Jevandra

By reretrsm

7.1K 447 67

"Sebaik-baiknya kekuatan adalah saat kamu mencoba untuk tersenyum pada orang yang telah melukaimu." Ya, Jevan... More

Tentang
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh

Empat Puluh Lima

81 7 1
By reretrsm

Halo semua-!🍓
Bagaimana kabar kalian? Saya harap baik-baik saja, ya.

Bagaimana puasa pertamanya?
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan🙏

Vote and comment jangan lupa, ya🍓

***

Keadilan lebih berpihak pada orang yang memiliki kekuasaan

***

"Ada apa?"

Gadis dengan jepit berbentuk bulan sabit yang terselip di rambutnya itu berdecak sebal ketika seorang pria paruh baya membuka pintu rumah. "Dipersilahkan masuk dulu dong, Bapak Yudha. Kedatangan kami ke sini dengan maksud baik, ingin melamar Jevan."

"Gue hajar lo, Ren," ancam Liam melirik sinis sang adik yang tengah tertawa pelan.

"Trobos aja lah." Tanpa menunggu sang pemilik rumah mempersilahkan masuk, gadis itu ngacir lebih dulu. "Ayo Jevan, masuk. Nggak usah sungkan, anggap saja rumah sendiri."

"Oren, yang sopan," tegur sang bunda. Tatapan Vinja beralih pada pria paruh baya dihadapannya. "Bisa kita masuk dan membicarakannya di dalam?"

Yudha beranjak masuk tanpa mengatakan sepatah kata lagi. Duduk di salah satu kursi tua single seraya menyilangkan kakinya. Rama, Vinja, dan Jevan duduk di kursi panjang. Sementara itu, Liam dan Louren duduk dengan nyaman di lantai tanpa beralaskan apapun.

Jevan merasa tak enak dengan kedua orang itu. "Sebentar, saya ambilkan kursi."

"Diam lo. Ntar oleng, gue juga yang repot," sembur Liam membuat Louren mengulum bibirnya menahan tawanya agar tidak mengudara.

Rama berdeham pelan seolah memberikan kode bahwa ia akan angkat berbicara dan tak ingin ada keributan sekecil apapun. "Kedatangan kami ke sini untuk mengantarkan Jevan pulang setelah semalam berada di rumah sakit."

"Ada apa dengan anak itu?" tanyanya menatap malas Jevan.

"Dia dihajar oleh sekelompok siswa saat berada di toilet hingga hampir kehabisan napas," jawab Rama singkat.

"Lemah," cibir Yudha.

Gadis dengan toples berisi stik keju di tangannya yang ia ambil di atas meja tanpa izin itu berdecih pelan mengetahui respon ayah Jevan. "Gitu doang responnya, Om?"

"Lalu, saya harus apa?" Yudha kembali menatap Rama. "Tidak ada yang dibicarakan lagi? Saya harus istirahat. Berapapun biayanya, jangan minta tagihan pada saya."

Semua orang menatap cengo ke arah Yudha yang beranjak bangun dan masuk ke dalam kamar. Jevan yang mengetahui sikap sang ayah hanya bisa meringis pelan. "Maaf atas sikap ayah saya yang kurang sopan."

"Oh? Bukan masalah yang besar, Jevan." Vinja tersadar, lalu menepuk pelan bahu remaja di sampingnya. "Bagaimana kalau kamu tinggal bersama kami selama proses pemulihanmu?"

"Sebelumnya terima kasih atas tawarannya, tapi kali ini Jevan ingin di rumah bersama ayah. Apalagi ayah baru pulang dari berlibur," terang Jevan.

"Gini aja." Liam berdeham pelan sebelum menyampaikan ide berliannya. "Bagaimana  jika Jevan tinggal dengan kita, sedangkan Louren tinggal bersama om Yudha?"

Louren menatap sinis sang kakak yang seolah tidak merasa bersalah. "Rada bangsyat emang abang gue satu ini, adabnya kurang."

"Sudah, jangan adu mulut di rumah orang," lerai Vinja. "Jevan, kami terima keputusanmu. Jika terjadi sesuatu sekecil apapun, hubungi kami semua. Jangan sungkan, anggap Tante seperti bundamu sendiri."

Liam bangkit dan memeluk bahu Jevan walaupun harus sedikit membungkuk. "Lain kali lawan semua orang. Mungkin buat lo mengalah dan menerima jauh lebih baik, tapi ada kalanya lo melawan untuk menghentikan perbuatan keji orang lain."

"Kita semua selalu ada di belakang lo, Jevan," timpal Louren.

