Jevandra

By tatattalgi

6.6K 383 67

"Sebaik-baiknya kekuatan adalah saat kamu mencoba untuk tersenyum pada orang yang telah melukaimu." Ya, Jevan... More

Tentang
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh

Empat Belas

118 7 3
By tatattalgi

Setiap rasa sakit, selalu ada penawar untuk menyembuhkan.

***

Teriknya matahari yang menyengat seakan menusuk kulit tidak membuat Jevan berhenti dari kegiatannya. Tangannya sibuk memungut sampah menggunakan alat yang disediakan. Tidak ada sepatah kata yang terlontar darinya. Bahkan untuk mengumpat di dalam hati bukanlah kebiasaannya.

"Sampah mungut sampah nih yeee!" seru seseorang disambut gelak tawa dari beberapa orang lainnya.

Tanpa mencari tahu siapa disi oran dimana posang yang mengejeknya, Jevan mengetahui bahwa itu suara Ettan. Kepalanya mendongak melihat lima orang sedang berada di rooftop sekolah. Keempatnya berdiri di samping Ettan yang duduk di pembatas rooftop dengan menjuntaikan kakinya.

"Semangat Jevan!" ujar Argi tak kalah keras.

"Lo ada bakat kerja mungut sampah, ya? Cocok soalnya." Ozi berujar dengan tatapan sinisnya.

"Go Jevan Go Jevan. Yuk bisa yuk!" Daniel mengangkat tangan kanannya yang terkepal sebagai bentuk isyarat agar Jevan semangat. "Bisa jadi babu sekolah!" lanjutnya diiringi ledakan tawa dari keempatnya.

Gaven menatap jengah. Mereka menariknya paksa hanya untuk menonton hal yang kurang bermanfaat ini? Sungguh, ia lebih baik dihadapkan dengan tumpukan buku bacaan daripada harus ikut keempat temannya itu. "Manfaat dari kegiatan kalian seperti ini apa?"

"Bila mengganggu orang lemah seperti Jevan, kita akan senang," jawab Arghi semangat.

"Yuk, balik! Jangan kelamaan di sini, ntar aura kita jadi negatif kayak si anak haram!" seru Daniel mengajak teman-temannya. Ia sempat melirik Jevan yang terdiam kaku sembari menatap sendu mereka, namun apa pedulinya?

Senyum getir terpatri di wajah Jevan setelah mereka pergi meninggalkan rooftop. Ia terlalu lelah harus merasakan sakit atas kalimat hinaan yang terlontar dari banyak orang dengan mengatasnamakan "bercanda". Semua perkataan dan perilaku memiliki batasan, bukan? Tapi, entah mengapa mereka semua seperti tidak memiliki batasan dalam bercanda dan tidak memikirkan dampak apa yang dialami korban saat mendapatkan kalimat hinaan tersebut.

Menghembuskan napasnya pelan sembari menetralkan rasa lelah dan sakit kepalanya akibat terpapar sinar matahari secara langsung. Ia mengedarkan pandangannya. Takut jika ada sampah di sekitar lapangan yang jarang terpakai itu. Dirasa selesai mengerjakan hukumannya, Jevan melangkahkan kakinya menuju pohon rindang yang berada di pinggir lapangan dan duduk seraya menyenderkan punggungnya. Matanya terpejam menikmati semilir angin yang menyapu lembut permukaaan kulitnya.

Semoga keadilan dan kebahagiaan berpihak pada hidup saya. batinnya diiringi senyum tipis yang menghiasi wajahnya.

Sentuhan halus di pelipis membuat Jevan terkejut. Louren, gadis itu sibuk mengusap peluh lelaki itu menggunakan tisu di tangannya. Kegiatan Louren terhenti saat maniknya bertubrukan dengan manik hitam Jevan. Dalam hati menjerit karena untuk kesekian kali dirinya jatuh cinta dengan mata lelaki itu.

"Jadi makin cinta sama lo," celetuk Louren tersenyum manis hingga membuat kedua sudut matanya tertarik.

