Jevandra

By tatattalgi

6.5K 383 67

"Sebaik-baiknya kekuatan adalah saat kamu mencoba untuk tersenyum pada orang yang telah melukaimu." Ya, Jevan... More

Tentang
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh

Enam Belas

119 5 0
By tatattalgi

Haiii. Maaf belum bisa tepat waktu untuk up.

Oh, iya. Sedikit bercerita, boleh ya?
Tanggal 05 April 2022, hari pertama Tata kembali ke sekolah setelah daring sejak kelas 10. Dua tahun daring dan ke sekolah hanya sebanyak dua sampai tiga kali, Tata nggak tau tata letak ruang kelas.

Alhasil, hari pertama Tata nyasar di koridor sepi yang entah itu dimana hehe. Beruntungnya ada kakak kelas yang mau menjawab pertanyaan Tata dengan ramah. Baiknya, ia mengantarkan Tata mencari kelas meskipun terlihat jelas bahwa kakak itu tergesa-gesa.

Saat itu gugup melanda, sampai lupa apakah Tata sudah atau belum mengucapkan terima kasih? Ingin mencari kakak kelas tersebut, namun tidak tahu nama, kelas, bahkan ciri-cirinya. Mengucapkan terima kasih di sini supaya Tata juga selalu ingat kebaikan beliau, tidak masalah 'kan?

Terima kasih atas bantuannya, kakak cantik. Semoga kita bertemu di lain hari agar Tata bisa membalas kebaikan kakak. Terima kasih banyak sudah mencarikan kelas Tata. Salam sayang untuk kakak cantik🍓❤

Pesan untuk kita. Jangan pernah lupa mengucapkan 'terima kasih' atas segala bantuan orang lain kepada kita, ya. Semangat.

Terima kasih telah menyimak sedikit curhatan Tata. Selamat membaca🍓

***

Selalu ada pilihan setiap situasi.
Marah atau memaafkan. Bersedih atau bahagia. Tinggal atau pergi.

***

"Halo, para calon penghuni neraka!"

Bugh!

"As-"

"Astaghfirullah. Biasakan ucap kalimat yang baik, ukhty," potong seseorang yang tengah berbaring di sofa ruang tamu seraya sibuk dengan ponselnya.

Louren mendengkus. "Lo ada dendam apa ke gue? Ngomong, baku hantam kita."

"Nggak ada, pengen nimpuk lo aja. Lain kali ucap salam sebelum masuk."

Mengedikkan bahunya acuh, Louren menarik tangan Jevan mendekat ke arah Liam. "Bang, gue mau kenalin calon laki gue."

"Lo nggak capek halu mulu? Mana ngaku-ngaku isteri Bae Jinyoung," nyinyirnya.

"Lihat dulu, Bang."

Hampir saja Lian tersedak salivanya sendiri saat manik matanya tertuju pada seseorang di belakang Louren. Merubah posisinya menjadi duduk lantas menatap tajam sang adik. "Lo ngambil dimana cowok macem dia, hah?"

Jevan meringis pelan. Pikiran negatif mulai memenuhi isi Kepalanya Lagi dan lagi ia tak diterima keberadaanya. "Eumm, Louren. Saya harus pulang."

"Bentar dulu. Gue mau ribut sama Liam jingan," ujarnya.

"Heh, biji ketumbar. Sekate-kate lo ngatain gue." Liam menatap lekat postur wajah lelaki yang adiknya bawa. "Heh, lo. Kenapa lo mau diajak pulang Louren?"

Jevan tergagap. "Lou-Louren memaksa saya untuk ikut dengannya."

"Sudah kudugong," gumam lelaki itu. "Lo jangan mau diajak pulang sama bocah tengil satu ini. Gue lihat, lo kayaknya orang yang nurut banget. Tipe-tipe bapak gue, suami takut isteri."

Jevan mengerutkan keningnya. Ia merasa ucapan Liam terbalik. Lelaki itu memberinya nasihat seakan-akan Louren adalah seorang penculik. Dapat disimpulkan, bahwa tingkah aneh Louren terbentuk dari kakaknya sendiri.

Melepaskan gengaman tangannya dengan Jevan, gadis itu maju lantas menendang tulang kering Liam hingga membuat sang empu berteriak. "Nggak nyambung lo."

"Sakit, Oren. Gitu aja langsung cosplay jadi reog." Liam mengusap bekas tendangan Louren yang terasa nyeri. Kini, tatapannya kembali beralih pada Jevan. "Duduk. Santai aja, gue nggak akan nerkam lo. Gue bercanda doang tadi, nggak perlu dianggap serius."

