EVANDER || BTS

بواسطة poppyopi

165K 9.8K 6K

[FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Evander, sebuah nama geng motor yang sangat terkenal di ibu kota. Kumpulan anak re... المزيد

INTRODUCTION
PROLOG
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35

17

3K 244 82
بواسطة poppyopi

Keheningan mendadak mendominasi suasana kelas 11 MIPA 1 ketika Ibu Luna datang di jam pelajaran terakhir. Membawa beberapa tumpukan kertas, yang mereka semua ketahui adalah kertas ulangan harian Fisika kemarin. Tentu saja kertas-kertas tersebut sudah tertulis jelas nilai-nilai mereka semua.

Debaran jantung mulai terasa. Sebagian dari mereka mulai khawatir dengan hasil nilai ulangan kemarin. Ibu Luna terkenal pelit memberi nilai. Jika mendapatkan nilai di bawah KKM, siap-siap Minggu depan harus remedial––membayangkannya saja sudah membuat mereka lelah untuk belajar kembali mata pelajaran Fisika itu.

"Yang Ibu sebut namanya langsung maju ke depan!"

Tanpa banyak bicara lagi, wanita setengah baya dengan julukan guru killer sejagat raya itu mulai memanggil satu persatu nama murid di kelas 11 MIPA 1 ini sesuai urutan kertas yang dibawanya itu. Tak ada yang bergerak lambat, semua patuh, dan tertib maju ke depan hanya untuk mengambil kertas ulangan mereka.

"Anjani Zelinda Atmaja."

Dan Anjani menjadi orang terakhir mengambil kertas ulangannya. Iris legam milik Anjani mulai terfokus pada bulatan besar yang berisi dua angka yang tertera jelas. Ketika melewati meja Amanda, gadis itu bertanya pelan, "Nilai lo berapa Anjani?"

Anjani menoleh. Dengan sedikit percaya diri ia menjawab, "Sembilan puluh. Kalau lo?"

"Sembilan puluh tujuh."

Anjani mengangguk pelan. Sempat gadis itu melirik kertas ulangan milik Amanda yang jawabannya sudah nyaris benar dibanding miliknya. Ia menarik senyum tipis, kemudian berlalu menuju tempat duduknya kembali. Bersama itu, ada ketakutan yang mendadak bersuara.

Kalau Papa tau nilai aku dibalap jauh sama Amanda, Papa pasti marah.

Sejujurnya, bukan Anjani tidak senang dengan hasil nilai ulangan yang didapatnya. Melainkan ketakutan terhadap tanggapan Papa jika tahu masih ada Amanda yang nilainya di atas dirinya.

Ini bukan tentang jiwa ambisius Anjani yang berkoar, namun ini tentang keinginan Papa yang selalu menginginkan putri tunggalnya berada di posisi juara kelas. Jika sampai posisi itu tergeserkan, nasib buruk pada Anjani ada di depan mata.

Seolah tak ada hal yang perlu dibanggakan dengan nilai ulangan kali ini, Anjani lantas memasukkan kertas tersebut ke dalam tasnya. Membuat Alesya yang duduk di sebelah tak sengaja melihat sontak menaikkan sebelah alisnya bingung.

"Kertasnya kok langsung disimpan aja? Gue kan belum liat nilai lo," ujar Alesya dengan ciri khas gaya bercandanya.

"Gak papa kok. Takut nanti gue kelupaan masukin dalam tas," jawab Anjani. Ada lengkungan senyum yang terbit. Cepat-cepat suasana hati yang tak tenang itu Anjani tepis. Berharap semua akan baik-baik saja nantinya.

Jawaban yang masuk akal itu tidak membuat Alesya menaruh curiga apapun lagi. Lalu dengan rasa penasarannya gadis itu kembali bertanya. "Berapa nilai lo? Pasti tinggi kan?"

Dengan seadanya Anjani menjawab, "Sembilan puluh."

"Udah gue tebak, lo sama Amanda pasti tinggi nilainya. Btw lo udah tau nilai Amanda belum? Tadi gue gak sempat nanya, soalnya keburu syok liat hasil nilai gue," kata Alesya terus terang.

"Sembilan puluh tujuh, Sya."

Refleks Alesya melotot tidak percaya. "Anjirrr, tiga lagi seratus tuh anak. Gila sih keren..., tapi lo juga keren, Anjani."

Anjani menarik senyumnya melihat ekspresi wajah Alesya itu. Memang Amanda sekeren itu. Anjani juga ikut mengakuinya.

"Kalau lo berapa?"

"Jangan kaget ya lo." Alesya menekankan katanya, membuat Anjani menebak-nebak  sendiri nilai berapa yang tertera di kertas milik temannya yang satu ini.

"Jeng! Jeng! Jeng!"

