Jevandra

By tatattalgi

6.6K 383 67

"Sebaik-baiknya kekuatan adalah saat kamu mencoba untuk tersenyum pada orang yang telah melukaimu." Ya, Jevan... More

Tentang
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh

Empat Puluh Dua

55 6 0
By tatattalgi

Spam comment, yuk🍓

***

Aku tidak bisa menangis sebanyak diriku tersenyum sepanjang hari.

***

"Ah, di sini rupanya si tolol," ujar Ozi berjalan masuk diikuti ketiga temannya.

Sontak Jevan mematikan kran air. Ia menatap menatap awas sekitarnya. Semua bilik toilet terbuka menandakan tidak ada orang selain dirinya dan keempat temannya. Melawan Ozi bukanlah hal yang sulit, namun lebih baik menghindar daripada berakhir mendapat surat peringatan atau bahkan dikeluarkan dari sekolah atas kekuasaan keluarga Naksabandi.

"Sampai kapan kamu mengusik hidup saya?"

Arghi melemparkan pesawat kertas buatannya ke arah Jevan. "Sampai nyawa lo melayang, mungkin."

"Supaya sekolah ini terbebas dari anak miskin dan gak tahu diri seperti lo," timpal Ettan menutup pintu agar tidak ada orang yang masuk. Siapapun yang berani masuk, mungkin saja akan bernasib sama seperti Jevan.

"Saya nggak pernah membuat kesalahan, mengapa kalian selalu mengusik ketenangan saya?"

"Mendramatis," cibir Daniel.

Lelaki dengan tinggi semapai berjalan lebih dekat ke arah Jevan lantas menendang perutnya hingga tersungkur. Pukulan demi pukulan Ozi layangkan tanpa belas kasihan sedikitpun. Ketiga temannya menonton dengan santai seakan kejadian di depannya adalah sebuah pertunjukan menarik.

"Anak jalang pembawa sial," maki Ozi terus memberi pukulan pada wajah dan perut Jevan.

Ettan menatap malas ke arah orang yang tengah meringkuk menahan kesakitan di bawah kukungan Ozi. Ia mendekat lalu menendang dan menginjak tubuh Jevan seolah orang di bawahnya bukanlah manusia. "Lo harus di beri pelajaran agar nggak ngelunjak."

"Ka–kalian pengecut," lirih Jevan terbata.

"Bacot, sialan," maki Ozi menarik rambut hingga membuat Jevan mau tak mau berdiri seraya menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. "Tutup aliran air wastafel dan isi hingga penuh."

Entah kepada siapa ia memerintah, tapi Arghi menjalankannya dengan bersemangat seakan ini yang dirinya nantikan sejak tadi. Tak berselang lama, air wastafel terisi penuh dan dibiarkan tetap mengalir hingga membasahi lantai. "Buruan. Keburu majikan nih anjing datang."

Ozi tersenyum miring menatap banyak luka di wajah Jevan akibat ulahnya dan Ettan. Tangannya yang setia berada di rambut Jevan, segera menariknya dan beralih mencengkram tengkuk. Kemudian ia dorong tengkuk temannya itu hingga hampir seluruh bagian kepalanya masuk ke dalam wastafel berisi air. Menekan kuat agar sang empu tak dapat bergerak.

Kini warna airnya berubah menjadi merah diiringi bau anyir. Tangan Jevan tergerak mencari benda apapun yang bisa membantu dirinya agar bisa lepas dari kukungan Ozi. Sungguh, ia hampir kehabisan napas sekarang. Kepalanya terus ditekan hingga keningnya mengenai permukaan wastafel.

"Eummmm." Kepala Jevan bergerak kesana-kemari dengan sulit. Tangannya terus meraba-raba sekitar. Buih-buih keluar dari mulutnya. Napasnya mulai memberat seiring kepalanya terasa sangat sakit.

Ozi menarik rambut Jevan kuat saat dirasa tubuh korbannya mulai melemas, lantas dihempaskan ke pojok toilet. Pukulan keras kembali Ozi layangkan pada wajah dan perut Jevan. "Mati lo, sialan!"

