Jevandra

Por tatattalgi

6.6K 383 67

"Sebaik-baiknya kekuatan adalah saat kamu mencoba untuk tersenyum pada orang yang telah melukaimu." Ya, Jevan... Más

Tentang
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh

Dua Puluh Dua

72 5 0
Por tatattalgi

Bahkan untuk sebuah kata 'kehilangan', ia seakan baik-baik saja.

***

"Bagaimana, Yah?" tanya Liam saat melihat sang ayah baru saja menginjakkan kakinya di ruang luas itu. Lelaki itu baru datang ketika ayahnya memberi kabar dan Louren mengirimkan lokasi rumah sakit tempat Jevan dirawat.

Rama menjatuhkan dirinya di sofa. Meletakkan kepalanya di bahu sang istri. "Setelah berbicara dengan dokter dan polisi, hasilnya menunjukkan bahwa Jevan melakukan percobaan bunuh diri dengan cara melompat dari atap gedung."

"Polisi menemukan dua botol minuman keras di tempat kejadian. Di antara kedua botol, satu masih tersegel. Satu lagi sudah tandas sebab Jevan meminumnya lalu lompat hingga terjatuh tepat di atas mobil salah satu tamu SMA Cendrawasih," lanjutnya.

Louren yang sedari tadi duduk di sebelah bangsal Jevan dan hanya mendengarkan perkataan ayahnya, kini menoleh. "Jevan nggak mungkin menyentuh minuman itu. Lagipula, dia membeli dua botol minuman itu darimana?"

Mengangguk setuju atas ucapan adiknya, Liam berjalan mendekat ke arah bangsal Jevan. Menatap teman adinya yang seakan tengah tidur nyenyak bersama alat-alat medis yang terpasang di tubuhnya. "Polisi sudah cek CCTV?"

"CCTV tidak berfungsi sejak kemarin, tapi tim keamanan yang berjaga di ruang CCTV belum sempat melapor pada kepala sekolah karena menganggap bahwa mereka dapat mengatasinya dengan cepat," jelas Rama dengan wajah lesunya.

Vinja merasa suaminya sangat kelelahan karena sejak siang hingga menjelang malam tampak sibuk mengurus banyak hal terkait Jevan, tangannya tergerak mengusap rahang sang suami. "Kita pulang saja. Biarkan keduanya menjaga Jevan. Lagipula ada beberapa penjaga di depan ruangan ini dan area lobi. Besok kita lanjutkan kasus ini."

"Ayah pulang aja. Nanti Louren sama Bang Liam bergantian kalau mau pulang untuk mandi." Louren berucap namun tatapannya enggan teralihkan dari wajah penuh luka Jevan.

Mau tidak mau Rama menuruti. Malam ini biarkan dirinya istirahat agar besok dapat melanjutkan penyelidikan, berusaha menemukan dalang di balik semua ini. Sungguh, ia sangat yakin bahwa Jevan tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Meskipun hanya sekali bertemu teman dari putrinya, Jevan sudah ia anggap layaknya keluarga sendiri. Terlebih hidup dengan seorang ayah yang tidak memiliki rasa kepedulian sedikitpun, membuat keluarganya sangat nyaman dengan kehadiran Jevan.

"Liam nggak akan pergi nongkrong, Yah." Liam merotasikan kedua bola matanya jengah, mengerti dengan tatapan intimidasi sang ayah.

Sepeninggalan kedua orang tuanya, Liam merebahkan dirinya di sofa. Menatap langit-langit ruang inap seolah menerawang kejadian yang menimpa Jevan. Kedua tangannya terlipat ia gunakan sebagai bantal. "Untuk makan aja Jevan susah, apalagi untuk beli minuman keras."

"Tidur di kasur sana," ujar Louren yang mengira Liam hendak tidur. Ruangan ini memang sangat lengkap, Rama sengaja memindahkan Jevan ke ruang ini agar tenang dan keluarganya pun dapat beristirahat di kamar sebelah yang hanya di batasi dinding tipis sebagai pemisah saja.

"Lo aja sana, pasti capek karena dari tadi nangis."

Gadis itu bangkit dan berjalan ke arah sofa single lantas mendudukinya. "Bang, semalam gue sama Jevan jalan."