Dengan tinta merah, bertulisan angka lima puluh lima. Itu sudah jelas membuktikan jika Alesya Minggu depan akan menghadapi remedial. Raut wajah santai Alesya sekarang membuat Anjani bertanya-tanya, apakah orang tua gadis ini tidak akan marah dengan hasil nilai yang didapat Alesya ini?

"Lo gak papa, Sya?"

"Maksudnya?" Alesya dibuat bingung. Bahkan kerutan di keningnya terlihat samar-samar.

"Papa Mama lo marah gak lo dapat nilai segini?"

Tanpa banyak berpikir Aleysa langsung menjawab, "Enggak tuh. Bahkan mereka juga kayanya gak peduli-peduli amat sama nilai ulangan gue. Yang penting kata mereka, gue sekolah yang bener sampai lulus. Kalau gak lulus, baru mungkin marah, hehe."

Anjani termenung sesaat. Tanpa sadar ia berkata, "Enak ya..."

"Hah? Apanya yang enak?"

Anjani mengerjap. Menggeleng panik, sambil menjawab, "G-gak, gue tadi salah ngomong. Lupain aja."

Maksud gue, lo enak Sya punya orang tua kaya gitu. Gak dikekang sama mereka.

***

"Atas nama Anjani, benar?"

"Iya benar, Pak."

Lantas helm hijau disodorkan begitu saja ke arah Anjani, oleh pria setengah baya yang beberapa menit lalu Anjani tunggu kedatangannya. Tak ingin membuang banyak waktu, Anjani segera menaiki motor ojek online itu. Seperti sebelum-sebelumnya, tak ada hal menyenangkan ketika pulang ke rumah. Seakan hampa, setelah bersenang-senang bersama temannya di sekolah.

Ting!

Ada sorot mata lelah ketika tiga pesan masuk dari Mama barusan. Entah mengapa, membaca nama Papa saja, suasana hati gadis itu mendadak berubah.

Papa tengah menunggunya, tapi Anjani tidak ingin bertemunya.

"Neng, ngerasa gak, kalau motor di belakang itu lagi ngikutin kita?"

Pertanyaan dari tukang ojek itu membuat Anjani melirik sebentar ke arah kaca spion. Dilihatnya ada dua motor sport yang berada di belakang mereka sekarang. Berpakaian jaket kulit hitam, juga kaca helm yang tertutup rapat.

"Mereka..., geng motor yang sempat gangguin gue sama teman-teman kemarin, kan?" Anjani bermonolog, sembari otaknya berputar meyakini, jika motor-motor tersebut memang sama persis yang sempat mengganggunya tempo hari itu.

"Iya bener, mereka orang yang sama."

Cepat Anjani menepuk pundak pria di depannya ini, dengan rasa panik yang mulai tercetak di raut wajahnya. "Pak, ngebut aja!"

"Loh Neng, bahaya."

"Tapi yang di belakang lagi ngikutin kita, Pak! Udah Pak, ngebut aja. Mereka jauh lebih bahaya."

Oleh perkataan itu, sontak pria tersebut melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Rasa panik semakin kentara, ketika dua motor di belakang justru jauh lebih cepat mengikuti mereka. Kini sialnya, kedua motor itu menempatkan Anjani di tengah-tengah mereka. Ada senyum smirk yang tercetak ketika salah satu dari mereka membuka sedikit kaca helm.

Ciittt!!

Motor yang dinaiki Anjani mendadak berhenti, kala dua motor yang mengikuti mereka sejak tadi berhenti sengaja di depan mereka. Anjani menepuk-nepuk pundak tukang ojek itu sembari berkata, "Pak, cepat putar balik."

Dikarenakan gugup, pergerakan pria itu menjadi sedikit lambat, hingga akhirnya terdahulu oleh salah satu dari mereka yang sekarang menahan bagian motor depan. "Mau kabur kemana?"

Anjani turun lebih dulu. Gadis itu mencoba memberanikan diri untuk sekedar bertanya, "Mau kalian apa sih?!"

Salah satu dari mereka melangkah mendekati. Senyumnya masih terpatri, membuat Anjani semakin takut, jika mereka melakukan hal yang tidak-tidak terhadapnya.

"Anjani, Anjani, kan kemarin udah gue bilang, kalau ketemu sama kami, jangan takut. Kalau lo takut kaya gini, kami kan semakin seneng ngedeketin lo."

Anjani melotot, sebab tidak habis pikir dengan ucapan yang baru saja terlontar oleh lelaki tinggi, dengan senyumnya yang merekah sempurna itu. "Jangan gila, ya! Kita gak saling kenal! Gue juga gak ada urusan apapun sama kalian! Jadi stop gangguin gue!"

"Mau tau alasan kami ngikutin lo dari kemarin?"