"Membunuh Jevan nggak akan membuat lo masuk penjara," ujar Arghi meraih seragam Jevan di wastafel lantas membuangnya ke tempat sampah. "Semua akan aman."

"Kasihan," sahut Ettan menyaksikan hal itu seraya melipat kedua tangannya.

Tangan Daniel melingkar di bahu Ettan. "Sekolah kita terlalu bagus untuk anjing pesuruh seperti Jevan."

"Anak jalang!"

"Pembunuh!"

"Keluarga gue hancur karena nyokap lo, sialan!"

"Lo harus hancur!"

Umpatan demi umpatan kepada Jevan terus terucap dari bibir Ozi. Tak peduli darah Jevan menodai sepatu berwarna putih. Ia hanya ingin melampiaskan semua emosinya dan rasa sakit atas semua yang ayahnya lakukan terhadap dirinya dan sang bunda. Ozi merasa bodoh sebab tidak sadar bahwa Jevan adalah anak dari selingkuhan ayahnya.

Brak!

"HENTIKAN!"

"Apa yang kalian lakukan?! Sangat memalukan!"

Atensi keempatnya beralih pada pintu toilet yang dibuka dengan kasar. Pak Yusuf menatap murka kepada muridnya. Lain halnya dengan Louren yang berlari mendekat ke arah Jevan. Sebelum itu, ia mendorong tubuh jangkung Ozi agar menyingkir. Kedua kakinya menekuk hingga lututnya menyentuh lantai. Ditepuknya pelan pipi Jevan, berharap kelopak mata temannya tetap terbuka.

"Jevan, hei. Dengar gue, kan?"

Pandangan Jevan kian memberat, tapi dapat mendengar perkataan Louren meski samar. "Lo–Louren, s-saya–"

"Pak Yusuf!" seru Louren saat Jevan tak sadarkan diri.

Pria paruh baya itu mendekat ke arah kedua muridnya lantas berjongkok membelakangi. "Louren, bisa bantu letakkan Jevan di punggung saya?"

Louren menarik tubuh Jevan hati-hati di bantu pak Yusuf. Setelah dirasa posisi Jevan aman, pria itu bangkit dengan beban di punggungnya keluar dari toilet siswa diikuti Louren yang berjaga di belakang. "Langsung bawa ke rumah sakit, Pak."

"Tolong ambil kunci mobil di meja saya, Louren. Saya tunggu di parkiran khusus guru," titah pak Yusuf di tengah larinya.

"Baik, Pak." Louren segera berbelok ke arah kantor guru sesuai perintah guru wali kelasnya.

"Mati lo semua di tangan Jevan," desisnya.

***

wajah Ozi berpaling seiring pukulan telak yang didapatkannya tepat di sudut bibir. Tawa hambar terpatri di wajah angkuhnya saat sang ayah melayangkan satu tamparan saat ia baru saja pulang sekolah dan baru menginjakkan kaki di ruang tamu. Bagaimana bisa sang ayah menjadi ringan kepadanya?

"Apa yang telah kamu lakukan terhadap teman kelasmu, Ozi?!" gertak sang ayah, Affan.

Manik hitam itu menatap nyalang pada pria paruh baya dengan wajah memerah akibat menahan emosi. "Kenapa? Ayah merasa tersakiti saat anak tirinya disiksa dengan anak kandungnya?"

"Apa?" beo Affan. "Bagaimana kamu–"

"Bagaimana bisa tahu, heuh?" Ozi menyeringai seraya menyeka darah di sudut bibirnya. "Ozi sudah mengetahui semuanya, bahkan saat Ayah diam-diam berkunjung ke rumah Louren untuk merencanakan pembalasan atas semua yang terjadi pada Jevan."

Lelaki dengan seragam sekolahnya yang tampak kusut itu memalingkan wajah. "Sekarang, apa Ayah akan menghancurkan putra kandungnya sendiri demi melindungj putra tirinya?"