"Nah, kenapa nggak dari tadi?" Louren memaksa Jevan dudu di sofa yang bebeda dengan Liam. "Duduk dulu, gue mau mandi sekaligus ganti baju. Baik-baik cogannya Oren. Kalau ada yang jahatin lo, ucap istighfar aja. Nanti pasti ada yang kepanasan." Tanpa menunggu respon, Louren berlari naik ke lantai dua.

"LO PIKIR GUE SETAN? AKHLAK HASIL REMEDIAL GITU TUH." Terdengar gelak tawa puas dari arah tangga, siapa lagi jika bukan Louren.

Liam memejamkan matanya sejenak, menghalau emosi yang akan meledak jika nanti Louren kembali berhadapan dengannya. "Sabar, Liam. Lebaran idul fitri masih lama, belum bisa jual adik lo ke tanah abang dengan diskon besar-besaran."

"Nama lo siapa?" tanyanya pada Jevan.

"Jevan," jawabnya.

Mengangguk pelan. "Dekat sama adik gue sejak kapan?"

"Sejak Louren datang membantu saya."

"Oh, lo cowok yang sering diceritain si biji ketumbar ternyata." Liam mengulurkan tangannya. "Gue Liam, calon abang ipar lo."

Jevan memundurkan kepalanya. Kenapa kakak beradik itu tingkahnya sama? Tidak adakah yang sedikit waras? Pikirnya. Segera ia menjabat tangan Liam yang terulur ke arahnya. "Jevan, eum..."

"Panggil kayak Louren aja," pintanya. Berdeham pelan seraya membenahi kaosnya. "Bentar, gue mau masuk ke mode serius "

"Gue tebak, Louren yang dekatin lo? Secara, adik gue terlihat lebih dominan dibanding lo." Jevan mengangguk.

"Lo-"

"Loh, ini teman kamu, Bang?" pertanyaan itu datang dari wanita paruh baya yang baru saja muncul, siapa lagi jika buka Vinja.

Liam berjengkit saat mendengar suara Vinja. Suara bundanya tidak berbeda jauh dengan Louren, sama-sama berhasil memekakkan telinga siapapun di sekitarnya. "Bukan, Bun. Ini teman Louren."

Mimik wajah Vinja berubah seketika. Ia tampak sangat antusias karena Louren membawa temannya ke rumah, itu berarti putrinya memiliki teman baik di sekolah barunya. "Siapa namamu?"

"Jevan, Tante," jawab lelaki itu diiringi senyum tulus lantas mencium punggung tangan Vinja.

Kening wanita paruh baya itu tampak bergelombang. Ia mendekatkan dirinya pada Liam lantas berbisik, "Jevan? Itu nama yang sering jadi bahan haluan Louren ya, Bang? Itu loh, yang adikmu halu jadi calon isterinya."

"Pura-pura nggak tau aja, Bun."

Vinja meringis pelan. Selera anaknya tidak main-main, yaitu cowok kalem dan berwajah imut seperti Jevan. "Oh, Jevan. Mau minum apa? Tante sampai lupa nawarin kamu."

"Nggak perlu repot-repot, Tante. Setelah Louren turun, saya akan segera pulang," jawabnya pelan takut menyinggung wanita tersebut.

Melambaikan tangannya seolah tak masalah. "Nggak, ngerepotin sama sekali. Atau mau sekalian menunggu ayah Louren buat ikut makan malam?"

Jevan tergagap. Ia bingung harus menolak bagaimana lagi. "Sebentar lagi magrib, nggak baik kalau saya masih bertamu."

"Nah!" seru Liam. "Adzan magrib sebentar lagi, lo sekalian aja shalat di sini."

"Benar. Sudah, nggak ada penolakan lagi ya."

Sudahlah! Jevan menyerah. Ia tidak tahu lagi bagaimana menolak ajakan... ah, bukan. Lebih tepatnya paksaan yang mereka lontarkan untuk membuatnya tetap berada di rumah itu. Lebih tahu lagi, sifat pemaksa dan tidak ingin dibantah Louren ternyata menurun dari keluarganya.

Jevan semakin sungkan tatkala Vinja menyuruhnya untuk membersihkan diri di kamar Liam. Terlebih lagi kakak Louren dengan santai memberikan baju kepadanya. Jika tahu akan seperti ini, lebih baik ia menghindar saat bertemu Louren tadi.

"Ambil aja pakaian gue. Tenang, itu masih baru," ujar Liam saat melihat Jevan baru saja keluar dari kamar mandi di kamarnya, sedangkan ia berleha-leha di ranjangnya.

