ingin ada bahan perbincangan mengenai Devan yang masuk dengan lancang ke ruang ganti perempuan, lelaki itu lekas membawa langkahnya keluar dari sana, bersama Juna yang ikut berlari. Tujuan mereka kembali ke basecamp Evander, sembari memantau lewat kamera pengintai yang mereka pasang.

Jika rencana ini gagal lagi, Devan semakin yakin jika peneror itu orang terdekatnya sendiri.

***

Hari Minggu tak ada bedanya seperti hari-hari lainnya. Bagi Anjani tidak ada yang istimewa, semua sama. Bahkan tak ada waktu baginya untuk bersantai, di hari libur seperti ini Papa justru menekan kembali Anjani untuk belajar––mengurungnya di kamar, lalu menyita ponselnya dari kemarin.

Alasannya tidak jauh-jauh karena ketahuan jalan dengan Devan kemarin. Padahal sudah ia terangkan dengan jelas agar Papa tidak salah paham mengenai Devan mengantarkannya pulang. Namun Papa tetaplah Papa––pria itu tidak pernah sedikitpun mau mendengarkannya.

Bagi pria itu, putrinya tidak boleh bergaul dengan siapapun selain teman sekelas––itu pun sebatas di sekolah. Lagi-lagi Anjani harus mengatakan, bahwa sifat Papa seburuk itu.

Diletakkan dengan kasar pulpen yang sempat Anjani genggam, kini berganti meraup rambutnya. Rasa pening mendadak menjalar puncak kepalanya. Efek samping memaksa dirinya terus belajar memang seperti ini, ditambah lagi Anjani dari kemarin tidak makan. Gadis itu memilih menahan diri untuk tidak bertemu dengan Papa.

Memejamkan mata sejenak, dari arah pintu terdengar suara ketukan, bersama suara Mama yang memanggil namanya. Mulanya gadis itu tidak menyahut, tetapi setelah mendengar perkataan wanita itu setelahnya membuat Anjani lekas bangkit berdiri.

"Anjani, di depan ada teman kamu."

Karena sedikit penasaran akhirnya Anjani melangkah untuk membukakan pintu kamar. Wajah datarnya tak sedikitpun berubah, memilih mengangkat sebelah alisnya sebagai tanda isyarat untuk bertanya.

"Mama gak tau namanya, mending kamu langsung temui aja. Dia diluar, gak mau masuk."

Jujur saja dari kemarin Anjani tidak ada niatan untuk berbicara. Mama bahkan sama saja seperti Papa, hanya saja wanita itu sedikit lebih perhatian––tetapi sifat mengekang padanya pun sama saja. Oleh karena itu, setelah diberitahu sang Mama barusan, Anjani mengambil langkah untuk keluar rumah, meninggalkan Mama yang masih berdiri di tempat.

Ketika sampai di teras rumah, Anjani tidak menemukan siapa-siapa. Karena memang tidak menaruh curiga apapun, Anjani mencoba memeriksanya diluar pagar rumah. Satu mobil asing menjadi titik fokusnya sekarang. Sedikit kebingungan Anjani perlahan mendekati, untuk sekedar melihat siapa orang yang ingin bertemu dengannya ini––yang sedikit terkesan aneh.

Belum saja langkah itu mendekati mobil tersebut, dari arah belakang tiba-tiba seseorang membungkam mulutnya, membuat Anjani sontak memberontak di tempat.

Sial, rupanya jebakan. Percuma Anjani memberontak, jika mulutnya sudah dibungkam dengan kain yang diberi obat bius.

Semua terasa gelap. Anjani tidak bisa lagi melakukan pergerakan, selain membiarkan tubuhnya dibawa paksa ke dalam mobil itu.

Sementara itu tersebut langsung menjalankan mobilnya, takut-takut orang tua Anjani melihat. Membawa mobil dengan kecepatan tinggi, menyelip tiap mobil dan motor di depannya untuk segera sampai di tujuan. Waktunya tidak banyak, ia harus segera sampai sebelum terlambat. Sesekali netra itu pula melirik kaca mobil untuk melihat Anjani yang masih pingsan di belakang.

"Semua akan selesai."

