Jevandra

By reretrsm

7.1K 447 67

"Sebaik-baiknya kekuatan adalah saat kamu mencoba untuk tersenyum pada orang yang telah melukaimu." Ya, Jevan... More

Tentang
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh

Delapan Belas

106 7 2
By reretrsm

Aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan seseorang yang telah berhasil menggoreskan luka di hati, karena dalam setiap manis dan pahitnya kehidupan selalu ada campur tangan Tuhan.

***

"Bodoh! Gitu aja ngga becus. Anak haram emang ngga pernah berguna, cuih."

"Kalau bukan beasiswa, ogah kali sekolah ini nerima sampah."

"Beban sekolah. Beasiswa yang lu dapat semua itu juga dari duit para wali murid yang jadi donatur tetap di sini."

"Kamu nggak berhak berkata seperti itu, Litha." Kepala Jevan yang semula menunduk, kini terangkat. Menatap dalam manik mata orang di hadapannya. Raut wajahnya berubah menjadi dingin, seperti bukan Jevan biasanya. Siapapun bisa lelah jika mendapatkan perlakuan seperti itu, termasuk Jevan.

Belum sempat melanjutkan perkataannya, tubuh Jevan yang tengah bersimpuh terjerembab bersamaan dengan sebuah bogeman mentah mengenai sudut bibirnya. Tangannya terkepal kuat saat mengetahui orang yang telah memukulnya.

"Lo nggak berhak memberikan tatapan seperti itu, Jevandra. Tatapan lo sungguh menjijikkan," ujar Daniel. "Masalah apa lagi?"

"Minta tolong dia bantuin bawa buku dari mobil gue ke kelas. Kerjaan dia nggak becus sampai jatuhin buku gue, harga buku gue lebih mahal daripada harga diri anak haram itu," ujar Litha menatap sinis ke arah lelaki yang sibuk menyeka darah di sudut bibirnya.

Ettan meraih salah satu buku lantas melemparnya tepat mengenai kepala Jevan. "Nggak guna lu hidup, beban doang. Sampah sekolah ngga pantas dipertahankan."

"Cowok kok lemah. Situ cowok atau banci?" Cellin yang sedari tadi hanya diam mengikuti Ettan kini bersuara dengan tatapan sinisnya.

"Diam, lo nggak diajak," celetuk Litha sewot membuat Cellin hendak maju namun urung karena Ettan mengisyaratkan dirinya untuk diam.

Ozi yang sedari tadi menyimak, kini maju selangkah. Saat Jevan hendak memungut kembali buku yang berserakan di lantai, ia menendang lengannya hingga membuat lelaki pendiam itu kembali tersungkur. Kekehan sinis terlontar dari bibir Ozi lantas berkata, "lemah banget jadi manusia."

"Sabar ya, Jev. Lo pasti bisa lewatin ini semua," celetuk Argi diiringi senyum manis andalannya.

Ettan membuang muka diiringi senyum sinis. "Gimana? Nggak ada sosok ibu peri yang melindungi lo, kan? Sekadar info, Louren belum datang."

"Lo nggak dengar kita bica–"

"Cabut, nggak perlu diperpanjang. Jangan seperti anak kecil, bisa? Sebentar lagi bel masuk." Gaven memotong perkataan Litha sebelum masalah semakin runyam. "SEMUANYA, BUBAR!"

Menuruti perkataan Gaven tanpa ada yang berani melawannya. Mereka semua kembali melanjutkan kegiatan masing-masing, meninggalkan Jevan dan Gaven yang masih berada di koridor sepi yang menghubungkan antara gedung sekolah dengan laboratorium dan parkir kendaraan murid di belakang sekolah.

Merogoh saku jas lantas meraih tangan Jevan, meletakkan empat lembar uang kertas berwarna merah di atas telapak tangan temannya itu. "Berobat dengan ini kalau misal sakitnya masih terasa. Maaf atas perlakuan teman-teman gue."

"Gaven, ini...." Belum sempat melanjutkan perkataannya, Gaven beranjak meninggalkan Jevan sendiri yang menatap getir uang yang berada di atas telapak tangannya. "Nggak semuanya bisa kamu ganti dengan uang, Gaven," lirihnya.