Lihat! Baru saja mereka saling menatap satu sama lain layaknya drama korea, celetukan Louren merusak suasana. Berharap gadis itu menjadi pemeran utama dalam drama romantis sepertinya tidak akan pernah terjadi. Bahkan untuk dicasting menjadi pemeran di sinetron azab sangat mustahil.

Jevan segera menegakkan tubuhnya. Sedikit menjauh dari Louren sebelum ada yang melihat mereka. "K-kamu ngapain di sini?"

"Gugup lo?" heran Louren. "Sini deketan, gue mau usap keringat lo."

Menggeleng rakus dengan wajah piasnya. "Nggak perlu, Louren."

"Lo kenapa gugup gitu? Berasa mau diperkosa aja dah. Ini gue, bukan tante jablay." Louren menyerahkan tisu. "Nih bersihkan sendiri. Punggung lo sandar ke pohon, kaki lurusin."

Tanpa menjawab, lelaki itu mengusap wajahnya menggunakan tisu yang Louren berikan. Ia mengikuti semua intruksi dari temannya sembari menormalkan detak jantungnya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat bukan karena terpesona dengan kecantikan Louren, melainkan ia mengira bahwa gadis itu adalah hantu penunggu pohon tersebut.

Louren melipat kedua tangannya dan meletakkan di atas kedua kakinya yang terlipat menghadap Jevan dari samping. Memandang lekat temannya seraya mengerucutkan bibirnya. "Lo terpesona sama gue ya sampai kaget dan natap gue kayak di drama korea."

"Bukan. Saya kira kamu penunggu pohon ini," jawab Jevan terlewat jujur hingga menimbulkan helaan napas kasar dari lawan bicaranya.

"Jujur banget," cibir Louren. Ia menyodorkan sebotol air mineral dan di sambut tatapan bingung dari Jevan. "Untuk apa?"

"Nyembur wajah lo," sinisnya. "Ya diminum atuh, cogannya Oren."

Membulatkan mulutnya seraya menerima pemberian Louren lantas meneguknya hingga tersisa setengah. "Terima kasih banyak, Louren."

"Gue teman lo, jangan ngomong formal."

"Saya nggak berbicara formal, Louren," sangkalnya.

"Sak karepmu, Mas."

Setelah itu, mereka dirundung kesunyian. Jevan memejamkan matanya. Sedangkan Louren menatap lekat wajah lelaki itu. Banyak pertanyaan yang memenuhi otak cantiknya, namun rasanya tidak tega mengganggu ketenangan Jevan. Walau bagaimanapun, ia harus menahan bibirnya yang selalu berbicara tanpa mengenal lelah.

"Silahkan bicara, Louren. Saya tahu jika kamu nggak bisa berdiam diri." Seakan hafal di luar kepala dengan sifat temannya, Jevan memaklumi jika harus rela mendengarkan ocehan Louren.

"Nggak, lo mau tidur. Gue diam aja deh," ujar Louren tanpa mengalihkan pandangannya dari mata Jevan yang terpejam.

"Saya cuma pejamin mata, nggak tidur."

Gadis itu mengetuk pelan dagunya. Memikirkan pertanyaan pertama yang akan ia ajukan. "Pertanyaan banyak, tapi bingung pilih yang mana."

Jevan tersenyum sekilas di tengah matanya yang terpejam. "Tanya yang sekiranya sangat mengganggu pikiranmu."

"Jev, yuk jadi pacar gue."

"Itu bukan pertanyaan, Louren." Lelaki itu tak habis pikir dengan pemikiran random Louren.

Menyengir pelan lantas kembali berpikir. "Kenapa lo diam aja saat perkumpulan para setan ngebully lo?"

"Saya harus apa?"

"Ngamen!" ujarnya ngegas. "Ya lawan, Jevandra."

"Keadaan menekan saya untuk menerima semua perlakuan mereka, Louren."

Louren menggaruk pipinya. "Nggak paham."