Karena obat bius yang dipakai hanya bertahan dalam jangka waktu sebentar, Anjani di belakang perlahan mulai sadar. Ada rasa pening yang tiba-tiba terasa. Netranya bergerak menatap tempatnya sekarang. Sadar jika ia sedang dibawa oleh seseorang, dengan cepat gadis itu memajukan tubuhnya untuk berteriak tepat di samping seseorang yang tengah menyetir ini.

"Lo siapa?! Turunin gue nggak!!"

Anjani tidak peduli jika dengannya memberontak sekarang bisa mengusik orang itu yang tengah menyetir, apalagi mereka sedang di jalan, salah sedikit saja mungkin mereka akan celaka. Namun dibanding itu, Anjani lebih takut dibawa oleh orang ini––yang kemungkinan peneror itu.

"BERHENTI!!"

Ketika tangan Anjani berniat menarik lengan orang itu, orang tersebut justru lebih dulu menyentaknya, meminta Anjani untuk duduk tenang di belakang.

"Diem Anjani!"

Seperti disengat aliran listrik, Anjani terdiam membeku di tempat. Menatap tidak percaya orang itu sesaat. "Gea? Lo Gea kan?"

Anjani tidak mungkin salah dengar, bahwa suara itu adalah suara temannya sendiri––Gea. Dugaan yang berulang kali ia tepis, rupanya sebuah kebenaran.

"Kenapa lo ngelakuin ini semua ke gue, Gea? Gue punya salah apa sama lo?"

Suara Anjani terkesan melirih. Raut wajahnya kentara tidak percaya. Sedang Gea, perlahan memelankan laju mobilnya. Lewat kaca mobil mereka melempar tatapan.

"Lo salah, bukan gue, Anjani. Justru gue di sini mau ngasih tau pelaku itu."

Seketika raut wajah Anjani berubah. Sebelah alisnya terangkat sedikit terkejut. "Lo lagi gak nipu gue kan?"

"Gue udah tau siapa pelaku itu, gue punya buktinya. Makanya sekarang gue bawa lo buat kasih liat semua bukti yang gue punya."

"Tapi kenapa cara lo sekarang seolah-olah lo pelaku itu?"

Gea melirik kembali Anjani dari kaca mobilnya. Mimik wajahnya terlihat lebih santai. Sudut bibirnya pula sempat terangkat menarik senyum tipis di sana. "Pelaku itu yang ngejebak gue, seolah-olah gue pelaku sebenarnya. Dia licik."

"Dan asal lo tau, dia lagi ngincar lo sekarang, makanya gue cepet-cepet bawa lo. Sorry, cara gue tadi bikin lo ketakutan, karena waktu kita sedikit. Telat dikit aja semua bakal kacau."

Gea kembali melajukan mobilnya. Seperti katanya, mereka tidak punya banyak waktu. Gea ingin semuanya selesai hari ini.

Sementara Anjani, hanya bisa terdiam di tempatnya. Ia tidak sepenuhnya percaya, takut jika ini hanya tipu daya. Anjani tidak pernah melupa apa kata Devan kemarin.

"Di situasi kaya gini gak ada orang yang bisa dipercaya. Bahkan sama orang yang baik sekalipun patut lo curigai."

"Siapa orang itu, Gea? Kasih tau gue sekarang."

"Dia..."

BRAK!!

Terlambat. Waktu mereka habis. Mobil yang ditumpangi mereka terpental cukup kuat ke samping, ditabrak truk yang menghantam sisi mobil itu.

Kecelakaan yang tak terduga terjadi begitu saja, beberapa yang melihat tercengang ketakutan. Sedang di dalam mobil, dua gadis perlahan sudah memejamkan mata. Dalam benak sempat berharap bahwa ini hanyalah mimpi sesaat.

***

Saat ini semua anggota Evander kembali berkumpul. Lagi-lagi permasalahan mereka tak jauh dari si peneror itu. Sudah terhitung tiga jam lebih mereka berkumpul untuk memantau kamera pengintai yang cukup banyak terpasang, tidak ada satupun yang mencurigakan.

Di sana semua berjalan seperti biasanya. Sekolah bahkan perlahan ramai akan murid-murid yang ekstrakurikuler hari Minggu.

"Sekolah lagi rame, kayanya gak mungkin si peneror itu datang, yang ada bakal dicurigai orang-orang di sana kan," ujar Juna.