***

Kerumunan di depan mading sekolah sedikit membuat Jevan penasaran. Pasalnya, mading sekolah akan ramai di saat-saat tertentu, misalnya juara umum SMA Cendrawasih, informasi mengenai lomba atau olimpiade, promosi dari sebuah universitas, dan sebagainya. Namun, kali ini tampak berbeda. Ia dapat menangkap ekspresi terkejut dari semua orang yang telah melihat isi mading tersebut.

Bugh!

Jevan meringis pelan tatkala sebuah pukulan keras mendarat di bahunya. Ia menoleh dan mendapati Louren tengah tersenyum lebar layaknya tidak melakukan apapun. Tidak tahu saja, pukulan gadis itu tidak main-main sakitnya. Sepertinya Louren sudah terlatih menjadi tukang pukul.

"Hai, cogannya Oren. Sakit, ya?" ledeknya. "Sorry, tadi gue nggak ngajak ke kantin bareng."

"Nggak masalah, Louren."

Mata gadis itu menyipit tatkala melihat luka di sudut bibir Jevan. "Lo habis ngapain? Kenapa sudut bibir lo luka? Sejak kapan ada luka? Apa gue baru sadar sekarang?"

"Hanya luka biasa, nggak sengaja terkena benda tumpul."

Louren tahu bahwa Jevan tidak pandai berbohong, mungkin temannya itu belum siap bercerita. Lebih baik ia mengangguk mengiyakan saja."ngomong-ngomong, itu ada apa? Antre minyak goreng harga subsidi?"

Menghela napas pelan. "Saya juga baru datang, Louren."

"Lo nggak akan mau desak-desakan. Diam di sini dan jangan beranjak."

Tanpa menunggu jawaban dari lelaki itu, Louren segera berlari membelah kerumunan dengan tenaga yang ia punya. Bahkan, Jevan dibuat takjub dengan tekad dan kekuatan gadis itu ketika menginginkan sesuatu. Menurutnya, informasi di mading tidak akan hilang dalam kurun waktu dua puluh empat jam. Bahkan, saat pulang sekolah nanti informasi tersebut dapat dilihat daripada harus berkerumun seperti sekarang.

Tak berselang lama, Louren dengan tergopoh menghampiri Jevan. "Lo tahu? Huh, napas gue belum teratur."

Lelaki itu menggeleng pelan. "Nggak."

"Gue belum selesai ngomong, pintar." Louren berdecih pelan. "Si kudanil melakukan pelecehan seksual. Dia melakukan pemerkosaan terhadap siswi SMA Merdeka."

Tatapan bingung tergambar jelas di wajah Jevan. Sungguh, ia tidak mengerti dengan perkataan Louren. "Kuda nil lepas dari kebun binatang? Bukankah perkawinan hewan sudah biasa? Apa yang dipermasalahkan? Atau karena telah terjadi perkawinan silang?"

"Mabok lo ye, Jev. Makin ngelantur ngomongnya," ujar Louren kesal. "Informasi di mading itu tentang Daniel, teman sekelas kita, salah satu pengikut sekte sesatnya Ozi. Dia memperkosa siswi dari SMA Merdeka, paham?"

Kedua alis Jevan menukik seakan mengatakan bahwa ia kurang mempercayai berita tersebut. Meskipun benar adanya, tidak mungkin pihak sekolah memberitakan di mading. Terlebih Daniel adalah salah satu putra dari donatur terbesar di SMA Cendrawasih, terlihat mustahil jika seseorang berani membuat masalah kepadanya.

"Louren, lebih baik kita kembali ke kelas. Berita itu mungkin hanyalah kerjaan orang yang ingin menjatuhkan reputasi Daniel dan keluarganya." Jevan menarik lembut tangan Louren. Bukan karena lancang, ia hanya berjaga jika Louren akan berubah menjadi reog dan berbuat kerusuhan.

"Tapi..."

"Kita nggak bisa berspekulasi dan menghakimi sendiri atas apa yang orang lain perbuat, Louren. Diam lebih baik daripada harus membahas sesuatu yang tidak perlu," potong Jevan terus berjalan seraya melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Louren.