Menarik nafas pelan lantas menghembuskan secara perlahan. "Lupain. Lanjut ke pertanyaan berikutnya."

"Eum... lo nggak mau cerita tentang masalah hidup lo?" tanyanya pelan. "Gue siap jadi tempat cerita. Lo bisa mengeluarkan semua kegelisahan yang selama ini mengganggu."

Kedua sudut bibir Jevan tertarik. Matanya yang sedari tadi terpejam, kini dapat menatap raut wajah serius Louren yang terkesan imut. "Saya nggak ada masalah apapun. Terima kasih telah bersedia menjadi teman saya."

"Hah?" Raut wajah gadis itu berubah cengo. "Nggak ngerti."

"Terus itu luka apa?" Jari lentiknya menyentuh pelan wajah Jevan yang lebam di beberapa bagian. "Sakit, ya?"

"Ini luka karena sempat berantem kemarin." Jevan meraih tangan Louren dan melepaskannya. "Lagipun ini nggak sakit."

"Nggak masuk kelas?" tanya Jevan mengalihkan pembicaraan.

"Istirahat kedua."

"Eum... nggak ke kantin?"

Kening Louren mengernyit tak suka. "Lo ngusir secara halus, ya?"

"Bu-bukan." Jevan gelagapan. Ia tidak bermaksud mengusir Louren, hanya saja dirinya masih belum terbiasa berdekatan dengan orang lain. "Maksud saya-"

Tawa Louren meledak seketika saat melihat wajah panik dan gugup temannya itu. Sepertinya menjahili Jevan akan menjadi hobi baru bagi seorang Louren. "Gue bercanda," ujarnya setelah meredakan tawa.

"Sekarang serius." Louren menjeda kalimatnya untuk mengambil napas lantas menghembuskan perlahan. "Kenapa sudut bibir lo robek? Kalau berantem nggak sampai gini, Jev."

"Saya berkelahi dengan preman setelah bekerja, Louren," jawabnya yakin.

"Lo adu jotos kapan?"

Manik Jevan bergerak gelisah, mencari cara agar terlihat sedang berbicara jujur. "Malam hari setelah saya pulang bekerja."

"Lo nggak lagi bohong, kan?" Louren menjeda perkataannya, lalu tersenyum menatap kebungkaman Jevan. "Lo nggak bisa bohong di depan gue, Jev."

Tangan Louren terulur menepuk pelan bahu Jevan. "Lo belum percaya dan siap untuk cerita, kan? Gue akan menunggu sampai lo benar-benar percaya sama gue dan siap bercerita tentang apa yang sedang lo hadapi."

"Gue ke kantin dulu." Louren bangkit dan menepuk pelan rok belakangnya. "Lo pasti nggak ada keberanian menginjakkan kaki di kantin. Jadi, jangan lupa makan roti yang gue kasih."

"Semangat, Jevan. Lo laki-laki kuat yang masih bertahan sampai saat ini meskipun ujian berat menerpa hidup lo," imbuh Louren bijak. "Hebat, gue bijak. Bye, cogannya Oren."

Louren hengkang dari sana. Meninggalkan Jevan yang terpaku di tempat. Lelaki itu hanya diam mengamati punggung Louren yang semakin mengecil dari pandangannya. Ia mengulum senyumnya seraya menatap sebungkus roti di tangannya.

***

Brak!

Jevan yang hendak meraih gagang pintu terperanjat saat pintu tersebut di buka dengan kasar. Beruntung ia memiliki refleks yang bagus dengan mundur beberapa langkah sebelum daun pintu itu menghantam dahinya.

"Oh, hai Jevan," sapa Ozi, pelaku yang membuka pintu dengan kasar.

Tersenyum kikuk seraya melirik sekitar, Jevan berpikir bagaimana caranya agar keluar dari situ. Sepertinya ia harus menelan kasar harapan bisa keluar mengingat tadi hanya dirinya yang berada di toilet. "Ya. Saya sudah selesai, bisakah kalian memberi jalan?"

