Jevandra

By tatattalgi

6.6K 383 67

"Sebaik-baiknya kekuatan adalah saat kamu mencoba untuk tersenyum pada orang yang telah melukaimu." Ya, Jevan... More

Tentang
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh

Dua Puluh Satu

81 5 0
By tatattalgi

Setiap orang berhak beristirahat saat rasa lelah kembali hadir.

***

Suasana kelas tampak ramai. Pagi ini, guru mengadakan rapat bersama kepala sekolah dan ketua yayasan untuk membahas kasus Daniel. Jika bukan karena salah satu putra dari donatur tetap, mungkin pihak sekolah dengan mudah mendepak murid bengalnya satu itu dengan mudah.

Sayang, kekuasaan dari keluarga muridnya ini tidak dapat diragukan. Sekolah tidak ingin mengambil risiko apabila keluarga dengan marga Bayanaka menarik semua saham serta apapun itu yang berkaitan dengan sekolah. Meskipun masih banyak para donatur lainnya, namun keluarga tersebut tidak bisa dianggap remeh. Tak terkecuali teman dekat Daniel.

"Apa kabar lo? Lupa sama kita, hm?" sapa Ozi menduduki meja Jevan. Tangannya tergerak merebut buku yang tengah Jevan baca, lalu memukul keras kepala si pemilik buku tersebut.

"Punya teman baru tuh," sahut Ettan berdiri di belakang Jevan.

Jevan yang merasa terpojok hanya bisa pasrah jika tidak lama lagi ia kembali mendapatkan kekerasan. "Kalian mau apa?"

"Wih, baik hati sekali Jevan menawarkan diri," timpal Argi duduk di bangku kosong bersebelahan dengan bangku Jevan.

Daniel yang baru saja datang seenaknya mendorong keras kepala Jevan hingga terbentur dinding di sampingnya. "Lo nggak rindu kita, heuh?"

Kini, giliran Ettan yang menarik rambut lelaki itu hingga membuat kepalanya mendongak seraya menahan nyeri. "Beberapa hari ini kita bebasin lo. Tapi sepertinya hidup lo kembali suram tanpa ada kita."

"Kan kita memberi warna di kehidupan bedebah satu ini," timpal Arghi memasukkan permen susu ke dalam mulutnya lalu membuang bungkusnya tepat mengenai wajah Jevan.

"Lo yang nyebarin berita itu berlandaskan dendam terhadap gue, kan?" bisik Daniel.

Sontak Jevan menggeleng rakus, takut jika mereka semakin menyudutkannya. "Bu-bukan saya. Saya nggak punya kuasa hingga membuat berita seperti itu."

Ozi yang mendengar itu menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Benar! Anjing satu itu nggak mungkin berani melawan kita."

"Cabut!" titah Ettan berjalan keluar kelas.

"Ikut nggak lo berdua?" Bukan. Kalimat yang terlontar dari Daniel bukan ditujukan pada Jevan, melainkan pada Litha dan Heera yang baru saja menginjakkan kaki di kelas.

"Malas, ntar istirahat aja," jawab Litha.

Heera membenarkan ucapan temannya. "Kalian di sana sampai istirahat, kan? Nanti kita nyusul."

"Yo," balas Daniel melanjutkan langkahnya diikuti Ozi dan Arghi.

Jevan tampak mengusap pelan kepalanya yang nyeri. Sedari tadi jantungnya berdetak dua kali lebih cepat sebab takut keempatnya menyiksa lebih parah. Batinnya berulang kali berucap rasa syukur karena ia tidak mendapatkan kekerasan fisik yang sangat parah pagi ini. Ia kembali melanjutkan membaca buku sembari bertanya-tanya mengenai Louren yang tidak kunjung terlihat batang hidungnya.

Di tempatnya, Gaven sibuk membaca buku tanpa berminat untuk mengikuti teman-temannya. Ia sedikit tidak fokus membaca sebab pikirannya kembali terlempar pada terror hingga kasus Daniel yang membuat geger seantero SMA Cendrawasih.

