Jevandra

By tatattalgi

6.6K 383 67

"Sebaik-baiknya kekuatan adalah saat kamu mencoba untuk tersenyum pada orang yang telah melukaimu." Ya, Jevan... More

Tentang
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Satu
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh

Satu

601 27 1
By tatattalgi

Sebaik-baiknya kekuatan adalah saat kamu mencoba untuk tersenyum pada orang yang telah melukai dirimu.

***

Teriknya matahari yang seakan membakar kulit tak membuat kerumunan di lapangan basket membubarkan diri. Suasana semakin panas diiringi dengan teriakan yang memekakkan telinga.

Seorang gadis dengan rambut hitam legamnya yang terikat seperti ekor kuda itu terheran di tempat. Kedua alisnya menukik menambah kesan kepo. Jangan salah, setiap pagi dirinya selalu ikut bergosip bersama ibu-ibu yang berbelanja sayuran di kompleknya. Mencari tahu masalah apa yang terjadi disekitarnya bukanlah hal yang sulit baginya.

"Weh kembaran bebek montok, astaghfirullah khilaf." Ia memukul pelan bibirnya yang mudah sekali mengucapkan kata kasar. "Say, itu ada apaan? Bazar kaos kaki sepuluh ribu tiga?"

Alih-alih menjawab, siswa dengan seragam rapi dan sedikit berperilaku layaknya perempuan itu menelisik penampilan lawan bicaranya. "Lo murid baru?"

"Ditanya malah balik tanya, ngajak kawin?"

"Ada yang berantem."

"Lah, main pergi aja tuh bebek binal. Nggak mau ngajak cecan kenalan apa ya? Tapi ngeri juga kalau gue kenalan sama dia," ujarnya seraya menatap punggung siswa itu yang hilang di balik pintu perpustakaan.

"Ikutan ribut ah."

Gadis itu berlari membelah kerumunan. Mengabaikan decakan sebal dari banyak orang ketika tubuh mereka terdorong olehnya. Semangatnya berkobar sebab ia yakin bahwa perjuangannya membelah kerumunan manusia pasti berhasil.

"Eh, dua cogan ribut nih," gumamnya pelan.

Seorang lelaki dengan banyak luka terjerembab usai mendapat bogeman dari lawannya. Ia yakin jika bogeman itu bukan hanya sekali, melihat banyaknya luka memar hampir memenuhi wajahnya dan juga darah di sudut bibirnya.

Perlahan ia melangkah hingga berada di tengah-tengah kerumunan. "Anjege, berasa jadi artis kondang gue dah dikerumuni gini. Btw, daripada berantem panas-panas gini, kuy nyanyi bareng."

"Satu, dua, tiga."

"Mengingat tujuan hidupku. Ku kuat karena makan pentol. Pentol adalah penyemangatku. Karena akulah Queen Pentol."

Gadis itu asik berjoget ria layaknya sedang mengadakan konser solonya yang dihadiri banyak penggemar. Sungguh, urat malunya sudah putus.

"Pentol ayam, bikin tenteram. Pentol puyuh, gampang ngguyu. Pentol kasar, bikin aku sabar. Pentol sapi, bikin aku happy."

"WALAU BANYAK YANG BULLY
'KU TAK PEDULI KARENA 'KU QUEEN PENTOL."

"YOK SEMUANYA KITA BERGOYANG!" teriak gadis itu heboh dengan kegiatannya sendiri.

"Ada apa ini?" Kerumunan tadi menoleh ke asal suara saat asik menyaksikan tingkah absurd gadis itu.

"Hey, kamu murid baru, kan? Ngapain di situ?"

Terkekeh pelan, ia menuruti perintah guru berkepala botak yang persis dengan lagu yang baru ia nyanyikan. Tepukan pelan di dahinya membuat segala atensi kembali beralih padanya.

"Gue lupa kalau harus bantu orang," ujarnya diiringi kekehan. Tangannya terulur ke bawah. Manik matanya bertubrukan dengan manik hitam pekat lelaki itu. "Ayo berdiri. Kata mama, cowok nggak boleh lemah."