Louren mencebikkan bibirnya diiringi langkah kaki yang sengaja dihentak-hentakkan, tangannya sibuk menarik pelan jas almamater yang membalut tubuh Jevan. "Iya, gue paham. Tapi jangan dilepas genggamannya! Gue udah baper loh."

Tak menghiraukan perkataan Louren, lelaki itu terus melangkah hingga tiba di kelas. Terlihat Gaven dan teman-temannya nampak serius membicarakan sesuatu. Daripada kembali mendapatkan cacian, lebih baik ia berpura-pura tuli atas kabar yang menimpa Daniel.

"Jangan bercanda, Niel. Gue nggak pernah ngelarang lo main cewek, tapi hanya sebatas pacaran." Gaven bersuara.

"Apaan sih, lo percaya berita sampah itu?" sungut Daniel bersedekap dengan kaki kanan di letakkan di atas paha kirinya.

Ozi yang sedari tadi duduk termenung di atas meja Daniel kini mulai angkat suara. "Pertanyaan gue, siapa yang berani menyebarkan rumor ini?"

"Gue yakin sih bukan orang biasa," celetuk Arghi yang tengah sibuk membuka bungkus permen susu miliknya.

"Nggak ada yang berani nyenggol kita, kecuali orang tersebut lebih berkuasa dibandingkan kita," imbuh Ettan. Ia mengetuk pelan ujung ponselnya ke dagu, pandangannya yang mengarah ke langit-langit kelas seraya berpikir keras.

Dengan kesal Daniel mengacak rambutnya. "Anjing, anjing, anjing, siapa yang berani main-main sama gue?!"

"Kenapa kita nggak coba ngecek cctv di sekitar mading?" usul Arghi.

"Tumben otak lo berguna, cil." Ozi beranjak terlebih dahulu diikuti teman-temannya.

"Iri? Bilang bos," balas Arghi congkak.

"Mau kemana?" Suara berat itu datang dari Ayden yang tengah berdiri di ambang pintu kelas.

Ettan berdeham sebelum menjawab pertanyaan Ayden. "Anu pak ketu. Kita sedang menjalankan misi rahasia untuk memecahkan masalah rumor hari ini melalui cctv di depan mading."

"Daniel ke ruang BK sekarang." Ayden menyampaikan pesan dari guru piket seraya berjalan menuju bangkunya. "Kalian semua lebih baik duduk di tempat masing-masing."

"Daniel ke ruang BK, sedangkan kita ke ruang cctv," putus Ozi lantas keluar kelas disusul dengan yang lainnya.

Lelaki yang menjabat sebagai ketua kelas itu menghela napas kasar. "Terserah. Akibatnya tanggung sendiri."

"Sorry, gue ikut mereka. Takut kalau bikin onar nantinya," pamit Gaven sebelum menyusul teman-temannya.

Sepeninggalan kelimanya, suasana kelas kembali ramai. Sebagian membicarakan persoalan yang sedang dihadapi salah satu temannya, Daniel. Tak terkecuali Louren yang tengah sibuk mencari informasi layaknya seorang reporter. Bahkan sang ketua kelas sudah menyerah untuk menegur anggotanya agar tidak berisik, ia terlalu lelah menghadapi berbagai jenis manusia di XI MIPA 1.

"Kegiatan sampingan Dani selain pembully juga buat bunting anak orang, ya." Louren menanggapi perkataan Heera.

"Nggak lama lagi juga beritanya hilang," ujar Litha yang sibuk dengan cermin dan lipcream miliknya.

Kernyitan di kening Louren tampak terlihat jelas. "Secepat itu? Kenapa bisa?"

"Duit," jawab Heera.

Seolah mengerti maksud temannya, Louren membulatkan bibirnya diiringi anggukan. "Nggak sabar dengar kelanjutan kasusnya deh."

***

Di sudut ruang BK, terdapat ruangan khusus untuk mewawancarai murid SMA Cendrawasih yang tengah bermasalah. Ruangan itu memang ada di dalam ruang BK agar tidak ada murid yang bisa menguping pembicaraan antara guru dengan murid, siapa yang berani masuk dan menguping di dalam ruang BK?

