EVANDER || BTS

By poppyopi

166K 9.9K 6K

[FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Evander, sebuah nama geng motor yang sangat terkenal di ibu kota. Kumpulan anak re... More

INTRODUCTION
PROLOG
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
30
31
32
33
34
35

29

3K 197 526
By poppyopi

Jika ada yang bertanya apa yang paling menyenangkan bagi Anjani, jawabannya cukup simpel––tidak adanya Papa di rumah. Kabarnya hari ini pria itu akan keluar kota selama satu Minggu karena pekerjaan. Tantu ini adalah momen yang paling Anjani tunggu, sebabnya ia sedikit tenang di rumah tanpa adanya celotehan Papa.

Seperti sebelumnya, Anjani diantarkan lebih dulu oleh pria itu ke sekolah sebelum berangkat untuk keluar kota. Selama di perjalanan pula, tak berhenti pria itu memberikan peringatan pada putri tunggalnya selama dirinya tidak ada di rumah. Larangan-larangan yang berulang kali pria itu lontarkan membuat telinga Anjani sedikit muak mendengarnya.

"Kamu dengarkan, Anjani?" Pria itu menoleh ke samping, tepat ke arah Anjani yang duduk di sebelah kursi pengemudi.

Mendengar pertanyaan itu, Anjani melirik malas pria itu sembari menjawab, "Denger Pa."

"Yasudah, belajar yang benar. Papa tidak mau, saat Papa pulang, Papa lihat nilai kamu menurun lagi kaya kemarin."

Mobil itu berhenti tepat di depan gerbang sekolah Anjani. Beberapa murid sudah mulai berdatangan, Anjani lantas melepaskan sabuk pengaman untuk keluar dari mobil sang Papa, setelah berpamitan.

Senyumnya kali ini cukup merekah. Anjani melangkahkan kaki cukup percaya diri, meski ada beberapa pasang mata menyorotnya, gadis itu mencoba untuk tidak menghiraukannya. Tangannya sempat bergerak lincah dilayar ponsel, untuk sekedar membalas pesan dari Alesya bahwa gadis itu masih belum bisa sekolah hari ini.

Cukup lega karena Alesya sudah bisa pulang dari rumah sakit, artinya gadis itu sudah baik-baik saja sekarang. Langkahnya sudah menapak di koridor lantai satu, ketika menuju anak tangga, seseorang tiba-tiba menariknya dari belakang. Membuat Anjani sempat memekik pelan lantaran terkejut.

"Sstt! Gue Devan."

Sontak Anjani menyentak tangannya yang digenggam Devan barusan. "Bisa gak sih jangan bikin gue kaget! Gue pikir siapa tadi."

Anjani masih was-was, lantaran peneror itu yang masih berkeliaran di sekolahnya, karena itulah ia mudah kagetan. Sementara Devan, jangan harap lelaki itu merasa bersalah sempat mengagetkan Anjani barusan. Justru Devan memasang raut wajah datar seperti biasanya.

"Lo masih dapat kiriman dari peneror itu gak?" Devan mengalihkan pembicaraan. Ia sudah bertekad, mulai hari ini ia akan mencari si peneror itu sampai dapat. Tak ingin lagi siapapun jadi korbannya––termasuk Anjani.

Sebelum menjawab pertanyaan dari Devan itu, Anjani sempat menoleh ke samping kanan kiri, hanya untuk memastikan tidak ada orang yang mendengarkan pembicaraan mereka. "Enggak ada sih. Gue berharap, peneror itu berhenti neror gue. Lama-lama gue takut."

"Lo tenang aja, gue pastikan orang itu bakal gue tangkap." Tatapan Devan terkesan meyakini, membuat Anjani sedikit menarik senyum tipis.

Mereka kembali melangkah. Selama langkah itu pula, Devan menyempatkan waktu untuk bertanya oleh sesuatu yang dari kemarin membuatnya mengganjal. "Kalau boleh tau, lo dapat kotak merah dari peneror itu dimana?"

"Di lemari loker gue, di ruang ganti. Sebenarnya gue juga masih bingung, kenapa orang itu bisa buka lemari loker gue yang padahal jelas-jelas itu di kunci, dan kuncinya juga di tangan gue," beritahu Anjani. Gadis itu sempat memutar otak, mencari titik jawaban oleh kebingungannya itu.

"Artinya dia orang dalam. Jelas mudah bagi dia dapat kunci cadangan semua lemari loker," jawab Devan.

