Jevandra

By tatattalgi

6.6K 383 67

"Sebaik-baiknya kekuatan adalah saat kamu mencoba untuk tersenyum pada orang yang telah melukaimu." Ya, Jevan... More

Tentang
Satu
Dua
Tiga
Empat
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh

Lima

175 11 0
By tatattalgi

Ketika rasa sakit kembali membelenggu, kalimat "semua akan baik-baik" selalu menjadi penenang.

***

Manusia dapat mencatat dengan rapi rencana untuk kedepannya meskipun takdir mencatat sebaliknya. Disaat rencana yang ditulis dengan sejuta harapan tidak terlaksana, ia akan akan menangis dan tak terima dengan kenyataan yang harus dihadapinya. Singkatnya adalah hancur. Lupa bahwa dirinya hanyalah pemeran disetiap skenario yang Tuhan tulis. Bukan penulis skenario!

Terlepas dari kesedihan yang membelenggu saat kenyataan tak sesuai dengan rencana yang ditulis, manusia tak akan bisa mengelak bahwa skenario Tuhan sangatlah indah. Meskipun nantinya akan berakhir dengan tangis ataukah bahagia.

Jevan tak bisa menampiknya. Semua yang terjadi padanya, ia yakin bahwa pada akhirnya Tuhan pasti memberi kebahagiaan untuknya. Kejutan dari Sang Maha Pencipta memang tak pernah main-main. Setelah penderitaan yang dilaluinya, kebahagiaan akan menyambutnya.

"JEVAN!"

Manik hitam itu mengerjap pelan. Menarik kembali kesadarannya yang sedari tadi terlarut dalam lamunan. Tak menunggu lama, ia beranjak masuk kedalam rumah. Kakinya terus melangkah mencari sumber suara.

"Kenapa, Yah?" tanyanya ketika mendapati Yudha berada di dapur.

"Kamu masak tumis kangkung lagi?" sinis ayahnya.

Jevan mengangguk mantap. "Iya, Yah. Memang hanya itu yang ada di kulkas. Ada bahan-bahan membuat sup, tapi itu untuk besok. Jevan belum mendapatkan gaji, untuk sementara waktu kita makan seadanya."

"Setelah gajian nanti, Jevan janji akan masak makanan kesukaan Ayah," lanjutnya berusaha meyakinkan ayahnya.

Yudha berjalan mendekati Jevan. Menendang tulang kering sang anak hingga membuat sang empunya terjatuh sebab tak siap mendapatkan 'hadiah' malam ini.

Ringisan pelan tak membuat pria paruh baya itu mengentikan aksi penyiksaan pada Jevan. Tak hanya tulang kering yang menjadi sasaran utamanya, namun juga bogeman di wajah dan tendangan diperut. Matanya menggelap, tak peduli jika putranya akan sekarat.

"Dimana kamu menyimpan uang?" tanya Yudha. Ia menegakkan badannya, menatap datar Jevan yang meringkuk kesakitan di atas dinginnya lantai.

"Je... Jevan belum ga...jian, Yah," jawabnya terbata seraya menahan sakit di sudut bibirnya.

Tak puas dengan jawaban yang didapatnya, Yudha berjalan meraih sapu yang terletak tak jauh darinya. Gagang sapu tersebut ia gunakan sebagai alat pelampiasan kemarahannya. Ia memukuli Jevan tanpa ampun, tak peduli dengan ringisan serta ucapan maaf yang dilontarkan padanya.

"Sejak kapan kamu berani berbohong dan membantah saya?" Kini pukulannya beralih pada paha. "Seharusnya kamu tahu diri. Dulu saya yang membiayai hidupmu, sekarang sudah menjadi tugasmu untuk menggantikan peran saya mencari nafkah!"

"Ayah, ma...maaf," lirih Jevan. Hanya kalimat itu yang dapat ia ucapkan. Menghindari pukulan sang ayah pun tidak mungkin.

"Besok dapatkan uang yang banyak!" Sapu tersebut dihempaskan begitu saja. "Ingat! Saya berbaik hati menampung anak haram seperti kamu, setidaknya berikan semua uangmu sebagai bentuk balas budi atas kebaikan yang selama ini saya berikan!"