Remaja lelaki yang terduduk diam itu menghela napas pelan. "Keadilan nggak akan pernah bisa berpihak pada orang miskin seperti saya. Kedudukan saya jauh berada di bawah mereka semua."

Keempatnya saling bertukar pandang mendengar penuturan Jevan. Louren yang mengerti suasana mendadak canggung, ia menyudahi kegiatannya menghabiskan camilan di meja. "Jevan, katanya mau kasih tau gue sesuatu?"

"Nggak sekarang, ya," jawab Jevan diselingi senyum lembut.

Gadis itu mengangguk paham. "Gue tunggu."

"Setelah ini istirahat, kami semua pamit pulang. Jangan mengerjakan tugas rumah dulu, keadaanmu belum pulih," titah Rama bangkit diikuti yang lain. "Apabila butuh sesuatu, hubungi istri saya. Kamu sudah menyimpan nomornya, kan?"

Jevan mengangguk pelan. Ia mengantar keempat orang berbeda usia itu hingga depan rumah usai mengucapkan banyak terima kasih. Tungkai kakinya kembali masuk ke rumah dan duduk di kursi ruang tamu sembari merenung. Lukanya tak separah saat terjatuh dari atap gedung sekolahnya, namun kejadian di toilet hampir saja meregang nyawanya untuk kesekian kali.

Rasanya ia tak ingin lagi kembali ke sekolah itu, namun lagi-lagi impiannya sejak kecil harus digapai apapun tantangannya. Tak pernah terbesit sedikitpun di pikiran untuk membalas semua perbuatan buruk orang di sekitarnya. Bahkan untuk memikirkan hal buruk saja ia tak sanggup. Jevan mengakui bahwa dirinya tidak ada apa-apanya dibandingkan semua orang.

"Sabar, Jevan. Nggak lama lagi kamu akan keluar dari sekolah itu," monolognya mencoba untuk menyemangati diri sendiri.

Cklek

Sosok pria paruh baya dengan tubuh semapai itu keluar dari kamarnya. Pandangan keduanya saling bersirobok sebelum akhirnya pria itu memutuskan terlebih dahulu dan berjalan menuju meja makan guna menuangkan segelas air ke dalam gelas.

"Saya terlalu lelah menyiksamu, Jevan." Yudha duduk di kursi meja makan. Kontrakan kecil yang hanya memiliki dua kamar dengan ruang tamu dan dapur tanpa pembatas apapun memudahkan kedua orang berbeda generasi itu berbicara walaupun tidak duduk berhadapan. "Apabila saya kembali menyiksamu, itu artinya saya belum bisa berdamai dengan semua luka yang wanita itu torehkan."

Jevan bergeming di tempat. Bingung harus menimpali perkataan sang ayah. Ia tak terbiasa menjawab apapun yang Yudha katakan, karena sedari dulu pria berwajah datar itu melarangnya menjawab semua perkataannya. Dirinya hanya diperbolehkan mendengarkan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Bagaimana pencarianmu? Bukankah saya sudah menunjukkan alamatnya?" tanya Yudha.

Remaja itu memainkan kedua tangannya sebagai bentuk menyalurkan sesak di dadanya. Bukan, bukan itu yang ia harapkan. Bukan pertanyaan mengenai ayah kandungnya yang dirinya harapkan. Jevan hanya menginginkan Yudha menanyakan keadaan dan apa yang telah terjadi padanya.

Terlepas dari siapa sebenarnya Yudha, Jevan terlampaui sayang kepada pria yang secara suka rela membesarkannya meskipun dengan didikan keras. Jika bukan karena Yudha, ia tak akan pernah mau mencari keberadaan ayah kandungnya. Dirinya bahkan tidak mengharapkan keberadaan ayah kandungnya, sungguh. Baginya sudah cukup memiliki ayah seperti Yudha.

Mungkin pemikirannya satu ini terkesan bodoh. Namun, bagi Jevan sudah cukup rasanya tinggal bersama Yudha yang notabene-nya adalah ayah tirinya. Ia tidak ingin mengecewakan hatinya untuk kesekian kali. Dirinya tak siap jika lagi dan lagi mendapat penolakan. Sang bunda sudah membuangnya dan enggan bertemu, bagaimana dengan ayah kandungnya?

"Hei, kejadian di sekolah tidak membuatnu menjadi bisu, kan?"

Kesadaran Jevan terasa kembali setelah mendengar celetukan dari sang ayah. "Rumah yang dimaksud Ayah sudah lama terjual."

"Lalu?" tanya Yudha berjalan mendekat lantas duduk.