Ah, Anjani tidak kepikiran sampai ke sana. Oleh anggukan singkat dari Anjani itu, Devan sontak menoleh ke arahnya. "Kalau lo ngizinin, gue mau liat lemari loker lo sekarang."

Dengan kikuk Anjani mengangguk. Entah apa tujuan lelaki itu melihat lemari lokernya, namun ia tetap mengizinkannya. Ia rasa, pasti ada sesuatu penting yang akan dilakukan Devan. Hingga sampai langkah mereka di ruang ganti perempuan, dengan sedikit waspada, keduanya masuk ke dalam. Beruntung ruang ganti masih kosong, membuat kedatangan mereka di sana tidak menjadi bahan bicara siapa-siapa.

Anjani lekas membuka lemari lokernya. Tak berselang beberapa detik, sepasang mata itu melotot sempurna kala melihat kembali kotak merah itu. Kali ini ukurannya cukup kecil. Perlahan ia mengambilnya, lalu menyerahkan langsung kepada Devan, yang lekas disambut oleh lelaki itu.

"Benar tebakan gue, kalau orang itu ngirim beginian lagi di lemari loker lo," ujar Devan. Memang sejak awal ia sudah punya feeling bahwa orang tersebut mengirim sesuatu lagi di dalam lemari loker Anjani.

Tanpa ragu Devan langsung membuka kotak merah itu. Di dalamnya ada secarik kertas, juga satu foto yang sudah dirobek. Anjani yang melihat itu sempat menaikkan sebelah alisnya bingung, sedang Devan mengambil secarik kertas itu untuk ia baca segera.

Satu tahun yang lalu, dimana tahun itu ada satu nyawa yang sudah melayang, tetapi kasusnya sudah ditutup oleh pelaku yang punya kuasa.

"Kenapa peneror itu selalu menyangkutpautkan tentang kematian? Sebenarnya apa yang terjadi, Dev?"

Kali ini Anjani benar-benar penasaran dengan maksud dari si peneror itu. Tidak mungkin jika ini semua hanyalah iseng untuk membuatnya takut. Ia yakin, pasti ada hal yang terjadi di tahun itu. Anjani tidak menuduh, hanya saja ia merasa Devan mungkin juga terseret pada kejadian yang dimaksud itu.

"Satu tahun yang lalu? Gue ingat, gue gak ngelakuin apapun di tahun itu, apalagi sampai ngebunuh orang. Gue gak segila itu buat ngelakuin hal sebodoh itu," jelas Devan. Lelaki itu sempat meyakini Anjani dengan tatapannya. Karena memang ia tidak berbohong, tak ada yang ia tutupi di tahun. Apalagi sampai melayangkan nyawa seseorang.

Semua terlalu rumit, Anjani juga tidak bisa memihak kepada siapapun jika tidak ada bukti kuat untuk meyakininya. Namun untuk sekarang, biarlah ia mengikuti Devan untuk memecahkan semuanya. Semakin ke sini, Anjani semakin penasaran siapa orang itu, dan apa maksud dari kiriman yang diberikan padanya.

Selain secarik kertas itu, ada satu foto yang sudah dirobek. Devan mengambilnya, cukup susah untuk menyatukan kembali foto yang sudah dirobek kecil itu. "Kotak ini gue bawa ya? Gue minta bantuan teman-teman gue buat nyatuin kembali foto ini. Gue rada pusing liatnya."

"Kalau fotonya udah jelas, kasih tau gue ya? Gue jadi ikut penasaran jadinya," pinta Anjani.

Devan mengangguk. Tanpa aba-aba lelaki itu mendekatkan diri untuk sekedar berbisik tepat di telinga Anjani. "Kalau ada yang mencurigakan, jauhin, dan kasih tau gue siapa orangnya. Gue yakin, orang itu ada di sini, lagi ngawasin lo."

***

"Ngapain lo ngajakin kita ngumpul begini?"

Pertanyaan itu lolos dari mulut Jefri, raut wajahnya sedikit ditekuk lantaran jam tidurnya di kelas harus terganggu sebab Devan tiba-tiba mengajak mereka semua berkumpul di rooftop. Sedang Devan tidak menanggapi itu, ia lebih memilih mengeluarkan kotak merah dalam tasnya itu, membuat sebagian mereka sempat menatap bingung.

