Jevandra

By tatattalgi

6.6K 383 67

"Sebaik-baiknya kekuatan adalah saat kamu mencoba untuk tersenyum pada orang yang telah melukaimu." Ya, Jevan... More

Tentang
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh

Tiga Puluh Satu

61 5 2
By tatattalgi

Mohon maaf banyak typo karena belum sempat revisi.

***
Tidak ada yang dapat dipercaya, bahkan bayanganmu sendiri akan meninggalkanmu di tengah kegelapan.

***

"Karena itu gue mau ngajak lo ke lantai atas. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan." Lelaki itu bangkit setelah meletakkan minumannya di meja lantas hengkang tanpa memerdulikan temannya itu.

"Bajingan," umpat Litha menyusul Daniel yang sudah menghilang di balik pintu restoran.

Keduanya berjalan beriringan memasuki sebuah lift khusus para petinggi dan tamu penting di ujung lorong. Daniel yang mengetahui tujuan mereka kemana, segera menekan tombol bertuliskan 47. Lantai teratas yang hanya bisa di kunjungi oleh marga Bayanaka dan orang kepercayaannya. 

"Serius lo ngajak gue ke lantai 47? Bukannya dilarang?" tanya Litha.

"Gue anak tunggal di keluarga Bayanaka," jawabnya dengan nada congkak.

Tak berselang lama, keduanya keluar dan kembali berjalan sebentar hingga dihadapkan dengan sebuah pintu megah. Lelaki itu menempelkan kartu akses di samping pintu. Litha bedecak kagum dengan kemewahan di sekelilingnya. Ia hanya mengetahui bahwa ayah Daniel berprofesi sebagai pengacara ternama dan memiliki hotel kecil yang dirahasiakan namanya.

"Sejak turun dari mobil, gue nggak sadar kalau hotel ini mewah," kagumnya.

"Mata lo tadi tertutup kacamata hitam sih," cibir Daniel mendudukkan dirinya di sofa.

Litha yang masih setia berdiri menatap ruangan luas dengan perabot mahal itu berdecih pelan. Menghampiri Daniel dan duduk di sebelahnya. Kaki kanannya ia letakkan di atas paha kiri dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Maniknya masih tertarik untuk menjelajahi isi ruangan megah itu. Sangat disayangkan apabila tidak cuci mata melihat barang mewah.

"Lo mau jual diri? Segala pakai dress mini ketemu gue."

Daniel tidak habis pikir dengan jalan pikiran temannya itu. Untuk ukuran anak SMA, gaya berpakaian Litha terlalu terbuka menurutnya. Terlebih mereka berasal dari sekolah bergengsi, apa kata orang nantinya? Mungkin tidak masalah jika berada di luar negeri. Namun, temannya itu lupa jika masih berada di negara Indonesia dimana anak SMA berpakaian terlalu terbuka masih dianggap hal tabu.

"Mau jual diri ke bokap lo," balas Litha tenang.

"Congor lo, Tha. Habis lo kalau sampai bapak lo dengar." Lelaki itu membelesak ke sandaran sofa. "By the way, gue mau bicara."

"Lo dari tadi ngapain? Ngereog?" kesal Litha.

Daniel harus banyak bersabar saat bersama dengan temannya satu ini. Selain Ozi yang emosian, Arghi dan segala kepolosannya, ia juga harus bersabar menghadapi Litha dengan akhlak minimnya. Tidak heran jika terkadang temannya–Gaven–tampak lelah menghadapi mereka semua. "Kurang sabar apa gue punya teman modelan seperti ini."

Tangannya meraih gagang telepon di atas nakas seraya menekan beberapa nomor lantas mendekatkan ke arah telinga. "Bawakan salah satu vodka koleksi terbaru dan orange juice." Tanpa mendengar balasan dari orang di seberang, Daniel memutus panggilannya sepihak.

"Lo nggak nawarin gue minum dulu gitu?"

"Jawabanya pasti orange juice. Hafal gue mah. Sungkem dulu sini, karena gue termasuk kategori teman yang pengertian," bangganya tersenyum congkak.

Mendengar itu, Litha sontak berlagak seakan ingin muntah. "Mual gue dengarnya. Udah deh, hal penting apa yang mau lo bicarakan sampai harus bertemu?"

