EVANDER || BTS

By poppyopi

167K 9.9K 6K

[FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Evander, sebuah nama geng motor yang sangat terkenal di ibu kota. Kumpulan anak re... More

INTRODUCTION
PROLOG
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
28
29
30
31
32
33
34
35

27

2.8K 206 142
By poppyopi

Sepasang kaki melangkah cepat menelusuri koridor rumah sakit yang cukup ramai. Wajahnya terlihat panik. Beberapa orang ada yang melempar tatapan heran pada gadis itu––yang kini sudah menghentikan langkahnya tepat di depan UGD. Gadis itu sempat mengatur ritme pernapasan sebelum angkat pandang melihat seseorang yang berjalan mendekatinya.

"Gea, lo kenapa panik gitu?"

Dafa lah yang bertanya, pada Gea yang baru saja datang ini. Bercucuran keringat di pelipis gadis itu, juga raut wajah yang terlihat sangat panik, membuat Dafa mengerutkan kening bingung.

Sementara Gea perlahan angkat suara. Meski suaranya terdengar kurang jelas, lantaran deru napasnya yang belum teratur. "Anjani mana? Lo liat dia nggak?"

"Bukannya sama lo ya tadi ke toilet?" tanya balik Dafa.

Mendadak Gea terdiam. Seolah ada hal yang tengah ia pikirkan sekarang. Tak berselang lama, dari arah belakang seseorang datang. Mengejutkan mereka dengan berkata, "Lo nyariin gue, Gea?"

Suara yang amat dikenali itu membuat Gea maupun Dafa langsung menoleh ke sumber suara––tepat saat itulah pandangan mereka jatuh pada sosok Anjani yang berdiri tak jauh dari mereka, bersama Devan di sampingnya.

"Lo..., dari mana aja, Anjani?" tanya Gea. Wajahnya sudah tidak sepanik seperti sebelumnya. Justru terdiam sesaat menatap dua insan di depannya ini.

Mendengar pertanyaan itu, Anjani sempat melirik Devan, seolah meminta bantuan untuk menjawabnya. Sebab baginya, kejadian yang menimpa dirinya barusan tidak perlu di ceritakan sekarang––kondisi saat ini sedang tidak mendukung untuk mereka tahu apa yang terjadi.

"Kita dari luar," jawab Devan seadanya. Wajahnya terkesan lebih datar menatap Gea sekarang.

Oleh jawaban itu, perlahan Gea mengangguk meresponnya. Lagi-lagi, dari arah belakang seseorang kembali lagi mengejutkan. Kali ini, Amanda yang datang. Kedatangan gadis itu cukup menjadi sorotan mereka yang ada di tempat.

"Kalian dari mana aja sih? Gue dari tadi nunggu di kantin, tapi gak ada yang datang," tanya Amanda. Karena sebelumnya mereka sempat janjian akan bertemu di kantin setelah Anjani dan Gea selesai dari toilet. Tapi sudah bermenit-menit Amanda tunggu, mereka sama sekali tidak menemuinya.

"Maaf Amanda, gue tadi ada urusan penting sama Devan, jadi keluar sebentar, dan kelupaan juga nyamperin lo ke kantin," kata Anjani.

"Oh, yaudah gak papa. Tapi lo udah tenang kan? Gue takut aja lo masih panik kaya tadi," khawatir Amanda. Ia menatap intens Anjani sekarang.

Sedang yang diberi tanya lantas menggeleng pelan. Ada senyum tipis yang Anjani tunjukkan sebelum menjawab, "Gue udah baik-baik aja kok."

Di tempat Gea, gadis itu beralih menatap Dafa yang sejak tadi memilih diam atas topik yang mereka bicarakan ini. "Daf, orang tua Alesya masih di dalam gak?"

"Gak ada, cuman ada perawat aja di dalam. Katanya Alesya mau dipindahin ke ruang rawat inap," jawab Dafa.

"Boleh gak kita masuk? Gue pengen tau keadaannya," ujar Anjani menyahut. Sejak awal, kekhawatirannya mengenai kondisi Alesya masih terus melekat dalam dirinya. Karena bagaimanapun, Alesya berakhir seperti ini, karena dirinya––teror yang seharusnya tertuju padanya.