"Eh kotak merah ini lagi." Sedikit terkejut dari Dafa melihat kotak tersebut. Ia ingat, kotak merah ini lah kali pertamanya si peneror itu mengirimkannya kepada Anjani.

"Iya, si peneror itu ngirim kotak ini lagi di lemari loker Anjani." Devan meletakkan kotak itu di kursi yang ada di rooftop. Sebagian dari mereka datang mendekati, penasaran pula dengan isi dalamnya.

"Isinya apa, Dev?" tanya Juna.

Membuat Devan yang mendengar lantas membukanya. Lalu kembali berkata, "Ada foto, cuman sengaja dirobek. Gue pusing nyatuin robekan fotonya. Tolong bantuin gue dong."

Dari Kenzie lantas melangkah mengambil posisi. Lelaki itu dengan cekatan menyusun robekan foto itu dengan cepat. Semua memperhatikan. Beruntung Devan punya satu teman yang cukup pintar diandalkan dalam situasi seperti ini. Membuatnya tidak meragukan jika Kenzie pasti bisa menyatukan kembali foto yang dirobek ini.

Hingga berselang beberapa menit. Foto yang dirobek itu sudah terlihat jelas sekarang. Hanya foto aspal, dengan bercak darah di sana. Mereka semua yang melihat lantas melempar tatapan bingung. Beberapa detik, mereka semua tidak ada yang mengerti dengan maksud dari foto itu, sebelum Devan tersadar akan secarik kertas yang ada di kotak merah itu juga.

"Kayanya ini tempat orang itu terbunuh," ucap Devan pelan, namun terdengar oleh mereka-mereka yang berkumpul sekarang.

"Maksud lo?" Saga lantas bertanya. Tatapannya cukup serius kali ini.

"Selian foto itu, ada surat juga yang dimasukkan ke dalam kotak itu." Devan mengambil secarik kertas yang dimaksudnya di dalam kantong celananya. Lalu menyerahkan kepada Saga, membuat yang lainnya mendekati lelaki itu untuk sama-sama membaca surat tersebut.

Kenzie menarik diri setelah membaca surat itu. Tangannya bergerak merogoh ponselnya, kemudian memotret foto robek yang sudah disusunnya itu. "Ini kecelakaan, bukan dibunuh."

"Motif dia ngirim beginian ke Anjani apa? Dan bikin gue penasaran lagi, siapa itu orang?" tanya Dafa. Kejanggalan mengenai teror ini membuatnya harus berpikir keras.

Sedang Jefri lantas berucap, "Gue punya satu rencana buat ngejebak itu orang."

***

Seperti yang dikatakan Devan, Anjani harus berhati-hati mulai sekarang. Apalagi peneror itu mulai terang-terangan ingin mencelakai dirinya––sewaktu kemarin di rooftop. Dan sekarang, orang itu kembali lagi mengirim kotak merah. Lagi-lagi Anjani masih tidak mengerti maksud dan tujuannya.

Sepanjang pelajaran berlangsung Anjani kurang fokus menangkapnya. Pikirannya mulai terpecah kemana-mana. Sampai bel pulang pun ia nyaris tidak mendengar jika netranya tidak jatuh pandang pada Gea di depan.

"Ngelamun aja, gak mau pulang lo?"

Anjani tersenyum kikuk mendengar pertanyaan Gea barusan. Lantas saja tangannya bergerak cepat memasukkan beberapa buku yang berserakan di mejanya. Lalu ikut melangkah keluar kelas bersama Gea dan Amanda. Kalau boleh jujur, menurut Anjani tanpa ada Alesya rasanya sangat berbeda.

"Anjani, ada Devan tuh," beritahu Amanda ketika langkah ketiganya sudah keluar dari kelas.

Sementara orang yang ditunjuk Amanda barusan hanya memasang tampang wajah datar seperti biasanya menatap ketiga gadis ini. Anjani yang mendadak canggung dengan kehadiran Devan saat ini lekas berkata, "Kalian duluan ya. Gue ada urusan bentar sama dia."

Mendengar itu, dari Gea cepat menerbitkan senyum tipisnya, lalu menarik Amanda pelan sambil berkata, "Duluan ya? Bye!"

Setelah kepergian kedua temannya itu, lantas langkah Anjani mendekati lelaki itu. Netranya sempat bergerak kesana-kemari hanya untuk memastikan jika tidak ada orang lain untuknya memulai pembicaraan.

"Gimana sama foto itu? Bisa disatuin gak?"