Wajah Affan pias. "Ozi, ayah hanya berusaha bersikap adil kepadamu dan–"

"DAN ANAK JALANG ITU, BENAR!?"  teriak Ozi menatap nyalang sang ayah. "KENAPA AYAH TIDAK MENYINGKIRKAN OZI SEPERTI YANG AYAH LAKUKAN TERHADAP BUNDA DEMI HIDUP BAHAGIA BERSAMA JALANG ITU?!"

Tangan Affan hendak meraih tangan sang penerus utama keluarga Naksabandi, namun ditepis dengan kasar. "Ozi, jangan mengungkit–"

"Bagaimana bisa ayah hidup bahagia bersama wanita itu, bahkan melahirkan seorang putra atas perselingkuhan kalian?" Manik mata yang selalu menatap nyalang setiap orang, kini meredup. "Ayah menyakiti bunda dengan berselingkuh hingga membuat wanita yang Ozi sayang pergi."

"Menikahi jalang itu secara diam-diam dan memiliki kehangatan keluarga. Tanpa merasa bersalah kepada putra kandungnya, ayah menjaga Jevan dan putra kecilnya dengan ketat." Ozi tertawa miris membayangkan semuanya. "Terlalu sibuk dengan kehidupan barunya hingga melupakan putra kandungnya yang hidup kesepian di rumah sebesar ini."

Ozi menatap dalam manik mata ayahnya. "Bagaimana jika Jevan adalah anak kandung Ayah?"

Affan menggeleng panik mendengar penuturan sang anak. "Ozi, persepsi kamu salah. Jevan bukan darah daging Ayah. Ayah–"

"Ayah hanya berusaha melindunginya, benar?" ujar Ozi meremat kedua tangannya di sisi tubuh. "LALU MENAMPAR OZI SEBAGAI BENTUK HUKUMAN KARENA MENCELAKAI ANAK TIRINYA, BEGITU!?"

"Tolong dengarkan ayah," bujuk Affan. "Tentang Jevan, semua ayah lakukan bukan semata-mata dia anak dari ibu tirimu–"

"Tidak sudi mendengar bahwa jalang itu adalah ibu tiri," potong Ozi pedas.

Affan menghela napas sejenak. "Ayah hanya menjalankan tugas."

Ozi berdecih. "Tugas sebagai kepala keluarga, heuh?"

"Ayah tidak ingin membuatmu kecewa atas pernikahan ayah–"

"Muak dengarnya, terlalu banyak drama." Lelaki itu meraih tasnya yang tergeletak di bawah lantas berjalan menaiki tangga tanpa mendengarkan panggilan sang ayah.

Affan menatap nanar punggung sang putra. "Mereka harus segera datang untuk menyelesaikan masa lalunya."

"Jangan sampai Winda mengetahui bahwa Jevan terluka."

***

Heera duduk termenung di balkon kamarnya. Menatap bulan yang menggantung indah dengan hamparan bintang di sekitarnya. Ditemani segelas susu dan roti buatan bundanya serta buku novel yang siap ia baca saat bosan menatap langit.

"Kak Varel apa kabar, ya?" tanya Heera entah kepada siapa. "Akhir-akhir ini terlihat sangat sibuk."

"Hanya dengan kak Varel gue boleh keluar rumah," gumamnya menangkup pipinya dengan kedua tangan dan siku yang berada di atas meja sebagai tumpuan.

Ting!

Atensi Heera beralih pada notifikasi ponsel. Ia meraih benda persegi itu lantas membukanya. Keningnya mengernyit seiring bibirnya tergerak membaca pengirim pesan yang ia dapat. "Ettan? Ada apa?"

Ettan C :
Nyusul ke sini. Temani gue nonton di mall keluarga gue, gue tahu lo lagi bosan.


Gadis cantik itu menegakkan tubuhnya. Ia bergegas masuk ke dalam dan berganti pakaian. Tak memakan banyak waktu, gaun berwarna pink soft sebatas lutut dengan lengan pendek membalut tubuh mungil Heera. Rambut panjangnya sebatas punggung dibiarkan tergerai indah, jangan lupakan jepit rambut menambah kecantikannya semakin terlihat.