"Jujur sama gue, teror yang gue dapat selama ini dari lo?"

"Teror? Gue? Maksud lo apa? Lo nuduh gue sebagai pelakunya?" sungut Litha. "Nggak guna gue neror manusia macam lo."

"Lo yang nyebarin semua kelakuan gue di mading sekolah?"

Kening Litha mengernyit. "Berita tentang hamilnya salah satu siswi SMA sebelah karena korban pemerkosaan dan ternyata lo pelakunya?" tanyanya memastikan.

Anggukan kepala dari temannya membuat gadis bersurai panjang itu mendelik. "Atas dasar apa lo nuduh gue? Ada bukti?"

"Pertama, lo bersembunyi nggak jauh dari gue berdiri saat mendapatkan teror. Kedua, raut wajah lo terlihat bahagia saat gue mendapat rumor menghamili salah satu siswi SMA Merdeka. Terakhir, tulisan tangan peneror mirip seperti tulisan tangan lo," terangnya.

Litha menegakkan badannya saat kalimat yang terlontar dari temannya sangat di luar nalar. "Lo–"

Perkataannya terpotong tatkala seorang pelayanan masuk membawa troli berisi pesanan Daniel sekaligus beberapa makanan ringan. "Silahkan dinikmati," ujarnya meletakkan semua yang berada di troli ke atas meja lantas berjalan meninggalkan ruangan setelah membungkukkan badannya.

"Minum dulu biar lo nggak emosi," titahnya.

Tangan Litha meraih segelas jus dengan kasar seraya menatap sinis teman lelaki yang tampak santai menuangkan vodka ke dalam gelas. Ia meneguk jusnya hingga setengah dan kembali menyimpan di atas meja. "Gue nggak pernah neror lo dalam bentuk apapun."

"Alasan kenapa gue terlihat senang dengan rumor yang menimpa lo, itu semua karena bahagia orang di sekitar gue menderita. Sampai sini paham?" Litha sengaja menekankan setiap kata yang terucap.

Daniel termenung. Seharusnya ia sadar sejak awal. Temannya itu bukan tipikal orang  yang suka meneror sebagai ajang untuk balas dendam. Ciri khas dari seorang Litha ialah blak-blakan apabila tidak menyukai seseorang, baik dari segi apapun. Lalu siapa yang neror gue selama tiga bulan terakhir?

"Nggak hanya lo yang mendapat teror sampah itu, gue juga sama."

Mimik wajah lelaki itu berubah dalam hitungan detik. "Lo juga dapat teror itu? Dimanapun lo berada?"

Mengangguk pelan seraya menatap langit-langit berusaha mengingat kapan terakhir kalinya ia mendapatkan teror yang sangat mengganggu ketenangannya. "Pertama dan terakhir kali gue dapat teror itu dua bulan yang lalu di toilet sekolah."

"Sepertinya sengaja ditulis menggunakan darah sebagai peringatan untuk gue. 'Perbuatanmu dimasa lalu akan mulai menujukkan akibatnya, bersiaplah!!!sepertinya itu yang gue ingat," ujar Litha menerka-nerka.

***

Kedua tangan Jevan saling meremat. Kepalanya tertunduk saat pertanyaan demi pertanyaan yang ditujukan padanya. Sungguh, demi apapun ia belum siap menjawab apapun. Seperti ada sesuatu yang menahan dirinya untuk tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

Perkataan Vinja benar adanya. Sang suami  datang membawa orang kepercayaannya tepat jam makan siang kantor. Tidak tanggung-tanggung, Rama membawa lebih dari 10 orang hanya untuk menginterogasi Jevan. Belum lagi pengawal yang turut ikut dan menjaga di pintu masuk ruang inap, rasanya sesak bila melihat banyak orang di sekitar.

"Jevan, apa semua ini masih bisa dilanjut?" tanya pria berbaju hitam, salah satu anak buah Rama.

Jevan bergeming. Di satu sisi belum siap, di sisi lain ia merasa tidak enak dengan keluarga Louren yang telah berbaik hati melindunginya. Perasaan gamang semakin melingkupi hatinya. "Maaf, sa-saya belum siap."