Sempat Devan mengangguk pelan sebelum menjawabnya. "Iya. Cuman foto aspal doang. Gak jelas."

Selebihnya Devan menutupi tentang foto itu, dimana ada bercak darah juga di sana––yang mereka simpulkan ada kecelakaan yang terjadi saat itu. Biarlah ia dan teman-temannya yang mencari tahu, tanpa perlu menarik Anjani lagi untuk kasus kali ini dan juga untuk menghentikan teror ini.

"Loh aneh banget," komentar Anjani. Sepasang kaki itu mulai melangkah mengikuti langkah Devan di samping.

"Lo gak usah mikirin tentang itu. Kalau misalnya peneror itu ngirim sesuatu lagi sama lo, langsung kasih tau gue, ya?"

Anjani mengangguk atas penuturan itu. Hingga sampai langkah keduanya di parkiran, Devan kembali lagi bersuara, "Hari ini lo sibuk gak?"

"Enggak sih. Kenapa?"

"Mau ke apartemen gue gak––"

"––gila lo ya?! Ngapain ngajakin gue ke apartemen lo?! Dasar mesum, gue gak mau!"

Tangan Devan mendadak mendarat di kening Anjani, menjentiknya pelan, sembari menjawab, "Otak lo yang mesum! Gue belum selesai ngomong udah lo potong."

Anjani sempat mengusap keningnya sesaat dengan wajah kesal yang masih kentara. "Ya habisnya ngapain lo ngajakin gue ke apartemen lo tiba-tiba gini? Bikin gue takut aja!"

"Nyokap gue udah pulang dari rumah sakit, sekarang ada di apartemen gue. Tadi pagi nyokap gue nitip pesan ke gue, kalau lo gak sibuk, dia pengen ketemu sama lo lagi," jelas Devan. Membuat Anjani yang mendengar menarik senyum canggung sesaat. Sedikit malu.

"Mau gak?"

Menepis rasa malu itu, Anjani membuang muka sesaat sembari membenarkan anak rambutnya yang sedikit berantakan. Bibirnya bergerak pelan menjawabnya, "I-iya mau. S-sekarang nih?"

"Tahun depan."

Sejujurnya Devan gemas sekali dengan tingkah Anjani sekarang, hanya saja ia mencoba memasang raut wajah sok cool-nya––dengan melangkah mendekati motornya untuk segera keluar dari halaman sekolah.

"Buruan naik," titah Devan. Dilihatnya sekarang Anjani masih diam tanpa pergerakan dipijakan yang sama.

Dengan sedikit canggung gadis itu mulai mendekat, lalu menaiki motor Devan. Selema gerak-gerik itu juga, tak luput dari pengawasan Devan memperhatikannya lewat kaca spion.

"Pegangan. Kalau jatuh gue gak tanggung jawab."

Setelah mengatakan itu, Devan langsung menjalankan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Tentu karena nyawa sangat berharga, Anjani memilih mengeratkan pegangan di ujung jaket Devan saat itu.

Sedang di depan, Devan tanpa sadar menarik senyum tipis, kala netranya melihat tangan mungil itu memegang erat ujung jaketnya. Entah dorongan dari siapa, Devan justru semakin mempercepat laju motornya. Membuat Anjani yang di belakang melotot sempurna. Tidak biasanya lelaki ini membawa motor segila ini.

"Dev, lo lagi gak ngajakin gue mati bareng-bareng kan?!"

***

"Anjaninya mana Dev, ikut kan?"

Baru saja Devan membuka pintu unit apartemennya, sang Mama dari dalam sudah menyambutnya antusias. Ah, ralat! Bukan menyambut dirinya, tetapi menyambut kedatangan Anjani. Entah bagaimana ceritanya, hanya pertemuan kemarin di rumah sakit itu keduanya bisa seakrab ini, Devan berpikir bahwa ini terlalu aneh.

Sebenarnya tidak aneh, Devan saja yang tidak tahu bahwa kedua perempuan itu sudah deket sebelumnya. Bahkan sudah bertukar cerita, yang Devan sendiri pun tidak tahu.

Mila sempat menaruh curiga bahwa Anjani tidak ikut, lantaran tidak ada keberadaan gadis itu di samping Devan saat ini. Namun itu langsung tertepis ketika Devan menjawabnya, "Ada Ma. Itu anaknya."

