RATSEL

Por ARLINADJULIAPERDANA

13.2K 6.6K 8.1K

"ᴴⁱᵈᵘᵖ ⁱⁿⁱ, ᵗᵉⁿᵗᵃⁿᵍ ˢⁱᵃᵖᵃ ʸᵃⁿᵍ ᵈᵃᵗᵃⁿᵍ ˡᵃˡᵘ ᵖᵉʳᵍⁱ." ••• Ini tentang Aleta-seorang gadis, belasan tahun. Di u... Más

Prolog
1. Sea Lingga
2. Perjodohan
3. Black Eagle?
4. Angka 103
5. Masih belum ada rasa?
6. Hubungan
7. Aghisma Feri
8. Cecilia Company
9. Tentang jam itu
10. Danendra
11. Insiden
12. Sam atau Rando?
13. Memori Nando dan Aarav
14 Su jufe, debe morir
15. Teror
16. Kambuh
17. Bully?
18. Kematian Nayla yang mengejutkan
19. Sepasang kekasih yang mengerikan
20. Cemburu
21. Pembalasan
22. Sandra ketakutan
23. Amukan Gustira
24. Di rumah Sena
25. Pandu berulah
26. Ancaman dari seseorang
27. Siapa Alena?
28. Keributan
29. Kedatangan Alena
30. Alena, si ratu drama
32. Bukti
33. Bahaya
34. Pengorbanan Feri
35. Durga
36. Terungkap
37. Ancaman Helena
38. Thania hamil?
39. Tanggung jawab
40. Alvaro menjauh?
41. Semesta yang suka bercanda
42. Celaka
43. Penyesalan Helena
44. Undangan
45. Arti Cinta sesungguhnya
46. Aryana Raskal Aldebran
47. Bertemu Feri
48. Permohonan Aleta
49. Paru-paru untuk Alena
50. Akhir dari segalanya
Epilog

31. Dibully lagi?

170 93 160
Por ARLINADJULIAPERDANA

Promosiin dan rekomendasiin terus cerita ini yaaa!!!

Happy reading geis<3

"Ternyata tanpa pernah disangka banyak orang-orang terdekatmu lah yang mendorong mu ke dalam jurang yang teramat kelam. Yang mematahkan semangat mu, mimpi-mimpi besarmu, dan ingin meredupkan sinarmu" –Helo Bagas.

***

Helena terus mencambuki tubuh Aleta yang mulai melemah. Tubuh putrinya terlihat begitu kacau, darah dan luka ada dimana-mana.

Helena melemparkan alat cambukan itu entah kemana, lalu dia menatap Aleta dengan mata yang berkaca-kaca. Apa dirinya sudah kelewatan? Mengapa Aleta tak menjerit kesakitan saat tubuh nya di cambuk oleh Helena?

"Kenapa kamu gak menjerit kesakitan, saat saya terus menerus mencambuki tubuh kamu?" tanya Helena dengan suara yang bergetar.

Aleta dengan santainya menjawab. "Leta pantes dapetin cambukan dari mami. Mami bener, yang harusnya mati itu Leta bukan Ayah."

Tubuh Helena menegang setelah mendengar jawaban dari Aleta, sepertinya Helena benar-benar kelewatan. Ada rasa bersalah di hati wanita paruh baya ini setelah mencabuki tubuh putrinya sendiri.

"Kenapa mami nggak bunuh Leta aja? Biar Leta bisa nyusul ayah di sana."

Helena terdiam membisu, ia tidak menjawab pertanyaan dari Aleta.

"Mending kamu ke kamar, istirahat. Besok sekolah, kamu kamarnya pindah di bawah. Soalnya, Alena mau tidur di kamar kamu," ujar Helena, mengalihkan pembicaraan seraya tersenyum tipis.

"Aleta cape, mi."

"Aleta cape sama semua orang yang ada di dunia ini!"

"Semua orang cuma bisa bikin Aleta nangis, termasuk mami."

"Daru yang Mami kira baik itu, ternyata jahat."

"Mami juga seneng banget bikin Aleta nangis."

"Aleta ngerasa kalo dunia ini gak pernah adil buat Aleta,"

"Mami tau? Sampai sekarang, Aleta masih belum ikhlas kalo ayah udah pergi, pergi untuk selamanya, pergi ke tempat yang nggak bisa kita datengin sama sekali."