"Masuk aja. Gue aja baru keluar ini," beritahu Dafa. Hingga tanpa banyak berkata lagi, Anjani melangkah masuk ke dalam ruangan itu, bersama kedua temannya yang mengikuti.

Di dalam, Anjani dapat melihat Alesya yang masih terbaring lemah di atas brankar, bersama satu perawat yang tengah memeriksa sesuatu di sana. Kedatangannya di sambut senyum lebar dari Alesya, seakan dirinya yang tengah di khawatirkan sekarang sedang baik-baik saja.

"Sya, ada yang sakit lagi gak? Gue benar-benar gak tenang banget liat kondisi lo sekarang ini..." lirih Anjani.

Mendengar itu, Alesya menggeleng pelan. Ditepuknya punggung tangan Anjani dengan terkekeh, "Gue baik-baik aja astaga. Jangan khawatir gitu ah!"

Bukannya ikut tersenyum seperti Alesya ini, Anjani malah tetap masih mempertahankan raut wajah khawatirnya. Entahlah, ia takut saja Alesya berbohong atas kondisinya itu. "Lo lagi gak bohong kan? Lo serius udah baik-baik aja? Udah gak ada yang sakit lagi?"

"Iya Anjani sayangkuuu. Udah mendingan lah, meski rada lemes dikit, hehe."

Anjani mengangguk pelan. Sementara di samping, Gea menatap sedikit bingung pada Anjani. Ada sesuatu yang menjanggal rasanya. "Kenapa deh muka lo kelihatan gak semangat gitu, Anjani?"

Karena merasa ini waktu yang tepat untuk bercerita tentang dibalik kejadian yang menimpa Alesya sekarang, Anjani akhirnya perlahan angkat suara, "Sebenarnya Alesya keracunan makanan itu karena udah direncanain sama seseorang."

"Hah? Maksudnya gimana? Ada seseorang yang lagi ngebenci gue gitu?" Alesya lantas bertanya cukup bertubi. Keningnya sedikit mengerut, ada tanda tanya besar oleh penuturan Anjani barusan.

"Bukan. Ini orang sama, yang kirim kotak merah itu. Dia meneror gue lagi," jawab Anjani dengan sangat yakin.

"Lo tau dari mana kalau dia orang yang sama?" tanya Amanda.

"Dia ada ngechat gue." Anjani mengambil ponselnya di saku seragam. Menyalakan benda pipih itu untuk menunjukkan sesuatu di sana. "Ini nomornya. Kalian ada yang tau gak?"

"Mana? Gue mau liat."

Ketiganya bersamaan melihat nomor yang tertera itu. Dari Alesya menggeleng pelan. "Gak tau gue ini nomor siapa."

"Sama," timpal Gea. Ia sedikit menjauh setelah melihat nomor tersebut untuk mempersilahkan Amanda yang bergiliran melihatnya dengan jelas.

"Coba lo telepon Anjani," suruh Amanda.

"Udah gak aktif lagi. Kayanya itu nomor sekali pakai aja." Anjani mengambil ponselnya kembali.

Tak lama, benaknya kembali terbayang akan sosok orang itu yang Anjani temui beberapa jam yang lalu. Kejadian barusan masih ragu untuk Anjani ceritakan kepada temannya. Biarlah ia sendiri saja yang mencari tahu siapa orang itu, tanpa menyeret siapapun.

"Gue jadi semakin yakin, kalau ini semua perbuatan Ziva."

***

Pintu UGD ditarik oleh Anjani dari dalam, langkahnya keluar dari ruang tersebut seorang diri. Ketika netranya jatuh pandang pada kursi tunggu diluar, ia bertemu kembali dengan Devan––sendirian. Entah lelaki itu sedang menunggu dirinya atau apa, itu membuat langkah Anjani mendekati. Membuat Devan turut bangkit berdiri.

"Dafanya mana? Kok sendirian aja?" Anjani yang memulai pembicaraan. Mengingat tak ada Dafa di sini, sebelumnya lelaki itu bersama Devan duduk di kursi tunggu ini.

"Dia keluar bentar, gak tau kemana juga," jawab Devan seadanya. Sebab Dafa sendiri pun tidak memberitahu kemana lelaki itu pergi, dan juga Devan tidak mau terlalu banyak tanya. Memilih diam di kursi tunggu sembari menunggu Anjani.