Malu-malu Anjani melangkah mendekati, setelah sempat terdiam sesaat di belakang tubuh Devan. Ada senyum sapaan menatap wanita di depannya itu. Dari Mila langsung saja menarik pelan Anjani untuk masuk ke dalam.

Sembari keduanya melangkah ke dalam, Mila angkat suara. Senyumnya masih merekah, tanpa perlu ditanya pun jelas Mila senang akan kedatangan Anjani kali ini. "Tante seneng kamu bisa datang ke sini. Gak lagi sibuk kan, Anjani?"

Mendengar itu, cepat Anjani menggeleng kepala. "Enggak kok Tante."

Bibir itu ikut melengkung. Netra Anjani menatap binar mata milik Mila yang jauh berbeda dengan yang di rumah sakit kemarin, membuatnya meyakini bahwa wanita ini sudah baik-baik saja sekarang.

"Aku seneng, Tante udah bisa pulang dari rumah sakit."

Mila mengeratkan genggamannya di tangan Anjani. Kali ini ia tidak berbohong, bahwa dirinya memang sudah baik-baik saja. "Tante sudah sembuh, sesuai janji."

"Janji apaan?"

Di belakang Devan mendadak ikut menimbrung. Kedua perempuan itu seolah melupakan kehadirannya sekarang, sampai-sampai pertanyaannya barusan pun sengaja diabaikan dengan sang Mama yang justru balik bertanya, "Tadi kamu bonceng Anjani ngebut apa enggak?"

Sengaja Mila bertanya seperti itu, hanya untuk mencari topik yang menarik, juga ia tahu sang anaknya ini paling hobi mengebut di jalan––membuatnya sedikit khawatir bagaimana anaknya itu membonceng Anjani kemari.

"Enggak––"

"––iya. Dia ngebut Tante. Kalau aja aku gak pegangan udah terbang kali aku."

Entah mengapa Anjani justru langsung membantah kebohongan Devan kali ini. Ia masih teringat, bagaimana gilanya lelaki itu membawa motor dengan kecepatan tinggi, sampai-sampai beberapa kali Anjani nyaris memeluk Devan dari belakang.

"Tuh kan, bener dugaan Mama."

Devan menyengir, tidak juga marah oleh kejujuran Anjani barusan. "Biar cepet sampai Ma, kan Mama nungguin."

"Cih, bukan begitu juga! Biar lambat asal selamat, kan udah berkali-kali Mama bilangin." Jiwa seorang Ibu keluar. Bagaimana pun Mila tetap khawatir jika Devan selalu seperti itu. Jalanan selalu memakan korban.

Sementara Anjani sempat mengulum senyum. Seorang Devan yang pendiam dan susah disentuh itu, kali ini berubah menjadi Devan penurut si anak Mama. Anggukan singkat juga janji palsu untuk tidak mengebut lagi di jalan menjadi titik kelucuan Anjani sekarang.

"Aku ke kamar dulu ya, ganti baju."

Oleh anggukan dari Mila, Devan berlalu meninggalkan keduanya. Sedang masih di tempat Mila beralih mengajak bicara Anjani lagi. "Kamu mau ganti baju juga gak? Biar pake baju Tante dulu, nanti baju seragam kamu bisa kotor loh. Soalnya hari ini Tante mau ngajak kamu buat pancake, mau gak?"

Dengan antusias Anjani menjawab, "Mau Tante! Kebetulan aku suka banget sama pancake."

Mendengar itu, Mila menjentikkan jarinya dengan senyumnya yang mengembang. "Pas banget berarti! Yaudah kamu ganti baju punya Tante dulu baru kita ke dapur."

Sesuai yang dikatakan Mila, wanita itu meminjamkan satu baju miliknya. Beruntunglah ukurannya pas di badan Anjani, membuatnya tidak kekecilan ataupun kebesaran. Kini keduanya sudah berada di dapur. Jika bertanya dimana Devan, lelaki itu masih di kamarnya, entah apa yang sedang dilakukannya, namun kedua perempuan itu sudah asyik dengan dunia mereka hingga melupakan Devan saat ini.

"Kamu kalau di rumah suka bikin kue-kue begini gak?"

Sembari Mila menyiapkan bahan-bahan untuk membuat pancake kali ini, keduanya saling bertukar cerita menarik. Membuat suasana lebih terasa menyenangkan. Dari Anjani bahkan tidak segan untuk siap membantu membuat pancake kali ini. Keantusiasannya terlihat kentara. Kalau boleh jujur, ini adalah pengalamannya membuat kue bersama seseorang.