"Kalau kita nggak mau?" Si lelaki yang memakai bandana di kepalanya berjalan mendekati Jevan. "Bentuk mata dan bibir lo unik. Kalau gue tambahin luka di bibir, gimana?"

"Daniel, saya harus kembali ke kelas."

"Minggir, gue mau masuk." Tanpa mendengar menghiraukan keempat temannya, Gaven masuk ke dalam salah satu bilik yang berada di paling ujung.

Ettan maju mendekat ke arah Jevan. Menelisik penampilan orang di depannya. "Lo memang nggak punya salah dengan gue, tapi semakin hari gue muak sama lo."

"Gue kasihan sama diri lo. Anak haram yang nggak pernah diharapkan kehadirannya." Daniel Melepas paksa seragam Jevan hingga kancingnya terlepas dan berserakan, menyisakan kaos putih yang masih melekat di tubuh Jevan.

"Daniel, untuk apa mengambil seragam saya? Tolong kembalikan," pinta Jevan. Saat hendak meraih seragamnya, Ozi terlebih dahulu mendorong tubuhnya ke dinding. Ia meringis pelan saat punggungnya yang belum membaik, kembali merasakan sakit.

Setelah mengoper baju seragam Jevan, Daniel memberi kode pada Arghi yang dibalas anggukan semangat oleh lelaki berwajah imut itu. "Setelah menjalani hukuman membersihkan area lapangan, seragam lo butuh dicuci bersih."

"Mau ngapain lo?" tanya Gaven yang baru saja keluar dari toilet. Ia merasa heran dengan tingkah Arghi yang menenteng baju seragam hendak masuk ke dalam bilik toet lainnya.

"Mau nyuci." Arghi tersenyum lebar. Tanpa menunggu respon Gaven lagi, ia masuk ke dalam toilet.

Jevan yang mulai sadar apa yang hendak dilakukan Arghi bergegas menyusul namun Ettan dan Daniel kembali menahannya. "Tolong jangan ambil seragam saya."

"Kenapa? Lo nggak punya uang untuk beli seragam?" Ozi mengejek. Ia sungguh menikmati raut sedih dan kecewa Jevan.

Kedua mata Jevan seakan hendak keluar saat mendengar bunyi kloset. Tak lama kemudian, Arghi keluar dari bilik toilet dengan tangan kosong. "Selesai. Baju lo pasti bersih."

Gaven menggeleng pelan. Teman-temannya tidak akan pernah berubah, pikirnya. "Ghi, klosetnya jadi mampet."

"Gampang, duit sekolah masih banyak. Untuk benahi kloset doang nggak bakal buat sekolah jadi miskin," celetuk Ozi seraya mengedikkan dagunya seolah memberi isyarat teman-temannya untuk hengkang dari situ.

Melangkahkan kakinya dengan lesu, Jevan hanya dapat meratapi baju seragamnya yang menyumbat saluran kloset. Untuk harga satu seragam saja setara dengan gaji mingguannya. Ia selalu mencuci dan menjaga baik-baik seragamnya sebab semua yang didapat adalah pemberian dari sekolah untuk anak beasiswa. Kini, dirinya harus bekerja keras lagi untuk dapat membeli seragam, sedangkan ayahnya selalu merampas gaji harian Jevan.

"Buat beli seragam." Gaven meraih tangan Jevan lantas memberi beberapa lembar uang berwarna merah. Tanpa menunggu jawaban dari Jevan, ia beranjak pergi.

***

Cogannya Oren nih.


Ikutan pakai kacamata seperti ayang Jevan😎

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.8M 75.2K 34
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
10.6M 675K 43
Otw terbit di Penerbit LovRinz, silahkan ditunggu. Part sudah tidak lengkap. ~Don't copy my story if you have brain~ CERITA INI HANYA FIKSI! JANGAN D...
296K 13.5K 18
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓡𝓲𝓼π“ͺ𝓷�...
3.4M 174K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...