"Terus lo kenapa gak ikut pulang juga?" Jujur saja, Anjani tidak mau kegeeran pada Devan yang sekarang masih duduk di kursi tunggu, seolah memang sedang menunggunya. Takut saja itu hanyalah tebakannya saja.

"Gue gak pulang, soalnya ada nyokap gue di rawat di sini. Tapi kalau lo mau pulang, gue antar." Memang tujuan Devan menunggu Anjani di sini untuk mengantarkan gadis itu pulang ke rumah dengan selamat. Mengingat banyak teror yang sudah menyerang Anjani, membuat Devan semakin menaruh banyak rasa khawatir. Juga mendadak muncul sikap protektif dalam dirinya.

"Maaf, gue gak tau kalau nyokap lo lagi di rawat di sini. Kalau lo ngizinin, gue boleh jenguk gak?" tanya Anjani cepat. Wajahnya terlihat terkejut. Meski tidak pernah bertemu dengan Mama Devan, jiwa khawatir tetap saja muncul begitu saja.

Mendengar itu, tanpa berkata Devan langsung mengangguk cepat. Lalu memimpin jalan menuju ruang Mamanya. Dalam benaknya, ia membayangkan bagaimana respon Mama melihat Anjani sekarang. Mungkin wanita itu akan sangat terkejut, sebab ini adalah pertama kalinya Devan membawa perempuan pada Mamanya.

"Kalau boleh tau, Mama lo sakit apa Devan?" Seiring melangkahkan kaki menuju ruang Mama Devan, Anjani menyempatkan waktu itu untuk bertanya sebentar.

"Cuman kecapekan doang sih, biasa darah rendah. Suka bolak-balik ke rumah sakit, buat cek kesehatannya," jawab Devan. Membuat Anjani mengangguk pelan. Dalam hati ia berkata, sama seperti dirinya.

Ruang VIP menghentikan langkah mereka, membuat Anjani meyakini bahwa mereka sudah sampai. Dari Devan lantas memutar kenop pintu, lalu mengajak Anjani untuk melangkah masuk bersama. Di dalam sana, seorang wanita setengah baya berbaring di ranjang rumah sakit, dengan selimut cukup tebal yang menutupi sebagian tubuhnya. Matanya sempat tertutup, sebelum akhirnya kembali terbuka mendengar langkah seseorang yang datang.

"Aku ngebanguni Mama ya?" tanya Devan lembut. Anjani yang mendengar sedikit terkejut, sebabnya Devan jarang sekali berbicara selembut itu pada siapapun. Kali ini, Anjani dapat melihat sisi lain dari Devan––dan itu hanya bisa ia lihat jika bersama Mama lelaki itu saja.

"Nggak kok," jawab wanita itu.

Wanita itu sedikit memiringkan wajahnya untuk melihat dengan jelas sosok gadis yang dibawa sang anaknya ini. Kala netra keduanya bertemu. Baik dari Anjani maupun wanita itu sama-sama terkejut dalam waktu bersamaan. "Kamu..."

Devan menaikan sebelah alisnya. Sedikit bingung dengan respon Mama kala melihat Anjani sekarang. "Kenapa, Ma? Mama kenal sama Anjani?"

Wanita itu––Mila, menggeleng dengan senyumnya yang kembali merekah. "Enggak. Kami cuman pernah ketemu di suatu tempat, benarkan? Atau saya salah orang?"

Anjani tercengang sesaat. Benar, mereka pernah bertemu, bahkan di rumah sakit ini––dan di tempat ini juga. Wanita itu, orang yang sempat Anjani bantu kala ia sedang check up kesehatan. Wanita itu yang bercerita, bahwa mengidap penyakit gagal jantung. Dan yang paling mengejutkannya, dia justru Mama dari Devan sendiri.

"Iya, kita memang sempat ketemu, di mall," jawab Anjani dengan sedikit canggung. Anjani merasa bahwa wanita itu tengah meminta dirinya untuk berbohong atas pertemuan mereka sewaktu itu. Seolah, ada hal yang sedang ditutupi oleh wanita itu pada anaknya sendiri.

Mila sempat bernapas lega. Beruntung Anjani mengerti maksudnya. Lalu untuk memecahkan kecanggungan yang terasa ini, dari Mila kembali berkata, "Dia siapanya kamu, Dev?"