"Oh, lo semalam izin keluar karena mau ke tempat kerja Jevan. Kirain mau mangkal di lampu merah," sahut Liam acuh. Ia mengeluarkan ponsel dari saku hoodie-nya lantas membuka aplikasi permainan kesukaannya, pou.

"Gue nggak lagi bercanda." Liam tetap fokus pada ponselnya dan enggan menanggapi perkataan adiknya. "Jevan bertemu bundanya."

Gerakan jari Liam terhenti seketika. Kepalanya sontak menoleh karena sofa yang diduduki adiknya berada di sebelah kepalanya. "Caper banget lo. Gue cuekin, malah ngarang cerita." Lelaki itu kembali fokus pada permainannya di ponsel.

"Coba lihat, langitnya bagus banget malam ini. Sesuai dengan suasana hati gue," lanjut Louren menatap langit.

Senyum Jevan pudar. Bukan karena perkataan Louren, melainkan ia tak sengaja melihat seseorang yang selama ini selalu hadir di pikirannya. Matanya berkaca-kaca saat orang itu tertawa dengan lepas bersama seorang pria dan anak kecil laki-laki.

"Bunda."

"Kenapa, Jev?" tanya Louren. Ia terlalu fokus menatap hamparan bintang hingga kurang mendengar perkataan Jevan.

Tepukan di bahu membuat Jevan terperanjat. "Ke–kenapa, Louren?" tanyanya dengan suara yang terbata-bata, sesekali ia melirik ke arah seseorang melalui ekor matanya.

"Lo lihat apa?" Louren balik bertanya seraya mengikuti arah pandangan lelaki di sampingnya. Alisnya menukik saat mendapati sebuah keluarga kecil tengah bermain bersama diiringi tawa bahagia. Si pria yang menemani putranya bermain dan seorang wanita berdiri tak jauh dari mereka dengan senyum yang tak pernah luntur.

"Heuh? Bukan siapa-siapa. Lanjut makan, setelah itu kita pulang." Jevan menyunggingkan senyum tipisnya seolah tahu dengan perubahan mimik wajah gadis di sampingnya. "Angin malam nggak baik untuk kamu, Louren."

Louren mengangguk paham. Setelah menghabiskan berbagai makanan berbahan dasar aci, ia beralih ke sosis bakar yang menjadi incarannya sejak menginjakkan kakinya di taman itu. Menyodorkan pada Jevan terlebih dahulu yang dibalas gelengen lelaki itu. "lo kalau ada masalah kenapa nggak mau berbagi?" tanyanya di sela-sela mengunyah makanan.

"Nggak semua yang saya rasakan, orang lain juga harus merasakannya. Saya nggak bisa membaca hati setiap orang, bukan? Ntah nantinya akan menerima semua cerita masa lalu saya ataukah menghakimi masa lalu," ujar Jevan pelan. "Selama saya memendamnya sendiri, kenapa nggak?"

"Untuk pertama kalinya saya mendapatkan teman sebaik kamu. Saya bahkan nggak mengerti alasan utama kamu mendekati saya." Jevan terdiam beberapa detik sebelum melanjutkan perkataannya. "Juga pertama kalinya kamu yang mengulurkan tangan kepada saya."

"Ah, tidak. Bang Varel pun sama. Hanya kalian berdua," imbuhnya.

Gadis itu tampak diam mencerna kalimat Jevan seraya terus mengunyah. Ia akan terus makan agar mulutnya mengunyah, dengan begitu otak lebih mudah berkonsentrasi menyimak perkataan lelaki itu. Karena biasanya menggunakan permen karet, Louren cukup dengan berbagai makanan itu. Selain membuat berkonsentrasi karena terus mengunyah, hal ini juga membuat perut kenyang. Pemikiran yang cerdas, bukan?

"Hanya kita yang mengerti diri sendiri. Semua hal yang sudah menimpa hidup kita, nggak perlu bercerita kepada orang lain. Bahkan untuk kata 'kehilangan', cukup menunjukkan sikap seakan baik-baik saja dan belajar menerima." Jevan tersenyum tipis seraya menatap lurus ke depan. "Semua itu bunda saya ucapkan beberapa hari sebelum pergi meninggalkan saya dan ayah demi kehidupan barunya."