Aleta menumpahkan semua keluh kesahnya pada Helena, tapi wanita dengan pakaian yang terlihat elegan ini hanya terdiam, menatap putrinya dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.

"Udah ngadunya?"

Hening sesaat, Aleta meremat kuat seragam yang masih melekat ditubuhnya seketika.

"Kamu pikir dengan kamu ngadu ke saya kayak gini bisa buat saya kasian sama kamu?"

"Haha!" Aleta tertawa sendu. Ia menatap sang ibu dengan sorot pancaran mata yang penuh luka. "Mami kan, pedulinya cuma sama Alena."

Aleta pergi dari sana dengan bahu yang bergetar hebat. Kecewa karena maminya saja tidak bisa percaya padanya, apalagi orang lain.

Helena masih memegang alat cambut di tangannya. "ARGH!" Alat cambut itu Helena lempar dengan bebas.

Alena, Sena, Alvaro dan Gustira dikejutkan oleh teriakan dari Helena, mereka dengan segera menghampiri ibu dari si kembar.

"Kamu kenapa, Helen?" Raut wajah Gustira terlihat khawatir ketika melihat Helena terdiam. Wajah istrinya juga berkeringat.

"Ada apa, mami?"

Netra Alvaro membulat melihat alat cambuk yang berada tak jauh dari posisi mereka

Alvaro mengambil cambukan yang berada tak jauh dari tempatnya. "Tante gak mukulin Aleta pake cambuk ini lagi, kan?" Alvaro terus bertanya.

"Varo, tante–"

"Tante mukulin Aleta lagi?" tanya Alvaro, Helena mengangguk pasrah.

"Kenapa, tante?" tanya Alvaro lelah, kedua bahunya melemas begitu saja seraya menatap Helena tak percaya.

"Aleta nya yang duluan, dia pergi ke hotel sama cowok umurnya yang udah mau punya kepala empat, dan itu buat mami marah," Alena menjelaskan sambil memperlihatkan foto yang ada di dalam galeri ponselnya itu.

Alvaro terkejut, baju itu memang sama dengan baju yang Aleta kenakan pada hari itu. Tapi jelas orang itu bukan Aleta. Pada hari itu, Aleta terus bersamanya. "Dia bukan Aleta, tante!"

"Tante juga tau kan? Kemarin, Leta perginya sama aku dan Ginjar. Bukan sama om-om kayak gitu!"

"Kemaren kita ke caffe buat makan doang, terus di caffe ada Daru yang mabuk dan terus nyiumin Thania. Abis itu ada musibah, kita dikabarin kalo om Nando kecelakaan,"

"Saat itu, Om Nando benar-benar kehilangan banyak darah."

Perlahan air mata Alvaro mengalir, rahangnya mengeras.

"DAN BODOHNYA AKU GAK BISA NGELARANG ALETA BUAT GAK DONORIN DARAHNYA! PADAHAL TUBUH DIA LEMAH, DIA GABISA DONORIN DARAHNYA BUAT OM NANDO! TAPI DIA NEKAT TANTE, DIA DONORIN DARAHNYA BUAT OM NANDO!"

"Tante juga jahat sama Aleta... Tante malah pukulin dia, Tante—" Alvaro tak bisa melanjutkan ucapannya, dadanya sudah teramat sesak, isakannya yang ia tahan dari tadi mulai terdengar begitu saja.

Kedua bahu Helena melemas seketika, buliran bening air mata wanita itu perlahan muncul.

Sena yang sudah menangis langsung menampar pipi Helena dengan kencang. Wajahnya terlihat marah.

Plak!

"Kalo lagi emosi jangan jadiin anak sebagai pelampiasan, mba!" teriak Sena murka.

"Kayak kamu gak pernah jadiin anak kamu sebagai pelampiasan kalo kamu lagi emosi aja, Sena," balas Helena sengit.

"Mba sendiri liat, kan? Mas Yana masih bisa hidup setelah ngedonorin hatinya buat Aleta... Mba gak lupa, kan? Ada pisau yang nempel tepat di organ jantung Mas, Yana?"