"Gue yakin, orang itu nggak jauh dari sini."

***

Brakkk

"AAAAAAA!!!"

Tin...

Tin...

Tin...

Sesuatu telah terjatuh tepat mengenai atap mobil yang terparkir di depan lobi. Teriakan demi teriakan bersamaan dengan bunyi alarm mobil membuat suasana tampak gaduh. Tragisnya, sesuatu yang berada di atas mobil adalah manusia yang sudah tidak sadarkan diri dengan bersimbah darah dan membuat banyak siswi berteriak ketakutan.

Tiga dari empat satpam yang tengah berjaga di gerbang bergegas menghampiri tempat kejadian. Dengan cepat mereka membagi tugas, menjaga tempat agar tidak ada yang mendekat, menghubungi pihak rumah sakit agar segera mengirimkan ambulans, dan berlari masuk untuk melaporkan pada guru.

"Ya Tuhan!" pekik bu Rika menatap ngeri salah satu siswanya jatuh dari lantai atas hingga mengenai atap mobil. Atap mobil sudah tidak terbentuk lagi akibat seseorang jatuh dari lantai atas.

"Kami sudah menghubungi pihak rumah sakit untuk mengirimkan ambulans, Bu," lapor salah satu satpam.

"Jatuh dari lantai berapa siswa itu?" tanya sang kepala sekolah, Arzan. Meskipun dilanda kekhawatiran, ia mencoba untuk tetap tenang.

"Kami tidak tahu dia jatuh dari lantai berapa, Pak. Kami hanya melihatnya saat jatuh tepat di atas mobil." Salah satu siswa maju menjawab.

Tak lama kemudian, ambulans datang. Sang kepala sekolah memerintah semua muridnya kembali ke dalam agar tidak menyulitkan petugas mengevakuasi murid yang terjatuh tadi. Selesai dengan urusan tersebut, mobil ambulans itu meninggalkan lingkungan sekolah. Bergantian dengan beberapa mobil dari pihak kepolisian datang.

"Jevan," gumam pak Yusuf terkejut.

***

"Jevan diduga bunuh diri. Dia–"

"Murid saya tidak mungkin melakukan hal seperti itu," kilah pak Yusuf.

"Kami sudah memeriksa dan mewawancarai beberapa siswa di kelas anda, Pak," ujar petugas kepolisian tersebut. "Saat istirahat, Jevan tampak tergesa-gesa keluar kelas. Tidak ada yang mengetahui dia pergi kemana."

"Beberapa siswa sempat melihat Jevan berlari menuju ke arah rooftop. Dugaan kami, korban lompat dan terjatuh tepat di atas mobil milik salah satu tamu SMA ini," lanjut polisi lainnya yang mendapatkan tugas mengecek rooftop sekolah. "Kami menemukan dua botol minuman keras. Namun hanya satu botol yang sudah terbuka dan itu habis tak tersisa."

"Maksud dari perkataan anda, Jevan telah meminum minuman keras lantas lompat. Seperti itu?" tebak pak Arzan.

Brak

Mendengar itu pak Yusuf menggebrak meja. Berdiri meletakkan kedua tangannya di atas meja sebagai tumpuan. "Saya mengenal Jevan. Murid saya tidak mungkin menyentuh dan berbuat hal seperti itu. Mengapa kalian tidak mengecek CCTV?"

"Pak Yusuf, tolong kendalikan diri anda," tegur pak Arzan.

"Kami sudah mengeceknya. CCTV sekolah ini tidak berfungsi pada saat kejadian maupun sebelum kejadian. Kita tunggu kabar dari rumah sakit. Beberapa rekan kami akan menetap di sini untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait jatuhnya salah satu siswa dari atap gedung sekolah." Setelah itu, beberapa orang dari pihak berwajib berpamitan untuk mengecek kondisi Jevan. Beberapa masih berada di sekolah untuk menyelidiki hal itu.

