"Mungkin sudah saatnya aku beritahu Putri... Kakak harap kamu kuat put." Gumam Fadil dalam hati.
Fadil menatap adiknya dengan mata berkaca-kaca, dia menggenggam erat tangan Putri.
"Maaf kalo kakak selama ini nyembunyiin ini dari kamu... tapi kakak lakuin ini karna kakak gak pengen kamu sedih put. Kakak harap kamu kuat nerima kenyataan ini... sebenarnya kamu terkena penyakit Ependymomas/kanker." Ucap Fadil dengan tangan yang masih menggenggam tangan mungil adiknya.
Seketika itu hati Putri seperti tertusuk beribu benda tajam, sakittt itu yang dirasakan Putri.
Putri tersenyum miris dengan mata yang berkaca-kaca. "Tidakkk... kakak bohong kan? Kakak mau ngerjain Putri ya kan?? Gak lucu tau kak bercandanya.." Ucap Putri tidak percaya sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Fadil.
Fadil menggelengkan kepalanya yang membuat air mata Putri jatuh. "Kakak gak bohong Put!" Kata itu berhasil membuat Putri menangis histeris.
"Gak... gak mungkin...hiks...hiks... Kak Fadil bohong!! Kakak bohong!!" Teriak Putri sambil melepas infusnya dengan paksa yang membuat tangan Putri berdarah.
Putri berlari keluar ruangannya, dia benar-benar hancur. Kenyataan itu membuatnya hancur, emosinya tak terkendali, bukan senyum yang hadir namun tangisan yang datang.
"Gak mungkin....hiks...hikss... kak Fadil bohong!!" Teriak Putri sambil berlari tak tentu arah.
Hesti keluar dari ruangan anak Sp. Kanker, tiba-tiba....
Bruukkk....
Hesti terjatuh karna ditabrak Putri yang tak terkendali emosinya.
Hesti kaget saat melihat siapa yang menabraknya sampai terjatuh.
"Putri?? Kenapa dia berlari?? Dia menangis?" Tanya Hesti dalam hati sambil melihat Putri yang mulai berlari gontai. Hesti berdiri dan membenarkan bajunya yang berantakan karna jatuh tadi.
Fadil melewati Lesti dengan berlari, mata Fadil masih tertuju pada sang adik.
"Lohhh kak Fadil juga..??" Gumam Hesti sambil memasang wajah bingung.
Hesti memutuskan untuk pulang karna pasiennya sudah ditanganinya.
Kaki Fadil berhenti berlari karna melihat sang adik yang sudah tak sadarkan diri.
"Putriii..." teriak Fadil dan membawa Putri ke UGD untuk segera ditangani.
Skip malam hari
Kost.an Hesti
Air mata Hesti jatuh, dia rindu pada Ayah Bundanya.
"Bunda... Ayahh... Hesti rindu kalian." Ucap Hesti sambil menatap kedua foto orang tuanya.
"Ya Allah... sampaikan rinduku pada mereka! Lindungi dimanapun mereka berada." Doa Hesti untuk kedua ortunya.
Hesti menangis sampai tertidur dengan tetap memeluk bingkai foto kedua ortunya.
Keesokkan harinya.
Hesti seperti biasa mengerjakan tugasnya sebagai seorang dokter, namun mulai hari ini dia dibantu Aulia (Assistent Dr.Sp. kanker) dan Rani (Dr. Sp. Anastesi) sedangkan Lutfi membantu Hesti hanya saat menangani Putri.
Di ruangan Hesti
Tokk...tokk...tokkk
"Masuk!!" Hesti sedikit teriak, dengan masih fokus pada tumpukan kertas yang ada di mejanya.
"Permisi... Dr. Hesti, sudah saatnya memeriksa pasien dokter." Ucap Aulia mengingatkan Hesti untuk memeriksa pasiennya.
"Ohh.. Dr. Aulia, iya sebentar saya bereskan berkas-berkas ini dulu." Jawab Hesti sambil membereskan berkas-berkas yang dipelajarinya tadi.
"Assalamualaikum semua!!" Teriak Rani yang membuat Aulia & Hesti kaget.
"Wa'alaikumussalam." Jawab Aulia & Hesti.
"Ran!! Jangan teriak-teriak ini itu rumah sakit tau!" Bisik Aulia pada Rani.
Aulia dan Rani sudah bersahabat cukup lama. Aulia yang lebih dulu bekerja di RS. Jaya Abadi dibandingkan Rani.
"Iya iya Aul." Jawab Rani.
"Yaudah yukk Hes!" Ajak Rani menarik tangan Hesti. Aulia yang melihat perlakuan Rani kaget.
"Ihh Rani!! Gak sopan banget panggil nama, panggil dokter dong!" Sahut Aulia sambil melepaskan tarikan Rani pada Hesti.