"Mba, Mas Yana meninggal dengan cara di bunuh dan itu udah taqdirnya. Termasuk taqdir mubram, taqdir yang udah gak bisa kita elakin atau di rubah semau kita,"

"Ikhlas jalan satu-satunya, Mba... gak ada yang bisa kita lakuin selain mengikhlaskanya. Emang awalnya berat, tapi pasti mba bisa,"

"Kamu mending pergi, Sena! Kamu gak akan ngerti karena kamu gak ngerasain jadi mba itu gimana!" usir Helena yang masih menangis deras. Lalu ditenangi oleh Gustira.

"Bawa Alvaro pulang juga!" Helena saat ini masih terbawa emosi, tatapannya tajam, dan wajahnya memerah.

"Kamu jangan temuin Aleta!" ancam Helena, tangannnya bergetar hebat.

"Kita pulang Alvaro." Sena menarik lengan Alvaro untuk segera pergi dari sini, ia tak ingin membuat Helena semakin emosi atau bahkan mengancam putranya lagi.

Alvaro menyentak tangannya kasar, seraya menggeleng tak terima dengan ancaman yang diberikan oleh Helena.

"Nggak, Ma... Aleta butuh Alva, Alva mau nemenin Ale, Ma..." mohon Alvaro sambil menatap ibunya penuh harap.

"Tante—"

"Pergi kamu!"

"Jangan pernah bertemu dengan putri saya lagi!" Tubuh Helena bergetar saat memberi ancaman untuk Alvaro.

Helena memberikan tatapan sengit pada Alvaro. "Kalo kamu nekat, saya akan membawa Aleta pergi jauh dari kamu!"

"Kita pergi, Alvaro." Sena menarik lengan putranya dan segera pergi dari sana.

Laki-laki dengan kaus oblong berwarna hitam ini menggeleng tak terima.

"Aleta butuh Varo, Ma! Varo juga butuh Aleta... jangan pisahin kita berdua lagi, ma," mohon Alvaro. Nadanya terdengar begitu sendu.

Wanita berambut sebahu itu tersenyum lembut. "Gak ada yang pisahin kalian, kamu boleh temuin Aleta lagi, tapi gak sekarang. Tunggu waktu yang tepat, ya?" Sena menatap hangat putranya yang kini sedang mendekapnya erat.

***

Aleta menangis, hatinya terasa sangat sakit. Ucapan Helena masih terngiang-ngiang di otaknya. Harusnya yang mati itu kamu. Bukan mas, Yana!

Aleta bersandar di pintu kamarnya seraya memeluk foto almarhum sang ayah yang berada di atas lemari kecil gadis bermarga Wijaya ini.

"Ayah dari banyak yang ku dengar dan di banyak film yang ku tonton, anak perempuan akan menyandarkan kepala nya, pada bahu tegas milik ayah nya, membiarkan air mata nya membasahi bahu milik ayahnya. Tapi ayah... Kenapa bahu mu itu terlalu jauh, untuk aku bersandar?"

"Kenapa Alva gak dateng? Alva udah gak peduli lagi, ya sama Ale?"

"Kenapa Feri juga ikutan pergi?"

Rasa sesak dihatinya semakin menjadi.

Lalu, gadis ini mengeluarkan silet dari dalam saku seragamnya, perlahan ia menyayat-nyayat pergelangan lengannya. Bukan hanya sekedar goresan, namun gadis itu juga membuat gambar lingkaran menggunakan silet pada pergelangan lengannya.

***

Pagi hari tiba, matahari terbit di ucuk timur. Dengan cepat Aleta keluar dari kediaman Wijaya. Rambutnya yang tidak terlalu tebal, ia kuncir kuda. Lalu membawa mobilnya sendiri menuju sekolah.

Gadis ini memoleskan make up tipis untuk menutupi pipinya yang membiru akibat tamparan kemarin, dan wajahnya yang sedikit pucat itu.

Sampai di depan kelas XI IPA 2, langkah Aleta dihadang oleh Thania, Cesya, Syifa, dan Sandra.

Aleta terdiam, ia sedikit terkejut dengan kehadirannya Thania Varasya Cecilia.

Sandra langsung menyiram tubuh Aleta dari atas sampai bawah, memakai air selokan.

