Jevandra

Por tatattalgi

6.6K 383 67

"Sebaik-baiknya kekuatan adalah saat kamu mencoba untuk tersenyum pada orang yang telah melukaimu." Ya, Jevan... Más

Tentang
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh

Sembilan

160 11 0
Por tatattalgi

Mantan, satu kata berjuta kenangan.

***

Gadis dengan rambut hitam legam terurai dan poni terkesan menggemaskan. Tak lupa dengan wajah yang terlihat bukan seperti anak SMA, membuatnya disukai banyak orang. Sifatnya juga sangat menggemaskan hingga membuat orang selalu berucap istigfar dan tak lupa mengurut dada sabar.

"Halo para pens Louren lopers. Rindu kan sama gue yang paling cantik sejagat raya? Iya lah, secara jodoh Bae Jinyoung cantik gini." Gadis itu mengibaskan rambutnya.

Seluruh atensi mengarah pada gadis yang berdiri di ambang pintu. Ekspresi congkak itu membuat sebagian murid yang berada di dalam kelas menatap jengah ke arah gadis itu, siapa lagi jika bukan Louren. Mau heran, tapi itu Louren!

"Ini nggak ada karpet merah? Minimal sorakan dan tepuk tangan deh," ujar Louren melipat kedua tangannya di depan dada.

"Udah Ren, buruan duduk. Sebelum gue emosi nih," ujar Litha, gadis yang cukup dekat akhir-akhir ini dengan Louren.

Louren mencibir. "Emosian dih." Ia melangkah menuju bangkunya seraya menyapa Jevan.

"Lo nggak depresot setiap hari kencan sama buku? Kali-kali gitu kencan sama gue."

Lelaki itu mendongak, menatap Louren diiringi senyum tipis. "Selama kegiatan ini membuat saya senang, kenapa harus merasa terbebani?"

"Lo rajin banget sih, tipe darah lo apa?"

Kening Jevan mengernyit bingung. Apa hubungannya? Menanggapi sifat random Louren terkadang membuatnya terlihat layaknya orang bodoh. "Kenapa tiba-tiba tanya tipe darah saya?"

"Cepat jawab, jangan banyak tanya," desak Louren.

"A."

"Coba tebak tipe gue."

"A?" Louren menggeleng pertanda salah.

"B?"

Lagi, gadis itu menggeleng. "Coba tebak lagi."

"O?"

"Selamat, jawaban anda kurang tepat."

Jevan menghela napas pelan. "AB?"

"Salah semua." Gadis itu terkekeh pelan melihat ekspresi tertekan dari Jevan. "Mau tau tipe gue, nggak?"

Lebih baik mengangguk saja daripada urusannya semakin panjang. "Apa?"

"Tipe gue tuh lo. Mau nggak jadi suami gue?"

Dug!

Louren meringis pelan saat sebuah tipe-ex mendarat sempurna di pelipisnya. Ia memungut benda kecil itu dan memeriksa. Tanpa bertanya, ia sudah tau siapa pelakunya. "Lo ngajak ribut pagi-pagi, Tha?"

"Gombalan lo basi. Gih sana belajar gombal sama Daniel," ujar Litha mengedikan dagunya ke arah Daniel.

"Gue diam aja Jevan udah jatuh cinta sama gue," bangganya.

"Cih, bangga. Cem Jevan mau sama lo."

"Orang julid besoknya mati."

Litha merotasikan kedua matanya jengah. Ia tak mengerti dengan jalan pikiran Louren. Menyukai Jevan? Baginya, Louren sangat kurang memahami kriteria para gadis di luaran sana. Jika mayoritas memiliki kriteria pasangan yang tampan dan disegani banyak orang, maka Louren memiliki kriteria pasangan yang rajin dan tidak banyak tingkah seperti Jevan. Tapi, itu semua kembali lagi pada diri sendiri.

"Jam pertama jamkos, bu Siti rapat! Tugas kerjakan halaman 256!" seruan itu datang dari wakil ketua kelas–Gaven– yang baru saja datang setelah mendapat panggilan dari guru matematika di kantor.

"Hai eperybady!" seru seseorang di samping Ayden.

"Udah masuk lo?" tanya Ozi seraya menaikkan sebelah kakinya ke atas meja.

"Belum, ini arwah gue yang keluar dari jasadnya," jawab orang itu ketus.