"Tapi, Bang-"

"Nolak, gue aduin bunda." Liam bangkit dan membenarkan pakaiannya. "Kita ke bawah, sebentar lagi ayah pulang."

"Saya pulang sekarang ya, Bang. Nggak enak di rumah cewek sampai malam."

Liam menghentikan langkahnya saat baru saja menuruni beberapa anak tangga. "Lo di rumah ini nggak berduaan doang sama Louren, ada banyak orang. Jadi, nggak ada alasan tetangga buat nyinyirin lo ataupun Louren."

"Saya harus pulang karena harus menyiapkan makan malam untuk ayah saya." Bagaimanapun keadaannya dan dimanapun berada, Jevan selalu memikirkan Yudha.

"Astaga," raung Liam frustrasi. "Nanti bunda sisihkan masakan untuk bokap lo. Dah, diam. Gue ini emosian loh, Jev."

"Bunda! Abang marahin Jevan!" seru Louren dari ruang tengah setelah mendengar kakaknya mengomel.

Liam segera mengajak Jevan turun dan menghampiri sang adik yang sedang duduk menikmati kartun favoritnya. "Jangan fitnah lo, jamet. Jev, duduk dulu. Gue mau nyamperin bunda."

Mengangguk paham, dengan kaku ia duduk di sebelah Louren yang fokus pada kartun anak si botak kembar. Tubuh Jevan menegang saat Louren kepalanya bersandar pada bahunya. Setiap tindakan seluruh anggota keluarga Louren selalu berhasil membuat dirinya terpaku di tempat.

"Louren, sa-saya nggak nyaman jika kamu seperti ini," ujarnya pelan.

"Gue nyaman, Jevan," ujarnya lirih dengan manik mata yang masih saja fokus pada layar televisi. "Ayah belum datang, ya? Gue lapar banget. Lelah, letih, lesu, lemas, lunglai."

***

Derap langkah kaki memenuhi ruangan yang sunyi. Langkahnya terus membawa sang empu menuju lantai dua. Gaven, lelaki itu menapaki anak tangga. Sesampainnya di anak tangga terakhir, sayup-sayup ia mendengar teriakan bercampur tangisan dari salah satu ruangan di lantai dua. Dengan yakin, kakinya melangkah mendekati ruang kamar dengan pintu yang tidak tertutup rapat.

Dari celah pintu, ia dapat melihat seorang wanita tengah berlutut di hadapan lelaki. Gaven menggeram tatkala bundanya di perlakukan layaknya hewan. Ah, tidak. bahkan lebih dari hewan. Tidak ada perlawanan sedikit pun dari wanita tersebut saat tubuhnya menjadi sasaran kemarahan lelaki yang sialnya adalah suaminya sendiri sekaligus ayah kandung Gaven.

Brak!

"Ayah!" sentak Gaven seraya berjalan mendekat lantas mendorong tubuh ayahnya agar menjauh.

Agam-ayahnya-mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Menatap nyalang putra semata wayangnya. "Berani sekali kamu masuk kamar tanpa mengetuk terlebih dahulu. Bisakah kamu berlaku sopan, Gavendra?" desisnya.

Tak mengindahkan perkataan sang ayah, Gaven sibuk membantu bundanya yang sudah tidak memiliki tenaga berjalan ke arah ranjang. Mendudukkannya lalu kembali menatap berani kepada pria paruh baya di hadapannya. "Apa yang membuat ayah marah sehingga bunda diperlakukan seperti tadi?"

"Kalian sama-sama tidak tahu diuntung. Masih baik saya mau menampung kalian. Saya tidak minta imbalan apapun selain memintamu untuk mendapatkan juara umum di sekolah. Untuk mendapatkan juara kelas saja tidak bisa, sungguh bodoh." Agam mengusap wajahnya kasar. "Kalian berdua tidak berguna!"

Gaven maju selangkah. Hatinya kian bergemuruh saat ingatan tentang bundanya yang mendapatkan siksaan tadi kembali memenuhi pikirannya. "Ayah bisa marah kepada Gaven, bukan bunda."

Bugh!

"Ini untukmu yang tidak pernah bisa membanggakan saya." Pukulan telak mengenai rahang Gaven hingga sang empu terjerembab.

Bugh!

Lagi. Agam menendang pinggang Gaven dengan keras. Teriakan ketakutan yang terlontar dari Garin tidak dihiraukan. "Saya memfasilitasi dirimu agar bisa mendapatkan nilai sempurna. Kamu adalah penerus perusahaan keluarga, Gaven. Harga diri saya tercoreng jika nanti kamu menjadi pemimpin dengan otak bodohmu itu!"