"Gak apa-apa kok Dr. Aulia, saya lebih suka dipanggil nama.... Dr. Aulia juga bisa panggil saya dengan sebutan nama saja." Jelas Hesti.
"Oohh gituu... yaudah deh kalo gitu gak usah ada yang manggil dokter diantara kita bertiga." Saran Aulia.
"Setuju." Sorak Rani, sedangkan Hesti hanya mengangguk.
Koridor R. Sp. Kanker
Hesti, Rani, dan Aulia membahas pasien yang akan mereka tangani.
"Jadi, untuk pasien hari ini kita ke ruang VVIP 220 dulu. Baru kita ke ruangan anak Sp. Kanker!" Jelas Hesti pada Rani & Aulia.
"Siaapp!!" Jawab Rani & Aulia serempak.
Saat sudah tiba di ruangan VVIP 220, tiba-tiba Hesti mendengar suara dari dalam ruangan. Saat Aulia hendak membuka pintu, Hesti mencegahnya.
"Tunggu Aul!" Cegah Hesti.
"Kenapa?" Tanya Aulia heran.
Hesti hanya meletakkan telunjuknya di bibir.
"Ayo dong Put makan!" Pinta Fadil pada Putri yang sedari tadi diam.
"Putri gak mau sembuh apa? Emang Putri mau sakit terus?" Ucap Fadil justru membuat Putri menangis.
Semenjak kejadian kemarin, setiap ada orang yang membahas tentang penyakitnya dia pasti menangis. Apa yang Fadil takutkan benar-benar terjadi. Fadil bingung harus berbuat apa agar adiknya bisa kembali.
Hesti mendengar percakapan Fadil dan Putri atau mungkin lebih tepatnya hanya Fadil yang berbicara.
"Hhmm... Aulia, Rani. Untuk pasien yang ini biar aku sama Lutfi aja yang nangani. Kalian langsung ke ruangan anak Sp. Kanker aja! Oh iya Ran, sebelum kamu ke ruangan anak Sp. Kanker. Kamu ke ruangan Lutfi dulu ya... suruh dia nyiapin alat CT scan." Jelas Hesti pada Aulia dan Rani.
"Loh kenapa Hes?" Tanya Aulia.
"Gak apa-apa. Nanti aku ceritain ok." Jawab Lesti.
"Beneran ya... yaudah kalo gitu kita duluan!" Pamit Aulia dan Rani yang dibalas anggukan oleh Hesti.
Di dalam Ruangan Putri.
Fadil mengusap wajahnya kasar, dia benar-benar menyesal kasih tau Putri tentang penyakitnya. Fadil bangkit dari duduknya dan beranjak untuk pergi, dia benar-benar tidak kuat melihat keadaan adiknya seperti ini. Saat Fadil ingin menutup pintu, tiba-tiba...
"Kak Fadil mau kemana?" Tanya Hesti pada Fadil yang sudah berada di luar ruangan Putri.
"Gue mau pergi bentar." Jawab Fadil sambil menghapus air mata yang tersisa di pipinya buru-buru, karna dia gak ingin Hesti tau kalo dia nangis.
"Jangan lama-lama kak? Putri butuh kakak..." Ucap terakhir Hesti membuat Fadil menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Butuh gue lo bilang?! Dia gak butuh gue... dia gak butuh gue di sampingnya. Daritadi gue bujuk dia buat makan, dia gak mau. Gue ajak dia ngobrol, dia diam aja. Jangankan ngomong, senyumpun tidak terlukis lagi di bibirnya (Fadil meneteskan air mata). Gue gak tahan liat dia kayak gini, gue mau adik gue yang dulu kembali Hes..." Ucap Fadil sampai terduduk di lantai.
Saat Hesti melihat Fadil seperti ini, hatinya teriris. Dia pernah berada di posisi Fadil, dia pernah merasakan apa yang Fadil rasakan. Hesti menghapus air matanya yang tiba-tiba jatuh, dia harus kuat.
"Berarti Putri sudah tau tentang penyakitnya." Ucap Hesti dalam hati.
Hesti menyamakan tubuhnya dengan Fadil yang terduduk di lantai. Tangan Hesti tergerak ragu memegang bahu Fadil, sontak Fadil mengangkat wajahnya memandang Hesti.
"Sekarang kak Fadil tenangin hati kak Fadil dulu! Hilangkan pikiran bahwa Putri gak butuh kakak! Putri hanya syok kak, dia butuh waktu untuk nerima ini semua. Hesti akan bantu kakak buat kembaliin Putri yang dulu." Ucap Hesti berusaha kuat. Fadil mengangguk dan pergi untuk menenangkan diri.