"Gak nyangka banget gue, ternyata lo simpenannya om-om," ujar Cesya saraya memasukan beberapa cabai busuk secara paksa ke dalam mulut Aleta.

"Gue tau kalo lo simpenannya om-om dari Alena," Sandra tersenyum mengejak.

Sekedar info, Alena sudah masuk ke sekolah ini dan sekelas dengan Thania.

Syifa menjambak rambut Aleta dengan kuat, lalu Sandra memasukan roti yang sudah basi ke dalam mulut Aleta dengan paksa.

Aleta terdiam, tangannya mengepal hingga kuku-kukunya memutih.

"Dibayar berapa lo sama om-om itu?" tanya Syifa menghina, lalu ia melepas jambakannya ini membuat Aleta sedikit terhuyung ke depan.

Thania dengan keji langsung membenturkan kepala Aleta pada tembok yang berada di belakangnya.

Bruk!

Darah dari kepala Aleta mulai muncul, tapi anehnya gadis ini tidak merasakan sakit sama sekali.

Tertawa jahat, Thania mencengkeram dagu Aleta kuat. "Lo... jalang!" Berteriak kencang, gadis ini sudah mempermalukan Aleta di depan umum.

Sesil dan Sela mendekati Aleta yang sedang di-buly wajahnya terlihat datar. Mereka bukan menolong sahabatnya yang sedang di–bully, namun mereka justru ikut mem-bully gadis itu. Tidak secara fisik, melainkan secara sosial bullying.

Sosial bullying termasuk ke dalam kategori bullying terselubung. Hal tersebut karena bullying satu ini biasanya dilakukan di belakang korban yang diintimidasi. Tujuannya untuk melukai reputasi sosial sesorang atau membuat orang lain merasa dipermalukan atau dihina.

"Gila, gak nyangka banget gue bisa sahabatan sama lo, simpenannya om-om," tandas Sesil seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Nadanya terdengar begitu menusuk.

"Gue kaget banget pas tau kalo lo itu simpenannya om-om, Aleta! Lo jalang kecil!" Sela berteriak, sambil melirik Aleta jijik. Kemudian tersenyum mengejek.

Teriakan Sela berhasil membuat beberapa siswa dan siswi yang berada di sana menatap Aleta dengan hina.

"Enggak nyangka gue anjir ternyata si Aleta itu simpenannya om-om!"

"Kira-kira dia di bayar berapa ya, sampe mau jadi simpenannya om-om?"

"Aleta si jalang kecil yang berkeliaran di sekolah!"

"Huu, tempat lo itu di clubbing bukan di sekolah ini, jalang!'

Dan masih banyak lagi teriakan-teriakan hina dari mereka. Membuat hati Aleta berdenyut ngilu.

Daru tiba-tiba datang tanpa diundang seperti jalangkung, tanpa aba-aba ia melayangkan tamparan pada Aleta. Wajahnya memerah menahan amarah.

Plak!

"Murahan banget lo jadi cewe, mau jadi jalang kan lo?!" hardik Daru, napasnya memburu. Wajahnya penuh dengan keringat, tatapannya tajam.

Cakra yang memang posisi nya berada tak jauh dari mereka, ia langsung berlari lalu menghajar Daru tanpa ampun.

Bugh!
Bugh!
Bugh!

"Cuma banci yang berani nampar perempuan," beber Cakra lalu berhenti menghajar Daru.

Laki-laki dengan nama belakang Dinata ini menatap nyalang ke arah Daru. "Lo itu tunangannya Aleta, harusnya lo percaya sama dia. Bukan malah percaya sama omongannya Alena!"

Cakra menarik kerah seragam Daru. "Lo liat Aleta? Wajahnya penuh darah, dan lo malah nampar dia? Otak pinter lo di mana, bangsat!"

Cakra mengalihkan pandangannya, menatap Sesil dan Sela heran. "Kalian juga, Sesil, Sela. Gue heran deh sama kalian berdua," tandas Cakra.

"Alena itu cuma orang asing. Tapi kenapa kalian lebih percaya sama omongannya Alena? Padahal sahabat kalian itu, Aleta bukan Alena."