Anjani terdiam, seolah menunggu jawaban dari pertanyaan lelaki di depannya ini. Hingga berselang beberapa detik, tanpa permisi lelaki itu menarik tangan Anjani, lalu menariknya cukup kasar.

"Ikut gue, biar lo tau jawabannya."

"Enggak! Lepasin gak!"

Anjani memberontak, memukul lengan lelaki itu berharap bisa terlepas dari genggaman erat di tangannya ini. Sedang tukang ojek yang sejak tadi kebingungan untuk menolong Anjani, langsung berkata, "Mas lepasin dia, atau enggak saya laporin polisi ini!"

"Heh Pak tua, gak usah ikut campur, kalau gak mau mati hari ini juga!"

Anjani tidak menghiraukan percakapan mereka. Gadis itu lebih memilih memikirkan bagaimana bisa terlepas dari lelaki sialan ini. Hingga aksi gilanya kembali terjadi, menggigit kuat tangan lelaki itu agar melepaskan genggamannya sekarang.

Berhasil. Seperti prediksinya, lelaki itu meraung kesakitan. Anjani mengambil kesempatan itu, mundur untuk kabur. Cerdiknya, tukang ojek itu langsung menghidupkan motor kembali, lalu berteriak meminta Anjani segera naik kembali ke atas motor.

"AYO NENG!!"

Anjani bergerak cepat, menaiki motor itu dengan gesit. Lantas pria tersebut menjalankan motor dengan kecepatan tinggi. Tak ada rasa ketakutan lagi, itu ditepis ketika keduanya bekerjasama untuk kabur dari tempat tersebut.

Sementara di tempat yang masih sama, dua lelaki itu mengumpat kesal, lantaran gagal membawa Anjani hari ini. Mengejar kembali pun rasanya percuma, jejaknya sudah hilang dengan cepat.

"Menarik tuh cewek. Kalau sampai ketangkap lagi, gak akan gue lepas."

***

"Jam berapa ini? Kenapa baru pulang? Udah berani keluyuran kamu, hah?"

Baru saja kaki ini melangkah masuk ke dalam rumah, telinga Anjani harus disuguhkan dengan suara Papa yang seakan mengintimidasi dirinya. Ada sorot mata lelah ketika gadis itu balas menatap Papanya sekarang. Arogan yang ditunjukkan oleh Papa sekarang membuat Anjani semakin muak untuk berlama-lama bersamanya di satu tempat.

"Tadi mampir ke toko buku, ada yang aku beli," dusta Anjani. Tidak mungkin ia berkata jujur jika selama di perjalanan menuju pulang ada masalah besar yang terjadi. Jika Anjani menjelaskan pun Papa mungkin tidak akan percaya.

Mendengar jawaban itu, Damar sedikit bersikap santai dihadapan putrinya. Belum merasa cukup dengan percakapan barusan, pria tersebut kembali bersuara, "Papa dengar dari guru les kamu, kemarin kamu ulangan harian Fisika, kan? Hari ini sudah dibagikan hasilnya?"

"Sudah, Pa."

"Mana, Papa mau liat."

Sesuai tebakan Anjani, Papa pasti akan memeriksa semua hasil ulangannya, tak peduli itu ulangan harian sekalipun. Bagi pria itu, semua hasil nilai putrinya patut untuk ia ketahui. Jika ada salah satu nilai di bawah KKM baginya, tak segan-segan pria itu akan menekan Anjani untuk lebih rajin belajar lagi.

"Sembilan puluh? Ini ulangan harian Anjani, kenapa kamu gak bisa dapat nilai seratus?"

Papa––pria yang tidak pernah puas dengan semua hasil nilainya. Padahal di sini jelas-jelas yang sekolah dirinya, yang belajar dirinya, yang mendapatkan nilai dirinya. Tapi anehnya Papa yang selalu protes dengan hasil nilainya.

"Aku udah belajar seharian untuk bisa dapat nilai sempurna, tapi ternyata cuman segitu yang aku bisa. Otak aku gak sanggup buat nampung semuanya, Pa. Lagipula nilai yang aku dapat gak serendah itu kan? Sembilan puluh masih bisa dikatakan mendekati nilai sempurna."

Sejujurnya, Anjani tipikal anak yang cukup berani menjawab, jika dirasanya ia tidak begitu salah, ia akan mati-matian membela dirinya. Meski berujung tetap Papa yang berkuasa memarahi habis-habisan dirinya.

"Itu namanya kamu tidak mengasah diri kamu untuk lebih baik lagi. Kamu beranggapan sembilan puluh sudah nilai yang bagus, padahal jika kamu berusaha lagi, kamu pasti bisa mendapatkan nilai seratus. Hasil yang kamu dapatkan harus kamu tingkat, bukan malah jalan ditempat, karena beranggapan hasil yang kamu dapat sudah jauh dari kata cukup. Itu sama saja kamu membiarkan orang lain merebut posisi kamu perlahan demi perlahan."