Netra Devan tidak beralih dari semua layar ponsel yang terhubung dengan kamera pengintai itu. Namun mulutnya tetap bergerak untuk sekedar menjawab perkataan Juna barusan. "Bisa aja orang itu lagi menyamar diantara mereka-mereka ini, kita gak ada yang tau."

Semua memilih diam. Memang tidak salah apa kata Devan barusan, mengingat peneror itu bermain cukup rapi. Kali ini Devan tidak ingin kecolongan lagi. Setiap gerak-gerik yang tertangkap di kamera pengintai selalu Devan perhatikan. Hal aneh sedikitpun akan Devan curigai.

"Tadi pagi lo belum sarapan kan? Makan sana, itu si Dafa buat mie. Gantian gue yang mantaunya sini."

Saga mengambil posisi. Lalu mendorong Devan untuk sedikit menjauh di sofa yang tersusun ponsel yang menampilkan layar terhubungnya kamera pengintai kali ini.

"Gue gak lapar," tolak Devan. Lelaki itu tidak beralih tempat.

"Kesehatan lo juga perlu diperhatikan Dev," kata Kenzie. Lelaki itu melempar pop mie untuk meminta Devan segera makan.

Devan tidak suka jadi pusat kekhawatiran mereka semua, karena itulah sedikit terpaksa ia bangkit berdiri––mengisi perutnya yang memang sejak tadi berbunyi.

Baru saja berniat menyeduh pop mie, dari arah sofa salah satu ponsel berbunyi, menarik atensi Devan seketika. Saga yang bertugas duduk di sana lekas berteriak. "Devan, ada orang yang nelepon nih!"

"Siapa?"

Saga lebih dulu berjalan mendekati, menyerahkan ponsel lelaki itu sembari menjawab, "Gak tau, nomor gak dikenal."

Belum sempat Devan mengangkat, panggilan itu sudah berakhir. Devan sedikit dibuat bingung. "Aneh."

Sedang Saga yang melihat tidak begitu penasaran untuk bertanya, lelaki itu justru berkata, "Gue ke toilet bentar ya."

Lantas Saga berlalu pergi meninggalkan mereka menuju toilet, bersama ponsel yang sejak tadi digenggamnya.

Ting!

Usai membaca pesan itu, Devan langsung bergegas mengambil kunci motornya. Lelaki itu tidak mau terlalu banyak berpikir, baginya bertindak lebih cepat, lebih baik.

"Dev, lo mau kemana?"

Kenzie menghalang langkah lelaki itu. Menatap kebingungan tingkah Devan kali ini. Sementara Devan lantas menjawab, "Ke jalan Garuda. Peneror itu ada di sana."

"Lo tau dimana?" tanya Jefri bingung.

"Yang nelepon barusan peneror itu."

"Bodoh! Lo itu cepat percaya, gimana kalau lo ke sana, justru lo malah dijebak," ujar Jefri. Baginya, terlalu aneh jika peneror itu dengan mudah memberitahu keberadaannya jika tidak ada maksud tertentu.

"Lo pikir gue sebodoh itu buat masuk perangkap dia? Gue ke sana buat ngikutin alur permainan dia dulu."

Devan nekat, apapun yang terjadi hari ini, akan Devan hadapi. Dengan segenap keyakinannya, lelaki itu berniat kembali melangkah. Namun belum sempat keluar, dari Dafa tiba-tiba angkat suara. Menarik tangan Devan bersama tatapan yang penuh kepanikan.

"Dev, Anjani..."

Mendengar nama Anjani saja, hati Devan mendadak tidak tenang. Apalagi dengan raut wajah Dafa kali ini. "Kenapa?"

"Alesya baru aja chat gue, dia bilang Anjani kecelakaan sama Gea."

Mendengar itu, Kenzie lantas menarik Dafa untuk bertanya, "Sebentar, Anjani kecelakaan dimana?"

"Di jalan Garuda."

*****

Hayoo, siapa yang udah curiga sama Gea? Kan salah hihi. Yuk ah lebih teliti lagi, siapa peneror itu

Ohya, sorry baru bisa up, udah dua Minggu lebih ya(╥﹏╥) saya abis hibernasi wk. Tenang setelah ini diusahakan gak telat lagi kok. Sesuai janji, aku double up!!

Vote dulu atuh, baru baca chapter selanjutnya<3!!

Continue Reading

You'll Also Like

652K 46.3K 31
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.6M 225K 68
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

823K 42.6K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
1.3M 58.4K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...