Louren terkesiap saat mengikuti pandangan Jevan yang mengarah pada keluarga kecil yang tak jauh dari mereka. "Dia... bunda lo?"

Bukannya menjawab, Jevan justru tersenyum lembut seraya menatap gadis yang belum sadar dari keterkejutannya. "Saya pikir kamu akan kesulitan memahami seperti sebelumnya."

"Jev," panggil Louren pelan seraya terus menatap wanita cantik yang tengah tertawa bersama seorang pria dan anak laki-laki. Bisa Louren tebak anak itu berusia sekitar sembilan tahun. "Susul mereka?"

"Bunda lupa dengan wajah putranya dan bukan masalah besar bagi saya. Melihat bunda bahagia dengan keluarga barunya, membuat saya ikut bahagia. Itu artinya, selama ini wanita panutan saya baik-baik saja," jawab Jevan tenang membuat Louren lagi-lagi terkejut. Bagaimana seorang ibu bisa melupakan wajah putranya sendiri?

"Gue nggak nyangka, nyokap Jevan cakep banget. Sudah terpecahkan mengapa calon suami gue ini terlalu tampan bin kiyowo, ternyata menuruni pahatan emaknya." Louren tersenyum lebar seraya berandai-andai dirinya menjadi isteri Jevan suatu saat nanti.

Bugh

Sebuah bantal sofa mendarat sempurna di wajah cantik Louren. Siapa lagi pelakunya jika bukan Liam? Lelaki itu bangkit dan membenarkan posisi duduknya. Ponsel yang tadi menjadi fokus utamanya, kini tergeletak begitu saja di meja. "Lo nggak lagi ngarang cerita, kan?"

"Liam sialan. Ngapain nimpuk gue pakai bantal?" gerutu Louren memeluk bantal yang dilempar abangnya tadi.

Lelaki dengan wajah tengilnya itu berdecih pelan. "Lo pasti ngebayangin jadi isteri Jevan."

Sebuah cengiran polos dari Louren membuat lelaki itu menatap jengah. "Nggak yakin sama kebenaran cerita lo."

"Serius, anjir. Setelah itu, gue cepat habisin makanan dan kita berpisah di halte. Gue di jemput mang Kos dan Jevan maksa buat jalan kaki karena rumahnya nggak terlalu jauh," ujar Louren membuka bungkus makanan ringan yang tersedia di meja depannya.

"Lo sempat foto, nggak?"

Gadis itu menggeleng. "Mana sempat, keburu terpesona dengan wajah cantiknya."

"Pintar banget sih lo, Ren. Oke, kita jeda masalah itu." Liam berdeham pelan. "Sekarang gue tanya, apa mungkin seorang Jevan mengkonsumsi minuman itu?"

"Sebenarnya gue ragu sama pernyataan om Bagas. Seperti ada sesuatu yang ditutupi dari keterangannya terhadap polisi." Louren berasumsi.

Liam yang tidak mengerti dengan ucapan sang adik lantas menaikkan sebelah alisnya. "Maksud lo gimana?"

Mendengar itu, Louren berdecak sebal. "Gini nih nasib princess Louren yang harus berbicara dengan manusia berotak buntu seperti Liam."

"Om Bagas bilang kalau Jevan sengaja meminum minuman keras, sedangkan gue lihat terdapat bekas luka memar di kedua rahangnya yang artinya seseorang memaksa Jevan minum. Karena menolak meminumnya, orang itu mencengkram rahang Jevan agar lebih mudah mencekoki dengan minuman keras," ujarnya.

Liam melirik sebentar bangsal Jevan lantas kembali fokus. "Ada bukti lagi selain rahang yang memar?"

"Pergelangan tangan." Louren menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa setelah merasa tidak berminat menghabiskan cemilannya. "Terdapat memar di kedua pergelangan tangan. Gue pikir ada seseorang lagi yang membantu dengan menahan tangan Jevan agar dia nggak bisa memberontak."

Liam terdiam. Pikirannya berkelana usai mendengar perkataan Louren. "Itu artinya, semua ini sudah direncanakan?"

"Tapi kenapa nggak ada polisi yang datang untuk melihat kondisi Jevan? Seperti percaya begitu saja dengan hasil pemeriksaan om Bagas," lanjutnya.