Daniel menyapu pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Penampilan remaja lelaki itu sungguh berantakan dengan dasi yang tidak terpasang dan dua kancing atas baju seragamnya sengaja di lepas hingga memperlihatkan kaos hitam serta tidak lupa bandana hitam yang melingkar di kepala. Bahkan, pak Omar yang duduk tepat di hadapan Daniel menghela napas sebab lagi-lagi harus turun tangan menangani masalah muridnya yang kemungkinan tidak dapat diajak kerjasama dalam sesi sidang kali ini.

"Daniel. Mengenai berita yang cukup menggemparkan sekolah hari ini, saya izin untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu yang bersangkutan dengan berita tersebut." Lagi, Daniel tetap enggan menatap bahkan untuk sekadar mengangguk pun tidak. "Apakah benar berita tersebut?"

"Bapak pikir aja," jawabnya santai.

"Jawabanmu hanya iya atau tidak."

"Untungnya buat Bapak apa?"

Sungguh, jawaban dari Daniel membuat pak Omar sedikit meradang. Anak didiknya ini tidak memiliki sopan santun sedikitpun. Andai saja keluarga Dani tidak berpengaruh di SMA Cendrawasih, mungkin sudah lama pihak sekolah angkat tangan dan mengeluarkannya dari sekolah.

Pria paruh baya itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi guna mencairkan suasana hatinya yang sedang panas atas perilaku Daniel terhadapnya. "Saya di sini menjalankan tugas, Daniel. Tugas saya ialah membimbing kamu jika berbuat salah dan membantumu menyelesaikan. Tolong kerjasamanya, Vinsensius Daniel Bayanaka."

"Saya ulangi. Apakah benar kamu melakukan perbuatan tersebut?"

"Ya." Jawaban tersebut membuat napas pak Omar tercekat, beruntung dirinya tidak memiliki riwayat penyakit jantung. "Tenang saja, orang tua saya nanti membantu pihak sekolah untuk menutup kasus ini. Dengan begitu masalah selesai dan nama baik sekolah tidak akan tercemar. Untuk korban, biarkan itu menjadi urusan keluarga saya," lanjutnya.

Perkataan yang dilontarkan Daniel sukses membuat pak Omar terperangah. Semudah itukah menyelesaikan masalah itu? Hanya dengan uang, Daniel beranggapan bahwa semuanya akan selesai sesuai espektasinya. Sepertinya untuk kasus ini, Pak Omar benar-benar angkat tangan. Ia akan menyerahkan langsung kepada wakil kesiswaan untuk menangani kasus ini dan guru BK lainnya yang akan memberikan bimbingan kepada murid yang bersangkutan.

"Pertemuan kali ini cukup sampai di sini. Silahkan kembali ke kelasmu untuk mengikuti KBM," titah pak Omar.

Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, remaja lelaki itu beranjak pergi meninggalkan ruangan tersebut. Mustahil kata maaf, tolong, permisi, dan terima kasih terlontar dari muridnya ini. Tidak, bahkan mayoritas pun seperti itu.

"Mau jadi apa sekolah ini jika semua muridnya tidak memiliki attitude yang baik," gumam pak Omar seraya menggeleng pelan.

***

Di ruang cukup besar dengan banyak layar yang terpampang menampilkan rekaman kegiatan semua orang, terdapat satu remaja yang sibuk berkutat dengan komputer dan ketiga temannya berusaha mengamati dengan seksama. Gaven, lelaki itu tampak serius dengan kegiatannya. Jemarinya asik menari di atas keyboard untuk mencari rekaman cctv sekolah sejak pagi tadi. Penglihatannya tak pernah teralihkan dari layar persegi di depannya.

"Gue butuh bantuan kalian." Gaven berucap tanpa mengalihkan atensinya. "Bagi tugas, cek rekaman cctv  di bagian gerbang sekolah, pintu belakang sekolah menuju rumah penjaga sekolah, lorong sepanjang laboratorium."