"Tidak lama lagi, banyak wartawan yang akan meliput. Persiapkan diri anda, pak Arzan."

***

Louren tengah sibuk bermain ponselnya tanpa berminat untuk ikut masuk ke dalam percakapan orang tuanya dan rekan bisnis. Tangannya berhenti menggulir salah satu aplikasi media sosialnya saat pesan dari grup terus-menerus masuk. Tidak seperti biasa grup kelas ramai, apalagi di saat jam sekolah seperti ini.

Bibirnya bergetar saat membaca pesan satu persatu. Dimana kabar Jevan jatuh dari lantai atas yang diduga bunuh diri ramai diperbincangkan di grup kelas dan grup satu angkatan. Jantungnya berdetak dua kali lebih kencang saat tak sengaja jarinya membuka sebuah foto. Memperlihatkan kondisi Jevan jatuh tengkurap di atas sebuah mobil yang terparkir di depan lobi sekolah, dimana itu pintu masuk khusus guru, donatur, dan tamu. Sementara untuk murid, pintu masuk berada sedikit lebih jauh atau berada di sekitar samping sekolah.

Vinja yang menangkap raut wajah putrinya mengernyit bingung. Disentuhnya pundak Louren yang membuat sang empu terkejut. "Kenapa?"

"Je–Jevan, Jevan, di–dia." Bahkan untuk sekadar melontarkan kata saja dia kesulitan.

Seorang Wanita di samping Louren memberikan segelas air mineral agar putri dari teman suaminya itu tenang. Sementara Vinja, ia merebut ponsel Louren dan menatap foto tersebut dengan kalimat babu kelas bundir karena tekanan batin, wkwkwk.

"Ke-kenapa bisa seperti itu?" ujar Wanita tadi saat tak sengaja melihat sekilas foto di ponsel Louren.

Ia memberikan ponsel Louren kepada sang suami. Beruntung Rama dapat mengendalikan tubuhnya dan segera menggiring isteri dan anaknya untuk menyusul ke rumah sakit. Untuk alamat, mereka mengandalkan informasi melalui pesan grup kelas di ponsel Louren.

"Jevan...." Wanita cantik itu bergumam.

"Apakah kita harus ikut?" ujar pria di samping Rama.

"Tidak perlu, aku minta doamu. Kami harus pergi dan akan mengurus semuanya, permisi," ujar Rama sebelum benar-benar meninggalkan ruang restoran yang ia pesan untuk pertemuan mereka.

Setelah masuk dan memasang seatbelt, Rama melanjukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Persetan dengan klakson dan umpatan dari mobil lain. Jarinya mengetuk tak sabar saat lampu merah tidak juga berganti menjadi warna hijau. Bisa saja menerobos lampu merah, namun ia sedang bersama isteri dan putrinya.

Setelah lampu berubah menjadi hijau, Rama menginjak gas menuju rumah sakit tempat Jevan dievakuasi. Tak berselang lama, mobilnya telah terparkir dengan semestinya. Mereka bertiga keluar dan berjalan cepat menuju meja administrasi untuk menanyakan di mana letak ruangan Jevan.

Louren sempat melirik ke arah lobi rumah sakit yang tampak ramai dengan berbagai wartawan. Beruntung sang ayah sempat menghubungi tangan kanannya untuk mengirimkan pengawal, menjaga keadaan sekitar agar tidak ada yang bisa meliput kabar mengenai Jevan. Ia tahu ayah dan bundanya telah menganggap Jevan layaknya anak sendiri, itu mengapa mereka berdua merasa sangat terpukul atas kejadian ini. Setelah mendapatkan arahan, mereka berjalan menuju ke tempat Jevan mendapatkan penanganan.

"Bu Rika!" seru Louren saat mendapati bu Rika tengah duduk di kursi tunggu.

"Louren? Bagaimana kamu bisa berada di sini?"

"Tidak penting, katakan apa yang terjadi pada Jevan?" Suara bariton dengan aura intimidasi itu membuat siapapun berada di sana merasakan ketakutan.