Devan melirik Anjani sebentar. Seolah mencari letak jawaban dari raut wajah Anjani sekarang. Setelah menimbang-nimbang jawabannya, barulah Devan berucap, "Temen Ma."

Devan tidak mungkin selancang itu memberitahu Anjani pacarnya sekarang pada Mamanya, dimana Anjani sendiri pun masih terus membantah itu. Lagipula mereka memang tidak berpacaran resmi, itu hanya formalitas agar musuhnya berhenti mengganggu Anjani.

"Benar kah? Yang Mama tau, teman kamu semuanya cowok. Dan kalaupun temen kamu ada yang cewek, kamu gak pernah kenalin ke Mama. Baru kali ini, Mama jadi kaget," goda Mila. Namun itu kenyataannya. Selama ini, Mila hanya tahu teman Devan––seluruh anggota Evander. Selebihnya ia tidak tahu, karena memang Devan tidak memberitahu. Apalagi jika ada temen cewek seperti ini, rasanya ini adalah kejadian langka Devan mengenalkannya padanya.

Devan menggaruk tengkuknya, bingung menjawab apa atas penuturan sang Mamanya barusan. Melihat itu, Mila sempat terkekeh. Ia tidak berniat lagi untuk bertanya lebih lanjut siapa gadis itu bagi Devan. Justru lebih memilih mengajak bicara Anjani sekarang. "Sini deketan sama Tante, jangan canggung gitu, hehe. Ohya, sebelumnya pas kita ketemu itu kita belum kenalan ya? Nama Tante, Mila. Kalau kamu?"

Anjani menurut, ia melangkah mendekati setelah Devan sedikit menepi mempersilahkan Anjani duduk di samping ranjang yang ditempati sang Mama. "Nama aku Anjani, Tante."

"Ah, nama yang cantik," puji Mila dengan menunjukkan senyumnya yang lebar.

Anjani yang melihat itu, turut menarik sudut bibirnya. Jika dilihat dengan baik, Anjani baru menyadari bahwa wanita ini mirip sekali dengan Devan. Mengapa saat pertama kali bertemu wanita ini, Anjani tidak menyadarinya? Ah, mungkin karena Anjani tidak berpikir sampai ke sana. Karena tidak mengira juga bahwa wanita itu Mamanya Devan.

"Kamu sama Devan sekelas ya?" tanya Mila penasaran.

Dari arah sofa Devan mendadak menyambar menjawabnya, "Enggak Ma. Dia murid baru, anak IPA juga."

Mendengar itu, Mila kembali dibuat terkejut. Jika dipikir-pikir begitu aneh bukan, anaknya yang ia tahu paling pendiam ini, ternyata sudah mulai bisa bergaul. Bahkan pada orang baru sekali pun. "Ini kalian beneran temenan kah?"

"Ma, jangan aneh-aneh nanyanya, nanti Anjani canggung jawabnya. Kami emang temenan aja." Lagi-lagi, Devan yang menjawab. Ia tahu, bahwa sekarang Anjani sendiri pun masih canggung. Apalagi dengan pertanyaan Mama yang sudah mulai ngelantur kemana-mana.

Mila tertawa pelan. Lucu saja melihat anaknya sekarang sudah berani mengenalkannya pada satu teman perempuan. Lalu teringat sesuatu, wanita itu berkata, "Ohya, kamu udah makan belum, Devan?"

Astaga, Devan lupa! Lelaki itu menyegir dengan menggeleng kepala sebagai jawaban. Karena Aleysa yang masuk rumah sakit barusan, juga kejadian yang menimpa Anjani, ia lupa dengan tujuannya keluar dari ruangan Mamanya ini––makan siang.

"Aduh gimana sih! Kan tadi perjanjiannya kalau belum makan gak boleh masuk ke sini. Sana deh dulu kamu cari makanan, nanti kalau udah baru balik. Anjani biar di sini sama Mama," usir Mila secara baik-baik. Tentu saja ia mengkhawatirkan anaknya yang belum makan dari kemarin malam itu.

Jika Mamanya yang sudah berbicara, Devan pasti langsung menurut. Terbukti sekarang sudah bangkit berdiri, lalu berjalan keluar dari ruangan ini, meninggalkan Anjani bersama Mamanya. Sedang Anjani mencoba sebisa mungkin menipis canggungnya––dengan Mila pula yang perlahan mengajak gadis itu berbicara.