Puas dengan apa yang dilakukannya hingga membuat korban meringkuk kesakitan, Yudha beranjak pergi keluar rumah. Langkahnya terhenti tak jauh dari Jevan, menoleh ke arah anaknya yang sibuk bangun dengan menahan sakit di sekujur tubuhnya. Dadanya terasa nyeri diiringi dengan matanya yang memanas, bagaimanapun ia memiliki rasa iba walau sedikit. Namun, kebencian pada seseorang berhasil membuatnya memiliki sikap kasar seperti ini. Ia menggeleng pelan dan segera hengkang dari situ.

Sementara Jevan, sekuat tenaga menahan rasa sakit disekujur tubuhnya. Berjalan tertatih menuju kamarnya lantas membaringkan tubuhnya. Berusaha keras menutup matanya untuk mengalihkan rasa sakit tubuhnya yang selalu mendapatkan kekerasan dari Yudha.

"Ayah pasti lelah," gumamnya. Ia masih berpikir positif bahwa Yudha marah karena terlalu lelah.

Ingatannya kembali terlempar pada masa kecilnya, penuh dengan limpahan kasih sayang dari kedua orang tuanya serta tawa Jevan kecil yang selalu mengudara disetiap sudut rumahnya ini. Bagaimana perhatian dari bundanya dan usapan lembut di kepala yang selalu ayahnya lakukan saat pulang bekerja, semua itu masih terekam jelas dalam ingatannya. Hidupnya dulu penuh akan kebahagiaan meski harus bernaung di bawah atap sederhana.

Tak peduli kerasnya dunia diluar sana, karena Jevan kecil yakin bahwa ayah dan bundanya selalu bersama untuk melindunginya dari kehidupan luar yang teramat kejam. Ia percaya bahwa sosok pahlawannya akan selalu menguatkan dirinya dan sosok bidadari dalam hidupnya akan memberi kasih sayang melimpah jika suatu saat dunia akan menjauhinya.

Namun, pikiran itu menguap pada saat bundanya meninggalkan dirinya bersama sang ayah. Memilih pergi bersama laki-laki lain yang dapat memenuhi kebutuhan hidup sang bunda. Rumor itu cepat menyebar. Salah satu sisi negatif tinggal di lingkungan padat penduduk, semua permasalahan keluarga akan terdengar dari rumah sebelah dan merambat hingga satu kampung.

Sejak saat itu, cibiran hingga hinaan selalu Jevan dapatkan dari banyak orang. Ntah darimana asalnya, berita bahwa Jevan lahir dari hasil bundanya menjual diri menyebar hingga seantero sekolah. Menjadi bahan gosip ibu-ibu yang sedang menjemput anak mereka dan ia harus menerima kenyataan bahwa gelar 'anak haram' yang diberikan teman-temannya selalu berhasil membuatnya menahan rasa sakit hati.

Tak hanya itu, Yudha yang ia sebut pahlawan tak lagi menganggap keberadaannya. Mengonsumsi minuman beralkohol dan judi sudah menjadi kegiatan rutin. Bukannya mendapatkan kasih sayang yang tulus, Jevan kecil menjadi bahan pelampiasan ayahnya.

Namun, tidak ada sedikit rasa benci pada diri Jevan mengingat kebaikan sang Yudha yang mengijinkannya tinggal di rumah meskipun dengan syarat harus bekerja setelah pulang sekolah. Mengumpulkan uang hasil berjualan minuman ataupun koran agar dapat membayar uang sekolahnya.

"Bunda, Jevan rindu. Kembalilah," lirihnya sebelum menutup kedua matanya, mengistirahatkan badannya yang terlalu lelah bekerja seharian.

***

Benturan antara satu benda dan benda lainnya menimbulkan suara yang keras. Sejak sehabis melaksanan ibadah subuh tadi, Jevan bergelut dengan segala perabotan di dapur. Sudah biasa baginya membereskan rumah dan menyiapkan makanan.

Tangannya dengan lihai mencampurkan bumbu yang dibutuhkan ke dalam panci berisi beberapa macam potongan sayur. Jevan mengambil sedikit kuah lantas meletakkannya di telapak tangan, mencicipi rasa dari kuah sayur yang dibuatnya.

"Semoga ayah suka," gumamnya.

Selang beberapa menit, semangkuk sup terhidang di atas meja. Jevan menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk lengkungan senyum manis. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar untuk mengambil seragam sekolahnya dan segera mandi.

"Jevan!"

Teriakan itu sudah biasa baginya. Ayahnya selalu memanggilnya di kala butuh bantuan. Ia terlalu senang jika sang ayah selalu bergantung pada dirinya. Tidak! Jevan tak pernah mengeluh saat Yudha meminta ini itu kepadanya. Justru Laki-laki remaja itu berpikir bahwa ini adalah tugasnya.