Rama terbelalak mendengar jawaban itu. Ia tahu bahwa insiden yang dialami Jevan membuat sang empu mengalami trauma. Namun, bukankah lebih cepat lebih baik? Semakin menunda-nunda menyelesaikan suatu tindak kejahatan, semakin lama pula pelaku terungkap. "Bagaimana bisa kamu belum siap, Jevandra?"

"Sudah, sepertinya kita terlalu terburu-buru meminta keterangan dari Jevan," ujar Vinja menenangkan. "Mungkin setelah pulang dari rumah sakit, Jevan siap menjelaskan dari awal."

Louren yang berada di sofa memicingkan mata. Temannya itu memang merasakan tekanan yang berat, tetapi bukan berarti tidak bisa memberikan keterangan apapun. Bukankah bisa menjawab meski hanya sepatah atau dua kata? Ia tidak habis pikir dengan semua pemikiran dan tindakan Jevan. "Terlalu naif," cibirnya menatap jengah.

***

Tidak seperti biasanya Daniel memilih kembali ke rumah setelah pulang sekolah. Entah mengapa ia merasa lelah hari itu. Beruntung tidak ada sang ayah di rumah, dirinya enggan bertengkar hanya karena masalah sepele.

"Sepi bener," gumamnya memasuki rumah. Hanya pekerja di rumah yang sibuk menyiapkan makan malam.

"Bi, Bryan belum pulang?"

"Hush, nggak sopan manggil ayahnya pakai nama saja," ujar salah satu asisten rumah tangga, bi Sun. Salah satu pekerja lama di keluarga Bayanaka. Dibandingkan dengan yang lain, Daniel hanya mau berdekatan dan bersikap ramah dengan bi Sun saja.

"Bodoamat," sahut Daniel acuh. Ia mendudukkan dirinya di kursi meja makan. "Bi, makan."

Tanpa bertanya lagi, bi Sun menyiapkan makan untuk anak majikannya dengan telaten. Bagaimanapun sifat buruk Daniel, ia menyayangi anak majikannya itu layaknya anak sendiri. Bekerja sejak tuan besarnya remaja hingga memiliki keturunan membuatnya sedikit mengetahui semua kejadian yang ada di dalam rumah besar  itu.

"Sudah cukup?" Daniel mengangguk lantas segera melahap makanannya, sementara bi Sun kembali melanjutkan pekerjaannya di dapur.

Suapannya tertunda saat seorang pengawal yang berjaga di bagian depan membawa sebuah kotak ke arahnya. "Maaf mengganggu waktunya, tuan muda. Seorang kurir mengirimkan paket pesanan anda."

"Bagaimana bisa Bryan memilih pekerja bodoh seperti kalian, huh? Jika saya memesan sesuatu, saya akan menyampaikan pada penjaga di depan. Apa kalian tidak merasa curiga dengan pengirim dan kotak itu? Tidak berguna sekali!" cecarnya membanting sendok dan garpu.

Pengawal itu sedikit membungkukkan badannya. "Maaf, tuan muda."

"Berikan kotak itu dan kembali ke depan. Beritahu yang lain apa yang saya katakan tadi," titahnya final.

"Baik, tuan muda," jawabnya menyerahkan kotak berukuran sedang itu kepada Daniel. Membungkuk sebelum beranjak pergi meninggalkan ruang makan.

Daniel kini mengalihkan atensinya pada kotak berwarna hitam. Jika dilihat lebih cermat, dimana ada jasa pengiriman yang mengikat paket hanya dengan pita apabila tujuan paket sangat jauh? Bukankah paket tersebut akan rusak setelah berada di tangan penerima? Terkecuali sang pengirim berada dekat dengannya, mungkin paket tersebut masih aman.

"Gue yakin pengirimnya berada di kota yang sama," monolognya.

Ditariknya pita yang terikat di atas kotak lantas membuka tutupnya. Sedetik kemudian ia melempar kotak tersebut hingga isinya berhamburan. Seekor kelinci berlumuran darah dengan pisau yang masih tertancap di perutnya. Di wajah hewan itu tersebut tertempel foto dirinya. Daniel yakin jika kelinci itu baru saja dibunuh, terlihat masih ada sedikit pergerakan.

"DENDY!" teriaknya memanggil salah satu ketua pengawal di rumahnya.

Tak berselang lama, orang bertubuh tegap tergopoh menghampirinya. "Apa ada masalah hingga tuan muda memanggil saya?"