"Pemilik sebelumnya pindah ke perumahan terbesar di kota, itu yang pemilik baru katakan."

Yudha mengedikkan bahunya acuh. "Cepat cari keberadaan ayah kandungmu. Saya tahu perumahan yang orang itu katakan."

Kepala Jevan tertunduk lesu. "Ayah, haruskah mencari keberadaan ayah kandung Jevan?"

"Saya bukan salah satu keluarga kandungmu. Saya pun bukan orang baik yang selamanya akan memberi tumpangan hidup untukmu, Jevan," tegasnya.

"Mengapa tidak bertanya pada Bunda?"

Pria itu tersenyum sinis. "Apa yang kamu harapkan dari jalang itu?  Jangan bertindak bodoh, carilah sendiri selagi bisa."

"Semakin kamu cepat bertemu ayah kandungmu, semakin cepat kamu pergi dari hadapan saya. Melihatmu sama saja mengingat pengkhianatan bundamu itu," pungkas Yudha beranjak masuk ke kamarnya.

Tatapan sendu pada pintu kamar yang tertutup rapat itu beriringan dengan sesak di dada. Ayah tirinya tak pernah bisa berdamai dengan masa lalu dan melihatnya sebagai seorang anak meskipun tak ayal jika ia bukan darah dagingnya. "Maaf, Ayah."

***

Mimik wajah pria dengan balutan jas itu tampak masam. Siapa lagi jika bukan Varel yang baru saja menginjakkan kakinya di teras rumah Rama. Tuan besar yang terhormat itu memintanya datang ke rumah sakit, namun perawat mengatakan bahwa pasien atas nama Jevan baru saja pulang. Ia berasa dipermainkan oleh pria tua banyak mau itu.

"Silahkan masuk, Tuan," ucap salah satu art di rumah itu. Tungkai kakinya berjalan cepat menuju ruang keluarga dimana Rama berada saat ini. "Selamat malam, Tuan."

Rama yang tengah asik menonton seraya bercengkrama dengan kedua anaknya itu berbalik. "Kamu jalan darimana? Arab Saudi? Lama banget perasaan."

"Hai, Om Varel," sapa Liam. "Habis sedih-sedih langsung kerja aja."

"Biasanya kalau orang habis dari luar negeri itu bawa buah tangan." Louren menimpali seraya melirik kedua tangan Varel yang tampak kosong.

Varel mendesah pelan mendengar perkataan tak bermutu dari ketiganya. Ayolah, ia tengah berduka. Baru saja pulang dari pemakaman, mengapa harus disuguhkan para monyet lepas dari kandangnya? Lagipula, mulut Louren sangat tidak bisa dijaga. Pasti gadis itu yang melapor pada sang ayah jika Varel baru saja pulang dari Italia.

"Wajahmu tampak lesu, terlihat sangat lelah."

Louren mengangguk setuju. "Macam nggak makan dan mandi setahun."

"Orang baru dapat predikat sadboy, ciri-cirinya sama seperti bang Varel," sahut Liam kembali merebahkan dirinya di karpet berbulu tebal.

Lihatlah, ketiga manusia minim akhlak itu merasa tidak bersalah sedikitpun. Tidak mengabarinya jika sudah berada di rumah. Sekarang, ia kena roasting. Benar-benar tidak punya hati. Varel tersenyum berusaha menutupi kekesalannya, bisa potong gaji apabila melawan. "Ada apa Tuan memanggil saya kemari?"

"Jangan senyum, senyum kamu jelek." Rama bangkit lalu berjalan menuju ruang tamu. Saat melewati Varel, ia menepuk pelan bahu pria muda itu. "Kita bicarakan di depan."

Sabar Varel, sabar. Dirinya masih bekerja di bawah naungan Affan dan Rama. Tuannya yang satu ini memang agak lain tingkahnya, ia harus kuat. Sebelum mendapat teriakan Rama, lebih baik segera menyusul daripada terkena komentar pedas yang menusuk hingga ke sukma.

Berdiri di hadapan Rama yang duduk santai dengan tangan bersandar pada sandaran kepala. "Duduk saja, Varel. Bersikap santai dengan saya."

"Oh, ya. Bagaiamana dengan Affan? Apa yang akan pria jelek itu lakukan?" tanyanya.

"Tuan Affan hanya menyuruh saya untuk memastikan putra tirinya baik-baik saja. Kabar mengenai perlakuan putra kandungnya belum sampai ke telinga tuan Affan," terang Varel.

Rama mengangguk pelan sembari menghitung dalam hati.