"Gak nyangka ternyata kamu berteman baik sama Devan. Saya pikir, pertemuan kita yang waktu itu cuman sebuah kebetulan aja. Ternyata enggak, kamu datang ke sini lagi, yang membuat saya cukup terkejut. Tapi jujur, saya senang kamu berteman dengan anak saya."

Mila menarik senyumnya lagi. Tangannya bergerak meraih tangan Anjani. Tatapannya mengisyaratkan sesuatu, membuat Anjani masih memilih diam mendengarkan apa yang akan wanita itu bicarakan padanya.

"Bisa Tante minta tolong?"

"Minta tolong apa, Tante?"

"Rahasiakan penyakit Tante ke Devan. Dia gak tau Anjani. Yang dia tau, Tante baik-baik aja. Bolak-balik ke rumah sakit cuman karena kecapekan aja," pinta Mila. Ia menatap Anjani penuh permohonan. Binar matanya sedikit berkaca-kaca.

Membuat Anjani yang melihat lekas angkat suara, "Kenapa harus dirahasiakan Tante? Devan harus tau kondisi Tante yang sekarang. Kalau dia jadi orang terakhir yang tau, dia bakal terpukul banget. Aku lihat, dia khawatir dan sayang banget sama Tante. Kelihatan dari sorot matanya, dia takut kehilangan Tante."

"Justru karena itu Anjani, Tante gak berani ngasih taunya. Tante gak mau liat sorot mata takut kehilangan itu. Sorot mata penuh kekhawatiran. Dengan kondisi Tante yang sekarang dia tau pun, hampir seluruh waktunya untuk Tante. Bahkan kamu lihat sendiri kan, dia aja rela gak mau makan, hanya karena ngejagain Tante. Lantas, kalau dia tau kondisi Tante yang sebenarnya, gimana dia?"

Seorang Ibu mana mungkin tega memberitahu kondisinya yang cukup mengkhawatirkan ini pada anaknya sendiri. Tidak tega selalu melihat tatapan penuh ketakutan akan kehilangan itu. Devan sudah terpuruk akan sikap Papanya, lalu bagaimana mungkin Mila tega memberitahu kondisinya, di saat hidup Devan pun tak ada kebahagiaan di sana.

Anjani perlahan mengerti. Dirinya pun sebenarnya tak jauh berbeda dengan wanita ini. Cukup pintar merahasiakan segala sesuatu yang telah terjadi pada dirinya. Hingga karena itulah, Anjani perlahan mengangguk. Mulutnya kembali bergerak untuk sekedar berucap, "Kalau Tante gak berani ngasih tau kondisi Tante ini ke Devan , Tante harus janji ke aku buat sembuh. Devan masih butuh Tante."

Ada senyum haru yang terpatri dari Mila kala mendengar ucapan Anjani barusan. "Pasti. Tante mau sembuh. Tante mau liat Devan tumbuh dewasa. Tante mau liat keluarga kecil dia. Pasti menyenangkan bukan?"

*****

Siapa tebakannya bener kalau wanita yang ketemu Anjani di rumah sakit itu Mamanya Devan? Ih keren banget deh langsung bisa ketebak haha. Berarti bisa juga dong nebak pelaku yang meneror Anjani( ꈍᴗꈍ)

Ohya untuk kalian yang keknya ovt ini cerita bakal aku unpub, ditepis ya!! Cerita Evander masih tetap lanjut sampe ending bestie. Kalau masalah Vsoo yang karam itu gada hubungannya sama cerita ini. Pokoknya aku tetap lanjut, buat ngehibur kalian semua hehe

Selamat untuk Jisoo. Tapi maaf, untuk sekarang aku masih belum bisa turun dari kapal Vsoo. Kebetulan mereka terlalu bercanda banget gasih gess?!!

Yuk bantu ramein cerita ini, biar aku tambah semangat buat nulis huhu. Kalau bisa sih share ke teman-teman kalian oke?!!

Kita lanjut kalau udah rame!! Spam komen next dulu, dan jangan lupa vote-nya<3!

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 58.4K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
3.9M 303K 50
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
2.4M 141K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.3M 123K 60
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...