"SURUH ANAK BUAHMU LEBIH MEMERHATIKAN SETIAP ORANG YANG MENGIRIM PAKET ATAS NAMA SAYA!" murka Daniel. Ia bangkit dan mendekat ke arah kotak yang tadi dilemparnya. "Lihat! Karena kelalaian anak buahmu, saya mendapat teror sampah seperti ini."

"Mohon dimaafkan, tuan muda." Pengawal bernama Dendy itu membungkuk. "Saya akan membereskan kekacauan ini semua."

Dendy berjongkok di dekat kelinci itu lantas mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku jas untuk mencabut pisau yang tertancap di perut kelinci tanpa meninggalkan sidik jarinya. Saat hendak mencabut, pandangannya terpaku pada bagian tubuh kelinci. "Tuan muda, terdapat sebuah angka di bagian samping tubuh kelinci ini"

"Bacakan."

"8.1.14.3.21.18," ujar Dendy membaca satu per satu angka yang tertera. "Hancur? Bukankah begitu, tuan?"

Prang!

Lelaki yang masih memakai seragam almamater sekolahnya menyapu sebagian isi meja makan. "Siapa yang berani mengirimkan teror sampah itu?" geramnya. Daniel sudah tidak nafsu melanjutkan acara makannya dan memilih naik ke atas.

"Cari tahu siapa pelaku di balik kekacauan yang saya dapat akhir-akhir ini dan jangan sampai ayah tau," ujarnya sebelum benar-benar meninggalkan ruang makan.

"DANIEL!"

"Sialan," desis Daniel saat Litha berteriak tepat di telinganya. "Apa sih? Gue nggak budeg."

"Lo mikir apa sampai gue teriak nggak dengar?"

Lelaki itu menggeleng pelan. "Nggak ada. Pulang gih sana, sudah selesai."

Litha terperangah mendengar usiran temannya. "Lo ngundang gue ke sini tujuannya hanya itu?" tanyanya tak percaya.

"Sekaligus pamer hotel keluarga gue," imbuh lelaki itu meneguk kembali vodkanya.

"Sialan lo, Daniel. Mati aja sana," umpat Litha menimpuk temannya menggunakan bantal sofa. "Gue pikir ada hal yang lebih penting dari ini!"

Daniel tergelak saat melihat wajah Litha yang tampak memerah menahan amarah. "Semudah itu memancing emosi dari Lalita Jacqueline."

"Sebenarnya gue ada rencana mau bunuh kalau memang benar lo pelakunya, tapi gue lupa kalau manusia seperti lo nggak mungkin lakuin hal ini," lanjutnya.

Daripada melanjutkan berdebat dengan manusia aneh di sampingnya, Litha memilih bangkit. "Sebelum nama-nama penghuni kebun binatang keluar dari mulut gue, lebih baik keluar dari gerbang neraka."

"Lo kata sekarang gue penjaga neraka?"

"Nggak, tapi lo calon penghuni neraka," ketus Litha hengkang dari ruangan megah tersebut.

Memerhatikan punggung Litha yang semakin kecil dari pandangannya lalu menghilang di balik pintu tidak membuat keresahan Daniel menghilang. Ia masih penasaran dengan pelaku yang membuat kekacauan kepadanya. Tidak mungkin hanya orang iseng. Pasti ada tujuan dibalik itu semua.

***
Halo semua🍓
Seharusnya sekitar tiga minggu Tata libur up, karena persiapan PTS.
Berhubung kemarin umur Tata bertambah, up spesial buat kalian supaya tambah berpikir yeayyy🍓

Lihat mirror selfie anak-anak Tata, yuk.

Jevandra Teodorico.

Gradiola flourenzya

Brayden Alresco

Gavendra Danadyaksa


Balakosa Fauzi Naksabandi

Vinsensius Daniel Bayanaka

Ettan chinmayanda

Benevento Arghian

Lalita Jacqueline

Heera Nithyahasini Mahatma

Celine Pancracia

Gradelon Liam Ordwald

Semua informasi, konten, dan lain-lain ada di medsos Tata.

Instagram : @tatattalgi
                                @weekendtata
Tiktok : @weekendtata

Continue Reading

You'll Also Like

838K 101K 13
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
535K 40.5K 27
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
1.7M 122K 48
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
275K 25.4K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...