"Ettan, kurma sama air zamzam gue mana?" tanya Arghi.

Orang yang ditanya menatap bingung temannya. "Ghi, lo polos atau bodoh? Gue ke Belanda, bukan ke Mekkah."

"Suka heran gue sama otak bocil," timpal Daniel.

"Buruan duduk. Jangan lupa tugas matematika dikerjain, bukan malah tiktokan," titah Gaven sebelum beranjak menuju bangkunya.

Tanpa menjawab sepatah kata pun, Ettan menghampiri bangkunya. Keningnya bergelombang saat bangku miliknya di duduki orang lain. "Heh, minggir. Ini tempat gue."

"Lo pikir ini tempat nenek–"

"Oren?" Potong Ettan terkejut.

Mata Louren mengerjap pelan saat melihat sosok yang sangat familiar berdiri di sampingnya. Dadanya bergemuruh saat serpihan kenangan masa lalu kembali memenuhi pikirannya. Tidak! Ia tidak boleh terlihat lemah di depan orang itu. Louren kuat seperti papa Zola! Eh, abi Rama maksudnya.

"Louren, bukan Oren. Seenak jidat ganti nama gue," koreksinya.

"Lo ingat gue, kan?"

Gadis itu menelisik penampilan lelaki itu dari bawah hingga atas lantas mengangguk yakin. "Kayak nggak familiar di mata gue. Kamu siapa? Aku siapa?"

"Ren, jangan sampai bangku gue melayang ke wajah lo" timpal Ozi emosi.

"CUKUP MISKAH, CUKUP! APA SALAHKU?!" teriak Louren histeris.

Daniel yang sedari tadi menyimak, kini berdiri seraya memegang dadanya. "KAMU SELINGKUH, SUTI!"

Mendengar nama panggilan itu membuat Louren mendelik kesal. "Suti dengkulmu. Sekate-kate lo ye."

"Berisik," ujar Gaven jengah. Sedikit lega rasanya melihat Arghi yang tidak terkontaminasi virus jamet mereka.

"Istighfar gue," gumam Litha menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Lo pindah ke sini?" tanya Ettan tanpa memerdulikan apa yang baru saja terjadi. Ia masih terkejut saat Louren berada di kelasnya.

"Ha?"

"Nggak ingat sama gue?"

"Dih siapa lo? Anak Lucinta Luna, kan? Tapi, sejak kapan dia punya anak segede ini?"

Ettan mendelik kesal. "Sembarangan aja. Minggir ah, gue mau duduk."

"Di pojok kanan kelas ada kursi kosong. Gue mau duduk di sini aja."

"Oke, gue ngalah." Ettan melangkah ke arah satu bangku kosong di pojok kanan belakang kelas. "Demi mantan," gumamnya.

Gadis itu menye-menye tak jelas. "Untung gue udah nggak saya sama dia. Hati gue buat Bae Jinyoung seorang."

"Si Ettan mantan lo?" tanya Heera yang duduk tepat di depan Louren.

Louren memukul kepalanya dan berlagak seakan pingsan. Selang beberapa detik ia menegakan kembali badannya. "Ra, tiba-tiba gue amnesia. Gue siapa? Gue dimana? Lo siapa? Ettan siapa?"

"Gue tau lo gobloknya natural, tapi jangan kentara banget." Litha yang duduk di bangku samping Louren meringis malu. Louren yang bertingkah, ia yang merasa malu.

"Gue dimana?" Louren membalikkan tubuhnya. "Oh, hai. Lo pasti jodoh gue, kan?"

"Gini nih mengambil kesempatan dalam kesempitan."

"Komen ae lo cem netizen," ujar Louren bernada sewot pada Heera.

"Mantan, satu kata berjuta kenangan," gumam Louren.

Mengerucutkan bibirnya, Louren berpikir keras. Kegiatan apa yang harus ia kerjakan selama jam kosong berlangsung. Otak pintarnya sedang berpikir keras hingga akhirnya mendapatkan sebuah ide yang sangat cemerlang, baginya.

Berjalan dengan pasti ke depan kelas, Louren berdiri di depan kelas. "Daripada gabut, ambyar bareng yok!"

"Gas!!!"

"Yoklah."

"Mau lagu apa? Indo? Cina? Korea?" tanya Louren.

"Indo lah. Jawa, Ren."