"Jarang sih Tante," jawab Anjani jujur.

"Kalau Tante emang udah hobi buat kue-kue begini. Jadi kalau kamu ke rumah Tante, jangan heran kalau dapur kadang berantakan, itu semua gara-gara Tante." Wanita itu menceritakannya begitu semangat, membuat Anjani menjadi tenggelam pada cerita-ceritanya.

Bagi Anjani, Devan salah satu orang yang beruntung memiliki Mama seperti Mila. Selain baik, wanita itu juga punya cara sendiri untuk membuat orang-orang nyaman dekat dengannya. Terbukti Anjani bahkan merasa nyaman dekat dengan wanita itu dibanding Mamanya.

Jika di definisikan, Mamanya tidak seburuk itu juga. Tetapi Mamanya tidak seperti Mila––yang punya effort menarik anaknya keluar dari zona kesendirian.

Orang-orang sering berkata, Mama adalah teman curhat ku. Tapi menurut Anjani, Mamanya tidak seperti itu.

"Kalau aku minta resep rahasia bikin kue-kue begini boleh gak?"

Anjani terkekeh mengatakan itu. Ia hanya bergurau, tetapi Mila cepat menanggapi. "Boleh banget! Sekalian nanti Tante kasih tutor buatnya."

"Baunya udah keciuman sampai kamar aku, bikin laper."

Suara itu sontak menarik atensi dua perempuan itu. Di ambang pintu, Devan berdiri di sana. Tak pernah heran baginya jika dalam urusan membuat kue atau memasak Mamanya selalu juaranya. Masakannya itu tidak ada yang menandingi, bahkan masakan restoran bintang lima pun kalah––menurut Devan.

"Ada yang perlu aku bantu gak?" Devan mendekati, tepat berhenti di samping Anjani. Keduanya sama-sama memperhatikan Mila menuangkan adonan dengan perlahan di atas wajan.

"Gak ada. Mending kamu duduk aja sana, tunggu selesai aja," usir Mila lembut.

Bukannya menurut, Devan masih tetap berdiri di tempatnya. "Gak ah, aku mau di sini aja, ngeliatin Mama bikin pancakenya."

"Sok-sokan, biasanya Mama buat kue jarang-jarang kamu ngeliatin begini. Ada maksud pasti," curiga Mila dengan senyumnya yang meledek.

"Apaan sih Ma, orang aku beneran pengen ngeliatin cara buatnya," bantah Devan. Lelaki itu berusaha memasang raut wajah tenang. Ia tidak ingin image-nya di depan Anjani runtuh hanya karena Mama.

"Ngeliatin pancakenya atau Anjani?" Jujur saja, Mila suka sekali jika urusan menjahili anaknya ini.

"Gak liat apa Ma, ini mata aku fokusnya ke pancake. Mending gantian aja deh, aku yang nuangin adonannya itu ke wajan, Mama yang duduk. Biar gak salah paham sama tujuan aku di sini."

Devan mengambil posisi, membuat Mila menyerahkan sepenuhnya adonan pancake itu kepada anaknya. Sambil kembali menggodanya. "Modus banget kayanya pengen berduaan aja sama Anjani."

Setelah Mila berlalu untuk sedikit menjauh, kini justru meninggalkan suasana canggung bagi Anjani dan Devan. Hingga nyaris saja Devan melupakan membalik adonan pancake itu jika saja tidak ditegur Anjani.

"Dev, itu pancakenya mau gosong, cepet balik!"

Di meja makan, Mila yang mendengar sontak terkekeh sebelum angkat suara lagi, "Devan kalau salting tingkahnya emang gitu Anjani."

"Mama jangan suka ngarang cerita deh!"

*****

Devan kalau sama Mamanya mode si anak penurut. Pokoknya lucu kalau kata Mila haha

Kalau yang ini Anjani dan pancake buatan Devan yang nyaris gosong wrwr

Momen Anjani Devan itu tipis-tipis tapi bikin gemes>< pengen baca keseruan mereka lagi? Terus pantau cerita ini(◕દ◕)

Lanjut? Spam next sebanyak-banyak dan jangan lupa vote! Kalau udah nembus 100 vote kita lanjut lagiii

Continue Reading

You'll Also Like

393K 4.7K 21
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.3M 256K 31
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
3.2M 265K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
6.5M 191K 61
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...