Gaven meringis seraya menggeleng pelan tatkala bundanya hendak bangkit menghampirinya. Ia tidak masalah apabila dirinya yang menjadi pelampiasan sang ayah, asalkan bukan bundanya.

"Bangun! Jadi laki-laki jangan lemah." Agam menarik kerah seragam Gaven. "Kalian berdua hanya menjadi beban saya. Tidak tahu diuntung."

Bugh!

"Mas!"

Pukulan terakhir tepat mengenai tulang pipinya Gaven. Agam lantas hengkang dari kamar tanpa berniat melirik sedikitpun pada isteri dan anaknya. Suasana kembali sepi. Hanya terdengar isakan keras dari Garin ketika menyentuh pelan lebam pada wajah putranya.

"Maaf." Garin merengkuh tubuh Gaven. "Maaf karena belum bisa jadi bunda yang baik untukmu. Bunda gagal membangun keharmonisan keluarga kecil kita, maaf."

Memejamkan matanya sejenak guna meredamkan emosi, Gaven mengusap lembut punggung bundanya. "Nggak ada yang perlu disesali. Bagi Gaven, yang terpenting adalah Bunda. Tolong tahan sebentar, secepatnya Gaven bawa Bunda pergi dari sini."

"Jangan." Garin menggeleng rakus. Ia mendongak menatap wajah tampan penuh luka putranya. "Ayah masih membutuhkan bunda dan kamu. Bunda yakin bahwa suatu saat beliau akan berubah."

Menghiraukan perkataan bundanya, Gaven bangkit lantas berjalan tertatih menuju keluar untuk membersihkan diri. Bohong jika ia tidak marah dengan perkataan bundanya, ingin sekali berteriak bahwa ayahnya tidak pantas mendapatkan maaf setelah apa yang telah diperbuat selama ini.

Saat ini tujuannya hanya satu, apartment. Sewaktu masih duduk di bangku akhir sekolah menengah pertama, ia sengaja membeli satu unit apartment menggunakan uang tabungannya guna menjadikan tempat itu sebagai pelariannya di kala emosinya sedang tidak terkontrol.

Gaven enggan untuk tetap berada di rumah dan berakhir lepas kontrol hingga berimbas kepada sang bunda. Ia tak yakin pada dirinya sendiri untuk selalu memendam emosinya atas semua perkataan dan perlakuan ayahnya, Agam.

"Gaven, bunda sudah siapkan makan malam." Suara lembut itu berhasil menghentikan langkah Gaven saat baru saja hendak membuka pintu utama.

Menarik napasnya, lalu menghembuskan perlahan. Gaven berbalik menghadap bundanya, tak lupa menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman seolah mengatakan bahwa ia baik-baik saja. "Maaf, Bunda. Gaven ada urusan sebentar, Bunda makanlah dulu."

"Bunda ingin makan bersamamu. Bisakah batalkan semua urusamu malam ini? Bunda ingin makan setelah itu menghabiskan waktu dengan menonton bersamamu," ujar Garin jujur. Sudah lama ia tak menghabiskan waktu bersama putra semata wayangnya.

"Bisa. Sekarang kita makan malam," ujar Gaven seraya merangkul bahu bundanya menggiring ke arah ruang makan.

Tidak apa ia tak dapat melampiaskan seluruh emosinya di apartemen. Rencananya untuk menenangkan emosinya gagal sebab sang bunda ratu ingin ia menemaninya. Tidak masalah. Jikalau itu membuat bundanya bahagia, sebisa mungkin ia akan menuruti. Gaven sudah berjanji pada dirinya untuk melakukan apapun demi membuat bundanya bahagia.

***

Mohon maaf apabila menemukan banyak typo yang mengganggu penglihatan kalian.

Terima kasih telah menyempatkan membaca.

Mau spam dulu ah🍓

Calon mantu bunda Vinja, Jevandra.

Ayangnya Jevan, Louren/Oren.

Ayden, murid ambis di SMA Cendrawasih.

Abang ganteng idaman para ibu pencari calon mantu, Gaven.

Si yang paling berkuasa di sekolah, Ozi.


Daniel, fakboi sejati sampai mati nih bos.

Nak seleb dengan senyum manis, Ettan.

Kang mancing emosi dengan kepolosannya, Arghi.

Litha, emak pungutnya Louren dan Heera yang super ketceh😎

Heera, degem incaran para kakak senior.

Si yang paling cantik, Cellin.

Pecinta janda kembang sebelah rumah nih boz, bang Liam.

Sampai bertemu di bab selanjutnya, selalu dukung Tata ya🍓

Continue Reading

You'll Also Like

860K 64.8K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
1.1M 41.8K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3M 212K 37
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.6M 39.1K 17
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...