Diraihnya slingbag di rak khusus ras bermerek miliknya, setelah itu turun ke bawah. Manik matanya menjelajah ke setiap sudut ruangan berharap tidak ada orang satu pun. Biasanya, anggota keluarga masuk ke kamar masing-masing tepat setelah makan malam. Heera berharap dirinya bisa keluar rumah tanpa diinterogasi terlebih dahulu meskipun ia harus memutar otak saat penjaga di depan rumah bertanya.

"Mau kemana kamu?" Heera memejamkan kedua matanya saat mendengar suara sang ayah. Perlahan ia berbalik dan menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum. "Keluar sebentar, Yah. Sudah lama nggak bertemu kak Varel, kami akan menonton bersama malam ini."

"Kamu berbohong, Heera." Sang kepala keluarga melipat kedua tangannya di depan dada. "Varel selalu membuat janji denganmu sekitar jam tujuh malam, sedangkan ini hampir jam 9 malam."

Mimik wajah Heera berubah dalam hitungan detik. Seharusnya ia memikirkan cara lebih matang agar tidak gugup seperti ini. "T–tapi, kak Varel baru bisa meluangkan waktunya malam ini. Akhir-akhir ini dia sibuk."

"Dia menjemputmu?"

"Eumm, Heera meminta bertemu langsung di mall agar dia nggak bolak-balik." Heera berusaha mempertahankan senyumnya. Ia melirik notifikasi di ponselnya. "Ayah, taksi online Heera sudah datang. Heera pergi dulu, jangan khawatir karena kak Varel akan menjaga putri ayah ini."

Suara sang ayah tertahan saat melihat sang punggung sang putri hilang di balik pintu. "Mengapa dia tidak membawa supir saja?"

Tanpa menunggu waktu lama, gadis berdarah bangsawan itu keluar rumah. Menaiki taksi online yang ia pesan sebelumnya. Ia bernapas lega berhasil kabur dari runtutan pertanyaan sang ayah. Jika menggunakan embel-embel Varel, dirinya tak perlu pergi dengan banyak pengawal yang membuntutinya. Keluarganya sangat memercayai kekasihnya.

Sesampainya di lokasi yang Ettan kirim, Heera mengetikkan pesan bahwa ia telah sampai di tujuan. Temannya itu menyuruhnya ke rooftop, membuat gadis itu mencebikkan bibir. "Sejak kapan nonton bioskop di rooftop?"

Tak berselang lama, ia tiba di rooftop mall. Heera menatap sekeliling yang terlihat sepi. Mall milik keluarga Ettan. Sudah beberapa kali dirinya dan lainnya berkunjung ke sini meski sekadar berkumpul dan menikmati waktu bersama dengan teman-temannya. Rooftop yang awalnya dibuat untuk umum, kini menjadi area privat. Hanya dapat dikunjungi pemilik dan orang tertentu, termasuk teman-teman Ettan.

"Sudah datang, Heera?"

Gadis itu berbalik saat indra pendengarnya menangkap suara lelaki. Mimik wajah terkejut terpatri jelas di wajah ayu Heera. "Daniel?!"

"Halo, Heera," sapa Daniel berjalan mendekat dengan kedua tangan yang berada di saku jaket kulitnya.

"Lo di sini juga? Dimana Ettan?" tanya Heera menatap sekitar saat tidak menemukan batang hidung anak semata wayang dari pemilik mall tersebut.

"Ettan menyusul." Daniel menatap lurus gedung-gedung di depannya. "Ayo kita bersenang-senang malam ini, Heera."

***

Hayooo, siapa yang mikir pria yang sering berkunjung ke rumah Louren adalah ayah kandung Jevan?

Jaga kesehatan dan selalu bahagia, ya🍓

Semua informasi dan lain-lain ada di medsos Tata, follow yuk.

Instagram : @tatattalgi
                                 @weekendtata
        Tiktok          : @weekendtata

Selalu berikan cinta dan dukungan kalian dengan vote dan comment.
Terima kasih banyak🍓

Continue Reading

You'll Also Like

497K 53.7K 23
Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum layaknya bayi beruang saat ia sedang marah...
586K 27.7K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.8M 79.4K 36
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

6M 331K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...