"Lo lupa? Om Bagas dan ayah sepaket. Koneksi dimana-mana. Urusan gini mah." Louren menjentikkan jari kelingkingnya seolah berkata bahwa ini adalah urusan yang sangat mudah. "Makanya belajar, bolos terus sih lo. Kuliah yang benar, ganggu janda aja kerjaannya."

Lelaki itu mencebik dengan wajah yang dibuat imut. "Iya si paling pintar."

"Najis muka lo."

"Gue lagi nggak mau ribut." Liam bangkit seraya mengantongi ponselnya ke dalam hoodie berwarna cokelat susu yang tengah ia pakai. "Makan di kantin. Pangeran berkuda poni ini sedang berbaik hati, gue traktir sepuasnya."

"Ikut." Louren tak kunjung menyusul Liam yang sudah berada di ambang pintu. "Jevan–"

Liam menatap jengah Louren yang sepertinya berat meninggalkan Jevan. Bisa saja ia membeli makanan lalu membawanya ke ruang inap itu, namun kali ini dirinya ingin menghibur sang adik. Terlebih gadis itu belum makan sejak tadi. Ingin menyampaikan kekhawatirannya, tidak! Ego lebih penting dari segalanya. "Ada om penjaga di depan. Nanti salah satu gue suruh jaga di dalam untuk antisipasi."

Akhirnya, Louren menurut. Ia mengikuti Liam untuk mengisi perut. Hitung-hitung menghirup udara segar setelah terperangkap di ruang rawat inap Jevan. Meskipun tidak ada bedanya karena ia masih berada di lingkungan rumah sakit.

***

Kurang lebih satu jam Liam dan Louren tak kunjung kembali. Liam benar-benar berusaha menghibur sang adik agar tidak terlalu terpuruk dalam kesedihannya terhadap keadaan Jevan. Bukan maksud dirinya menjauhkan atau bahkan tidak memiliki empati, namun siapa yang tidak khawatir jika adiknya terus bersedih dan menyalahkan dirinya atas kejadian naas itu. Ya, Louren sempat meracau dengan mengatakan bahwa Jevan tidak akan seperti ini jika ia masuk sekolah pada hari itu. Andai tidak mengikuti pertemuan antara Ayahnya dan kolega bisnis, pasti dirinya bisa menghadang lelaki itu menuju rooftop Sekolah.

Bukankah ini termasuk takdir yang telah dituliskan Tuhan? Sebagai manusia, Louren hanya bisa merencanakan atau beradai-andai. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi kedepannya pada diri manusia selain Tuhan. Itu yang Rama katakan untuk menyadarkan putrinya dari rasa bersalahnya. Sekarang tugas Liam menghibur sang adik dengan mengajak ke taman rumah sakit setelah makan di kantin.

Tepat jam delapan malam, para penjaga mulai berganti shift. Ketiga lelaki berbadan tegap itu melangkah meninggalkan ruang rawat inap Jevan menuju lift. Rama memerintahkan kepada mereka untuk bertukar shift hanya dalam waktu lima menit, tidak lebih.

Setelah ketiganya masuk ke dalam lift, seseorang berpakaian serba hitam dengan masker serta topi yang menutup sebagian wajahnya masuk ke dalam ruang Jevan. Ditatapnya remaja lelaki yang terbujur kaku dengan alat bantu medis yang melekat di beberapa bagian tubuhnya. Tanpa sadar tangannya mengusap pipi Jevan dilanjut menyentuh lengan yang tidak terlalu berisi. Dibalik masker hitamnya, orang itu tersenyum tipis menatap lekat remaja malang dihadapannya.

Sebelum beberapa penjaga kembali datang setelah berganti shift, ia harus cepat keluar. "Mungkin lain kali aku bisa berkunjung kembali. Hari ini aku gagal untuk berlama-lama di sini. Suatu saat aku akan membawamu pergi, Jevandra Teodorico," bisiknya lantas berjalan keluar ruangan. Mengambil jalan lain agar tidak ada yang mengetahui kedatangannya.

***

Seguir leyendo

También te gustarán

MARSELANA Por kiaa

Novela Juvenil

1.8M 79.4K 36
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
297K 13.6K 18
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓵𝓲𝓼𝓪𝓷�...
284K 26.3K 31
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
1.5M 130K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...