Satu

Dua

Ti

Getaran pada saku jas Varel tampak membuat Rama tersenyum bangga. Pasti si penelpon itu adalah Affan. "Siapa? Affan? Loudspeaker."

"Halo, tuan–"

"Pastikan Ozi tidak keluar rumah hingga saya tiba di Indonesia. Anak itu semakin liar jika dibiarkan," perintah Affan.

"Baik, Tuan."

"Hey, jelek. Hukum anakmu sebelum seseorang mencabut nyawamu." Rama ikut menimbrung.

Terdengar decakan keras dari seberang telepon menandakan perkataan Rama berhasil membuat orang itu tersinggung. "Aku tahu, sialan. Karena itu aku ingin putraku aman di dalam rumah."

"Jaga baik-baik putra kandungmu itu sebelum ada monster melahapnya sebagai bentuk datangnya karma atas perlakuan biadab putra kandungmu itu," ujar Rama jenaka.

"Sialan kau–"

Tut.

Rama memutuskan panggilan sepihak. Ia yakin orang di seberang sana pasti tengah mencak-mencak mendengar nasihat penuh makna dari seorang kepala keluarga yang bijak ini. "Dasar buaya, mengurus anak saja tidak bisa. Hanya bisa menghamili wanita saja."

"Kali ini siapa yang membunuh kekasihmu itu?"

"Daniel, putra dari keluarga Bayanaka," jawab Varel meremat tangannya yang bertumpu pada kedua lututnya.

"Penyebab?"

"Daniel mengira Heera mengetahui bahwa dia adalah pelaku kejadian naas yang menimpa Jevan di rooftop."

"Woahh, anak muda zaman sekarang sangat berani dalam mengambil tindakan." Pria itu tak habis pikir dengan jalan pikiran sebagian murid di SMA Cendrawasih. "Menyalahgunakan kekuasaan keluarga dan bertindak tanpa memikirkan kedepannya."

"Lantas, apa yang akan kamu lakukan?" lanjutnya.

Varel terdiam sejenak. "Bocah ingusan itu belum tahu bahwa saya sengaja meletakkan alat pelacak di bawah mobilnya dan menyadap ponsel Heera. Semua pembicaraan mereka terekam di alat penyadap. Juga ada beberapa rekamam cctv."

"Hanya mobil Daniel saja yang kamu pasang?"

"Tidak, mobil teman-temannya pun terpasang sejak insiden Jevan di rooftop. Alat pelacak itu berguna sekarang."

Menganggukkan kepalanya pelan, sedetik kemudian keningnya bergelombang. "Apabila kamu membawa kasus Heera ke meja hijau, semua bukti yang kamu kumpulkan tidak bisa diterima."

"Setidaknya dia mendapatkan sanksi sosial," tegas Varel.

Keduanya terdiam saat art datang membawa nampan berisi dua cangkir teh hijau. Rama mempersilahkan Varel minum terlebih dahulu karena tahu bahwa pria muda itu sangat marah atas kematian kekasihnya yang baru saja dicintainya. Sangat lucu sekaligus miris kisah percintaan seorang Varel.

"Secepatnya kita harus menyelesaikan segala kasus di SMA Cendrawasih dan menuntaskan perkara Jevan. Anak itu terlalu naif atas semua yang terjadi padanya." Rama kembali angkat bicara.

"Haruskah kita memecat kepala sekolah?"

"Jangan dulu," jawab Rama tak setuju. "Jika kita melepaskan bedebah itu, mungkin semakin sulit menangkapnya nanti."

"Kita selesaikan terlebih dahulu masalah di sekolah, dari penggelapan dana hingga kematian salah siswa bernama Naren yang kasusnya ditutup. Sisanya biarkan Affan yang memikirkannya," imbuh Rama.

***

Jaga kesehatan dan selalu bahagia, ya🍓

Semua informasi dan lain-lain ada di medsos Tata, follow yuk.

Instagram : @tatattalgi
                                 @weekendtata
        Tiktok         : @weekendtata

Selalu berikan cinta dan dukungan kalian dengan vote dan comment.
Terima kasih banyak🍓

Continue Reading

You'll Also Like

Say My Name By floè

Teen Fiction

1.2M 72K 35
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
818K 23K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
877K 193K 51
Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi seorang Kafka Rafan El-Fatih. Di tengah...
332K 9.5K 40
Alskara Sky Elgailel. Orang-orang tahunya lelaki itu sama sekali tak berminat berurusan dengan makhluk berjenis kelamin perempuan. Nyatanya, bahkan...