Bu Rika membungkukkan sedikit tubuhnya. "Jevan diduga jatuh dari rooftop. Dokter sempat mengatakan bahwa koma. Namun, butuh orang tua atau pihak keluarga agar dokter dapat menjelaskan secara jelas."

Rama mengusap kasar wajahnya. Tangannya merogoh saku jas mengambil ponsel lantas mengetik sesuatu sebelum mendekatkan beda persegi itu pada telinganya. "Urus semua administrasi Jevandra, saya akan bertanggung jawab atas semua biayanya. Ingat, pindahkan ke ruang VVIP dan berikan dokter terbaik di rumah sakit ini."

"Ibu bisa kembali ke sekolah, saya yang akan menjaga Jevan," ujar Rama saat mendapati dua lelaki berpakaian serba hitam berjalan mendekat. "Mereka yang akan berjaga di depan ruang Jevan. Jangan khawatir."

"Tapi–"

"Saya akan membuat SMA Cendrawasih tidak akan beroperasi lagi jika anda banyak berbicara." Rama menuntun isteri dan putrinya duduk di kursi panjang. "Pergi sebelum saya menyuruh bawahan saya untuk mengusir anda secara paksa."

Tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi, bu Rika berjalan meninggalkan keluarga itu dengan perasaan dongkol. Sejak awal kepindahan Louren, ia sedikit tidak menyukai pria yang menjabat sebagai ayah dari siswi barunya. Jika bukan karena menjadi donatur yang rela memberikan banyak uang untuk sekolah, mungkin ia tidak akan menghormati keluarga sombong itu.

"Munafik," gumam Louren menatap punggung guru itu.

Rama sedikit menjauh lalu sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Selagi menunggu Jevan dipindahkan di ruang rawat inap VVIP, ia tetap berada di situ. Semuanya akan selesai dengan bantuan tangan kanannya. Hanya menunggu urusan selesai, mereka dapat menyusul Jevan di ruangan barunya.

Berita itu benar. Sekarang dia berada di rumah sakit *****.

Selesai dengan urusannya, Rama kembali mendekat. Bersamaan dengan itu, seorang dokter keluar dari ruangan. Raut wajahnya tampak bingung saat menatap wajah Rama. "Rama? Ada keperluan apa di sini?"

"Gimana keadaan Jevan?" tanya Rama tak mengindahkan pertanyaan dokter tersebut.

"Maaf, Rama. Pihak rumah sakit hanya bisa menjelaskan kepada keluarga dan pihak kepolisian yang menyelidiki ini."

"Sekarang kami keluarganya, bodoh. Dia tidak punya keluarga selain kami," ujar Rama menatap sengit ke arah pria dengan balutan snelli itu. "Apa yang terjadi padanya, Bagas?"

"Om, Louren mohon jelasin tentang kondisi Jevan," mohon Louren berjalan mendekat ke arah dokter sekaligus teman dekat ayahnya.

Menghela napas pelan. Tidak ada gunanya berdebat dengan keluarga di depannya. Semuanya sangat keras kepala. "Rama ikut ke ruangan saya. Jevan akan dipindahkan ke ruang VVIP sesuai permintaan kalian tadi."

***

Simak sebentar ya.

Tidak perlu memanggil saya dengan sebutan author dan semacamnya, cukup panggil dengan sebutan Tata agar kita lebih akrab🍓

Tolong berikan dukungan kalian berupa vote and comment, ya.
Terima kasih🍓

Continue Reading

You'll Also Like

490K 53.4K 23
( On Going ) ________________ Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum layaknya bay...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.9M 329K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
4.9M 389K 37
[DIMOHON BUAT READER'S SEBELUM BACA CERITA INI UNTUK TAHU KALAU INI MENCERITAKAN TENTANG TRANSMIGRASI YANG CUKUP KLISE. JADI JIKA ADA KALIMAT YANG SA...
2.6M 141K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...