"Harusnya kalian lebih percaya sama, Aleta sahabat kalian. Bukan malah percaya sama orang asing kayak Alena!"

"Sesil?"

Sesil mengangkat pandangannya lalu menatap balik retina mata Cakra dalam.

"Aleta udah baik banget sama lo. Dia mohon-mohon sama Tante Helen biar bokap lo itu bisa keluar dari penjara."

"Tante Helen ngabulin permohonannya Aleta buat ngeluarin bokap lo dari penjara. Dia juga percaya kalo bokap lo itu bukan orang yang udah ngebunuh ayah kandungnya!" teriak Cakra penuh amarah.

"Sekarang kenapa lo gak bisa percaya sama Aleta sedikit aja kalo dia itu bukan simpenannya om-om, Sesil?" tanya Cakra, sambil memelankan suaranya.

"Lo malah ikut-ikutan ngebuly Aleta!"

"Kalian di sini bully Aleta, seolah-olah Aleta yang salah... kalian mikir gak sih? Yang salah kalian, udah buat mental Aleta hancur dengan kalian bully gini tanpa adanya bukti!"

Pandangan Cakra beralih menatap Thania yang terdiam membisu. "Dan lo, gue udah muak liat lo selalu bully Aleta dan siswi lainnya di sini, sok berkuasa! Emang lo siapa, hah? Lo juga manusia biasa kayak Aleta, kayak kita semua. Lo menginjak tanah yang sama kayak kita, langit kita juga sama Thania!"

"Udah berhenti lo bully siswi di sini yang gak bersalah, thania... stop,"

Sesil terdiam, bulir mata gadis ini perlahan turun. Perasaan bersalah pada Aleta menyeruak di hatinya begitu saja.

Aleta hanya menundukan kepalanya, gadis ini sudah sangat pusing mendengarkan, hidungnya pun terus menerus mengeluarkan darah. Kemudian pandangan Aleta mengabur.

Tubuhnya sedikit linglung, lalu gadis ini ambruk begitu saja.

Daru langsung menggendong tubuh Aleta yang hampir jatuh, kebetulan tadi Daru berada di sampingnya Aleta. "Aleta?"

"Bawa dia ke rumah sakit, anjir!" kesal Cakra. "Kalo lo gak mau bawa Aleta ke rumah sakit, biar gue aja!"

Daru langsung membawa tubuh Aleta ke mobil yang terparkir di parkiran, menuju rumah sakit.

Daru menatap wajah tunangannya yang sekarang penuh dengan darah, laki-laki bermarga Danendra ini seketika merasa sangat merasa bersalah pada Aleta.

Tadi Daru menampar Aleta hanya karena api cemburu semata.

Ia cemburu karena kemarin Aleta selalu bersama Ginjar dan Alvaro. Tak lama kemudian laki-laki ini mendengar bahwa Aleta itu simpanannya om-om, membuat hati Daru panas. Laki-laki itu cemburu, sangat.

Tapi setelah di pikir-pikir lagi, mana mungkin Aleta pelukan sama om-om itu, padahal kemarin Aleta pergi bersama Alvaro dan Ginjar bukan sama om-om.

***

Gimana sama part 31 nya? Kesel sama Daru ga? Ada yang mau hujat dia? Kalo mau, sok hujat aja–!

Seguir leyendo

También te gustarán

Abighea Por cell.

Novela Juvenil

32.5M 2.8M 56
Abi sayang ghea, abi juga sayang vanya. Walaupun sayang abi pada vanya hanya sebatas teman, terkadang ghea sering merasa tidak berarti karna perlakua...
213K 20.9K 41
SUDAH TAMAT DAN PART MASIH LENGKAP. Mencintaimu adalah patah hati yang di rencanakan. Seperti yang dikatakan banyak khalayak orang. Tidak mungkin jik...
13.5K 1.9K 60
Kisah tertulis tentang sebuah hubungan terlarang, kebohongan yang terbongkar, dan juga cinta yang bertepuk sebelah tangan. Persahabatan yang sangat b...
15.7K 1.2K 18
"Dasar Kpopers alay!" "Dari pada lo gamers! Dasar pecandu game!" "Walaupun gue gamers, gue nggak pernah tuh mainin perasaan cewek" ~<>~ Farida Genia...