Louren mengacungkan jempolnya. Ia merogoh saku rok seragamnya. Setelah mendapatkan ponsel, dicarinya lagu yang pas dengan suasana hati. "Udah dapat. Pasti kalian tau judul lagunya."

Sebagian murid menjawab dengan sorakan. Selebihnya memilih fokus pada tugas yang diberikan bu Siti melalui sang ketua kelas tadi, enggan mengikuti jejak stres Louren. Entah mengapa kelas semakin bertambah rusuh sejak hadirnya gadis itu. Sebagian murid XI–IPA 1 ingin memutilasi biang onar kelas itu, siapa lagi jika bukan Gradiola Flourenzya!

"MURTAD!" teriak Arghi semangat.

Ozi memukul kepala temannya itu. "Musik, bangsat."

"Eh iya." Argi menyengir kuda.

Gaven menggeleng pelan. Miris sekali otak teman-temannya. "Otak kalian meragukan, pantas aja pada gila."

"Nggak papa gila, yang penting bahagia," celetuk Louren disambut sorakan setuju.

"Udah diem. Kapan mulainya kalau kalian debat," lerai Arghi. "SIJI, DUA, THREE!"

"APA KABAR WONG SING TAU TAK SAYANG," nyanyi Louren seraya melirik ke arah Ettan.

"APA KABAR WONG SING TAU TAK GAWE NYAMAN," jawab sebagian murid XI–IPA 1.

Louren menjadikan ponselnya sebagai mic. Ekspresinya dibuat sesedih mungkin. "SUSAH SENENG JANJINE BEBARENGAN."

Ia mengarahkan ponsel ke arah teman-temannya agar bernyanyi bersama. "NING AKHIRE KOWE LUNGO NINGGAL KENANGAN."

"Atiku–”

"Kamu ngapain di sana? Mau jadi biduan?"

Louren menoleh ke arah suara. Di ambang pintu, bu Siti berkacang pinggang. Wanita yang sudah tak lagi muda menggeleng tak percaya dengan kelakuan muridnya. Ini pertemuan ketiga dengan Louren di pelajaran matematika, namun ia tak pernah melihat sedikitpun sikap kalem gadis itu.

Bukannya takut dengan wajah galak gurunya, Louren menggaruk tengkuknya diiringi senyuman lebar. "Daripada stres mikir tugas matematika, lebih baik ambyar bersama Louren, Bu."

Bu Siti menatap sinis kearah muridnya. "Saya tidak masalah jika kamu melakukan apapun, asalkan sudah menyelesaikan tugas. Tugas matematika yang saya titipkan pada Gaven, sudah kamu kerjakan?"

"Saya mau tanya nih, Bu." Louren mematikan musiknya terlebih dahulu  "Mengerjakan tugas matematika tujuannya untuk apa, Bu?"

"Ya mencari jawaban lah," jawab Bu Siti sewot.

"NAH!" Teriakan Louren membuat bu Siti dan seisi kelas terlonjak kaget. "Untuk apa mencari jawaban matematika? Jangan minta dicariin mulu, ntar makin manja," ujarnya tak nyambung.

"Mencari f dan x sulitnya ngalahin cari jodoh, Bu," timpal Ettan.

Bu Siti menggeleng pelan, heran dengan sebagian muridnya. Biasanya, XI–IPA 1 berisikan manusia jenius yang setiap harinya memegang buku kemanapun pergi. Berbeda dengan kelas ini, siswa paling pintar bercampur dengan siswa pembuat onar. Tujuan kepala sekolah bagus, semua dirancang untuk membuat murid pembuat keributan menjadi lebih mudah dikendalikan karena ruang lingkup kelas yang berisikan manusia berotak jenius. Namun, ah... sudahlah!

"Kembali ke tempat dudukmu!" perintah bu Siti. Wanita itu mengalihkan atensinya pada Ayden. "Jaga kelas ini agar tetap tenang. Usahakan tidak ada yang membolos. Ibu ada rapat, permisi semua."

"Lah, buat apa tadi manggil Gaven ke kantor kalau dia sendiri datang kelas?" Daniel menatap bingung bu Siti yang baru saja menutup pintu kelas.

"Biasa tuh, caper ke Ayden sama Gaven. Suka nggak ingat umur," timpal Ettan dari tempatnya. Memang benar jika mayoritas guru perempuan menyukai Ayden dan Gaven yang menjabat sebagai ketua dan wakil ketua di kelas.