Meletakkan pakaian rumahnya di keranjang samping kamar mandi, Jevan berjalan masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang yang terhubung langsung dengan dapur dan meja makan. Senyumnya kembali terbit tatkala Yudha duduk di kursi meja makan.

"Maaf, Yah. Jevan baru selesai mandi," ujarnya lembut seraya menatap wajah ayahnya yang semakin termakan usia. "Ayah butuh sesuatu?"

"Buatkan saya kopi," perintahnya. Yudha membuang muka saat tak sengaja menatap wajah Jevan yang selalu menampilkan senyum manisnya.

Jevan mengangguk. Dengan cekatan, ia membuatkan secangkir kopi untuk ayahnya. Bahkan, Yudha yang melihat itu dibuat tertegun dengan semangat Jevan meski hanya melakukan pekerjaan yang dirasa cukup mudah. Namun, pria paruh baya itu menepis segala perasaan yang selalu bertolak dengan pikirannya.

"Sialan!" umpat Yudha.

Terlalu semangat sebab mendapati ayahnya berada di rumah, secangkir kopi yang hendak ia letakkan di atas meja bergetar lantas tumpah membasahi pakaian ayahnya. Tangan Jevan juga terkena tumpahan tersebut hingga membuatnya meringis dan segera meletakkan cangkir itu di meja. Tak menunggu waktu lama, ia meraih lap yang masih bersih lantas membersihkan noda kopi yang mengotori kemeja ayahnya.

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun lagi, Yudha bangkit dan berjalan meninggalkan dapur untuk mengganti pakaiannya. Jevan hanya dapat memandang sendu punggung ayahnya seraya tersenyum miris memikirkan apa yang terjadi setelah ini.

Dugaan itu benar! Yudha tak akan pernah lupa untuk kembali seraya membawa benda ditangannya saat Jevan melakukan kesalahan, sekecil apapun itu kesalahan yang dibuatnya. Pria paruh baya itu terlihat selesai mengganti pakaiannya, di tangannya terdapat tongkat golf.

"Yah," panggilnya dengan suara kecil.

Yudha mengedikkan dagunya ke arah seragam Jevan. "Bersimpuh dan lepas bajumu."

"Tapi-"

"Jangan membantah!"

Mau tak mau, Jevan menuruti semua perintah ayahnya. Ia menggigit kuat pipi dalamnya tatkala berulang kali tongkat tersebut menyentuh punggung dan lengannya dengan keras. Tak hanya itu, pukulan telak ia dapatkan di rahang hingga mengenai sudut bibirnya. Terakhir, tendangan keras di perutnya terasa sangat menyakitkan.

"Kamu tidak pernah becus dalam bekerja, Jevandra. Lebih baik kamu mati daripada menjadi manusia tidak berguna," tukasnya.

Yudha membuang tongkat golf ke sudut ruangan. Menarik napas dalam, lalu menghembuskan kasar. "Seharusnya kamu tidak pernah dilahirkan di dunia ini!"

Seringkali ia berusaha tak membuat ayahnya mengeluarkan kalimat menyakitkan itu dengan cara menerima semua perlakuan kasar terhadapnya. Namun, tetap saja kalimat terkutuk itu kembali terdengar setelah sekian lama tak terlontar dari bibir ayahnya sendiri. Sakit? Tentu saja.

"Ayah, tarik kembali ucapan ayah," ujarnya lirih.

Yudha terkekeh sinis. "Saya tidak peduli. Apa yang saya ucapkan memang benar adanya. Kamu hanyalah seonggok sampah yang masih disimpan untuk membantu perekonomian saya."

"Nanti malam tidur di luar. Anggap saja itu sebagai hukumanmu!"

Memilih hengkang dari situ tanpa menyentuh sedikitpun masakan Jevan. Dinginnya lantai tak membuat remaja itu bangun, ia menatap kosong arah depan. Mengingat semua kata demi kata yang terlontar dari bibir Yudha. Jevan tersenyum getir sembari memungut seragamnya.

"Bunda, kapan kembali? Ayah dan Jevan sangat membutuhkan bunda. Jevan rindu, bun," lirihnya sebelum kembali masuk ke kamar mandi untuk merapikan penampilannya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

841K 102K 13
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
4.1M 318K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
1.1M 44.7K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
539K 58.2K 23
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...