Jika dalam hal perdebatan, keduanya sama-sama keras, dan tidak mau mengalah. Anjani bahkan sempat memutar otak untuk menjawab perkataan Papa barusan. Namun sayang, Papa keburu kembali bertanya, membuat Anjani terdiam sesaat. "Papa tanya, nilai Amanda berapa?"

"Sama."

"Bohong."

Anjani terjebak dengan pertanyaan Papa. Ingin menjawab jujur, tapi ia takut dimarahin Papa lagi. Apalagi mengingat jika jarak nilainya dengan nilai Amanda cukup jauh.

"Kalau kamu gak mau jawab, Papa sendiri yang akan tanya ke Papanya Amanda langsung."

Jika dalam berbicara, Damar tidak pernah main-main. Terbukti sekarang ia sudah mencari kontak Papa Amanda untuk diteleponnya. Sedang Anjani langsung angkat suara, "Beda tiga. Amanda sembilan puluh tiga."

Iya, Anjani berbohong, demi keselamatannya. Beruntung Papa langsung percaya. Dengan wajah datar itu, Damar berkata, "Masuk ke kamar, belajar. Papa gak mau denger kedua kalinya nilai kamu berada di bawah Amanda. Gak peduli itu selisih dua atau satu. Yang Papa mau, kamu lebih unggul dari teman kelas kamu. Ngerti kan, Anjani?"

Anjani memilih mengangguk untuk menyudahi pembicaraan dirinya dan Papa sekarang ini. Hingga merasa tidak ada yang dibicarakan lagi, Damar membiarkan Anjani berlalu menuju kamarnya.

Sesampai di lantai dua, tepatnya di kamar milik Anjani, gadis itu tak pernah lupa mengunci rapat pintu kamarnya. Tak menghiraukan lagi tawaran Mama yang sebelumnya meminta dirinya untuk makan siang bersama. Bertemu Papanya lagi, Anjani sudah tidak ingin.

Menaruh asal tasnya ke sembarang tempat, lantas gadis itu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur kamarnya. Sempat ia memejamkan mata sejenak menetralkan rasa lelah yang ada. Hingga suara dering telepon mengalihkan atensinya seketika.

Karena terlanjur malas untuk beranjak dari tempat tidurnya, Anjani memilih meraba asal tangannya mencari ponselnya yang ia lempar di atas kasur juga. Ketika benda pipih itu  didapatnya, netranya langsung bertemu dengan layar ponsel yang tertera nomor asing di sana.

"Nomor siapa ini?"

Anjani tipikal orang yang fast respon, tidak peduli siapa si penelepon itu, ia lekas saja mengangkatnya tanpa banyak berpikir. Takut ada hal penting, pikirnya.

"Siapa ya?"

"Lo dimana?"

Anjani mengerutkan kening. Bukannya dijawab pertanyaannya barusan, orang di sebrang sana malah balik bertanya dengannya. Membuat Anjani terdiam sesaat, hingga terdengar kembali suara dari si penelepon itu.

"Anjani, lo denger gue kan? Lo dimana?!"

"Lo siapa sih? Tiba-tiba nelepon gue, terus nanya gue dimana, gak jelas banget!" 

"Gue Devan."

Seketika Anjani bangkit dari tempat tidurnya. Duduk di atas kasur dengan keadaan sedikit syok. Sungguh, ia tidak terlalu mengenali suara lelaki itu.

"Gue tanya sekali lagi, lo dimana?"

Sebenarnya Anjani masih kesal dengan Devan, karena ucapan lelaki itu yang kemarin. Namun tidak enak hati juga memutuskan panggilan sekarang. Hingga membuat Anjani menjawabnya dengan malas-malasan. "Di rumah."

Tak sampai tiga detik setelah jawaban Anjani terlontar, panggilan tiba-tiba saja diputuskan secara sepihak oleh Devan. Anjani melotot mata sempurna. Benar-benar bingung dengan sifat Devan yang tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat.

"Bener-bener aneh tuh orang! Kemarin datang ke rumah gue nanya keadaan gue, sekarang nelepon gue cuman nanya gue dimana. Besok-besok apalagi?!"

*****

Devan emang sulit ditebak, jadi harap memaklumi🙏

Btw hari ini aku double up lagi! Vote dulu chapter ini, baru lanjut ke chapter berikutnya

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

Roomate [End] بواسطة asta

قصص المراهقين

760K 51.4K 42
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
KANAYA (REVISI) بواسطة liaa0415

قصص المراهقين

2.2M 131K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
6.3M 144K 40
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
676K 70K 42
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...