"Ren, jadi kalem hari ini. Teman gue jadi ikutan gila karena ada lo," ujar Gaven jujur.

Mata Louren memicing seraya mendudukkan dirinya. "Ngatur? Abi gue aja nggak pernah ngeluh sama kekaleman gue yang kelewat batas."

"Iyain biar cepat. Heran gue sama mulut dia yang nggak pernah bisa diam." Ozi bersuara.

"Ngajak ribut lo? Maju sini, gue mundur."

"Louren."

Menggigit bibir bawahnya saat suara Jevan terdengar sangat sopan di telinganya. "Iya, gue diam."

"Bucin," cibir Litha.

"Nggak masalah bucin, yang penting orangnya nyata. Lah, lo? Bucin sama yang virual." Skakmat! Itu bukan tanggapan Louren, melainkan Heera. Gadis itu mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya (✌) saat tatapan tajam Litha melayang ke arahnya. "Damai Bu bos."

Louren tertawa pelan. "Kicep kan lo, Tha."

"Gue tandain muka lo berdua," desis Litha menatap kedua temannya penuh permusuhan.

Semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Siswa pintar sudah pasti sibuk memecahkan soal matematika. Selebihnya? Ada yang bermain game online ; bermain kartu di belakang kelas ; tidur ; memainkan gitar dan bernyanyi bersama ; bergosip ; berselfie, dan masih banyak lagi. Sedangkan Louren, ia menyenderkan punggungnya pada dinding sebelah seraya menatap Jevan yang sibuk dengan coretan rumus di buku.

"Kenapa nggak ngerjain?"

Louren bergeming. Ia terlalu sibuk menatap wajah Jevan. Lo sebenarnya gantengnya kelewatan. Awal ketemu, gue jatuh cinta sama mata lo. Mungkin sedikit lebih memerhatikan penampilan, pasti lo jadi bahan rebutan cewek.

Sedetik setelah membatin kalimat itu, Louren menggeleng rakus. Nggak! Jangan sampai jadi bahan rebutan cewek. Gue nggak masalah dengan apapun yang ada pada diri dia, asalkan untuk gue. Ya Tuhan jodohkanlah Louren dengan Jevan. Jika tidak berjodoh, maka jodohkanlah dengan lelaki di depan wajah Louren ini. Kalau masih nggak berjodoh, kebangetan banget huwaaa.

Louren tak mengerti dengan dirinya yang terkesan memaksa untuk berjodoh dengan Jevan. Hey, ia saja belum lulus sekolah dan dengan mudahnya berdoa agar lelaki itu menjadi jodohnya. Tangan Louren bergerak memukul kepalanya sendiri.

"Louren? Kamu sakit?" tanya Jevan diselingi nada khawatir.

"Hah?" Louren mengerjap pelan saat Jevan mengguncang bahunya. "Kenapa? Butuh sesuatu?"

Jevan menggeleng. "Kamu kenapa mukul kepala? Ada yang sakit?"

"Ah, nggak kok. Gue mah lagi mikir makanan kantin, hehe."

"Saya sudah selesai. Mau saya ajarkan caranya?" tawarnya.

Dengan gesit, Louren mengangguk antusias seraya meraih buku dan bolpoin lantas diletakkannya di meja Jevan. "Ajarin ya, cogannya Oren."

Lelaki itu tersenyum tipis. Dengan sabar ia memberikan rumus dan cara penyelesaian soal. Louren terlihat bersemangat mengerjakan meski tak jarang hasil hitungannya salah. Namun Jevan akui antusias gadis itu patut diacungi jempol.

Tanpa mereka sadari, dua orang menatap Jevan penuh dengan kebencian. Merapalkan segala sumpah serapah saat melihat keakraban Jevan dengan Louren. Sementara itu, seseorang memerhatikan gerak-gerik kedua orang tersebut. Seringaian muncul saat membayangkan jika Jevan akan kembali tersiksa di SMA Cendrawasih. Selamat datang kembali di neraka dunia, Jevandra.

***

Seguir leyendo

También te gustarán

1.1M 44.2K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
2.7M 133K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
4.1M 317K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
291K 13.3K 18
Level tertinggi dalam cinta adalah ketika kamu melihat seseorang dengan keadaan terburuknya dan tetap memutuskan untuk mencintainya. -𝓽𝓾𝓵𝓲𝓼𝓪𝓷�...