Tanpa mengeluarkan suara, Ozi, Ettan, dan Arghi menjalankan tugasnya masing-masing. Bagaimana mereka bisa masuk ke dalam? Mudah, siapa yang berani melawan kemauan seorang Gaven? Keluarganya yang sangat berpengaruh di SMA Cendrawasih membuat siapapun sungkan kepadanya meskipun Gaven mencoba untuk bersikap biasa saja.

"Rekaman sekitar pukul delapan pagi hingga jam sepuluh siang sepertinya dihapus," celetuk Arghi. "Pelakunya bukan orang biasa. Meskipun benar hanya orang biasa, bisa saja dia punya pelindung di sekolah ini."

"Sialan. Sok iye banget nyari gara-gara sama Daniel," dumel Ozi.

Gaven menyipitkan matanya, dari layar lainnya ia dapat melihat Daniel baru saja keluar dari ruang BK. "Daniel baru saja keluar, hubungi dia. Kita bertemu di rooftop."

Bergegas menjalankan perintah temannya, Ettan sibuk dengan ponselnya untuk mengabari Daniel. "Langsung ke rooftop, kita nyusul."

Mereka segera keluar dari ruang cctv menuju rooftop. Sebelum itu Gaven berbincang sebentar dengan beberapa orang yang bekerja di bagian keamanan sekolah, lebih tepatnya tim yang menjaga dan memantau keadaan sekolah melalui cctv. "Apa kalian tadi pagi meninggalkan ruangan ini?"

"Kami selalu bergantian jika ingin keluar, ruangan ini dijaga ketat," jawab dari kepala tim keamanan. "Apakah belum mendapatkan rekaman yang kalian cari?"

Mengangguk pelan. "Sepertinya rekaman sengaja dihapus entah bagaimana caranya. Mungkin ada cara lain untuk mencari pelakunya. Terima kasih banyak karena telah mengizinkan saya dan teman-teman untuk mengecek cctv."

"Sama-sama, kami juga akan berusaha mengembalikan rekaman cctv yang kalian maksud tadi." Gaven mengangguk diiringi tubuhnya yang sedikit membungkuk seolah mengatakan terima kasih dan segera pamit keluar untuk menyusul teman-temannya.

Pikirannya bercabang. Ia membantu temannya bukan semata-mata karena ingin membersihkan nama baik Daniel, itu tidak perlu karena keluarga dengan marga Bayanaka yang akan turun tangan nantinya. Hanya saja, otaknya mengatakan bahwa pelaku ini sama dengan pelaku yang meletakkan bunga di lokernya.

Namun, juga ada pemikiran menentang bahwa pelaku adalah orang yang sama. Terdapat perbedaan antara dirinya dan Daniel. Jika ia mendapatkan bunga dan secarik kertas bertuliskan kata 'terima kasih', bukankah itu hal yang baik? Sedangkan Daniel mendapatkan sesuatu yang buruk yaitu berita mengenai pelecehan seksual terhadap gadis di SMA Merdeka, dan itu adalah sesuatu yang buruk.

Mungkinkah pelakunya sama? Ataukah harus menunggu untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya? Memikirkan itu membuat kepala Gaven berdenyut. Sudahlah, ia harus segera sampai sebelum Ozi marah padanya.

***

Maaf karena baru bisa up.
Terima kasih banyak atas dukungannya🍓

Continue Reading

You'll Also Like

9.4M 392K 63
On Going (Segera terbit) Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di ke...
680K 19.9K 40
Ivander Argantara Alaska, lelaki yang terkenal dingin tak tersentuh, memiliki wajah begitu rupawan namun tanpa ekspresi, berbicara seperlunya saja, k...
334K 9.5K 40
Alskara Sky Elgailel. Orang-orang tahunya lelaki itu sama sekali tak berminat berurusan dengan makhluk berjenis kelamin perempuan. Nyatanya, bahkan...
393K 27.8K 26
[JANGAN SALAH LAPAK INI LAPAK BL, HOMOPHOBIA JAUH JAUH SANA] Faren seorang pemuda yang mengalami kecelakaan dan berakhir masuk kedalam buku novel yan...