Lelaki itu segera berdiri dengan bantuan gadis di sampingnya. "Terima kasih, tapi bolehkah melepas tangan saya?"

"Lupa, bos." Gadis itu segera menuruti permintaan lawannya.

"Kalian bertiga ikut ke ruangan saya, sekarang," final guru itu.

"Astaghfirullah, Pak. Saya belum masuk kelas baru loh, ya kali masuk ke ruang BK. Cariin kelas dulu atuh, Pak," pinta gadis itu.

Guru itu menghela napas pelan. "Ikut ke ruang BK, lagipula kamu tidak memakai seragam yang sudah ditentukan sekolah."

"Aye-aye kaptain," balasnya seraya memberi hormat kepada guru tersebut. "Kuy lah ikut bapak pentol."

***

"Bisa jelaskan, apa yang terjadi?"

Di sinilah mereka sekarang, ruang langganan untuk anak-anak yang mempunyai masalah. Semua murid SMA Cendrawasih menyebutnya sebagai ruangan terkutuk. Bahkan ruangan ini sepertinya memiliki sabda yaitu, "Barang siapa yang masuk ke ruang BK Cendrawasih, niscaya kamu merasakan hawa panas yang akan menguar diikuti dengan cahaya illahi yang berasal dari pak Omar dan sulit bagimu untuk keluar dari ruangan yang terkutuk itu."

Mari kita lihat, siapakah yang akan kuat berada di ruangan ini.

"Jangan diingat lagi masalah yang sudah berlalu, pak. Jadikan itu pelajaran di hidup kita," jawab gadis itu ketika dirasa kedua lelaki di kedua sisinya tak kunjung membuka suara.

"Saya belum bertanya kepada kamu," sinis pak Omar. "Jam berapa ini?"

Mata gadis itu melirik ke arah jam dinding. "Jam setengah sebelas, Pak."

"Ini bukan sekolah nenek moyangmu. Pantaskah datang di saat siang seperti ini?"

"Kata abi, lebih baik terlambat sekolah daripada tidak masuk sekolah."

Mengelus dada lantas menghela napas pelan, pak Omar mencoba lebih bersabar lagi. "Kenapa tidak memakai seragam SMA Cendrawasih?"

"Karena pakai seragam ini, karena itu nggak pakai seragam SMA Cendrawasih. Bapak gimana sih," jawabnya sewot.

"Murid baru pun harus pakai seragam almamater SMA Cendrawasih. Siapa nama kamu?"

Gadis itu mengerjapkan matanya pelan. Ia menggaruk pangkal hidungnya yang tak gatal. "Bentar, Pak, saya lupa."

"Gradiola Flourenzya, biasa dipanggil Louren. Bener gak, Pak?"

"Ya mana saya tau. Nama kok susah banget pengucapannya."

"Yeee, lidah Bapak tuh yang norak," balasnya.

Pak Omar  menatap penuh permusuhan ke arah siswi barunya itu. "Nama kamu aja yang terlalu susah."

"Lidah Bapak aja yang norak."

Pak Omar menghembuskan napasnya pelan. "Sudah diam. Sekarang saya tanya, jawab jujur-"

"Oke, aku jujur. Jujur aku suka sama bapakmu," potong Loren.

Brak

"Allahu, terkejot akoh terheran-heran. Kata cimoy, kita harus santuy, Pak."

"Diam kamu! Saya sedang bertanya dengan kedua siswa yang berada di samping kamu. Nanti kamu punya giliran sendiri."

"Ashiap."

"Bisa dijelaskan, Jevan dan Ayden?"

"Jadi cogan yang gue tolong namanya Jevan. Tapi dua-duanya cogan sih," gumam Loren mengangguk pelan. "List cogan gue bertambah. Kali ini cogan dari lokal."

"Ih si Bapak kepo bener. Urusan mereka jangan ikut campur, Pak. Bapak punya masalah sama isteri aja mereka nggak ikut campur." Lagi dan lagi mulut itu kembali membuka suara tanpa disuruh.

Pak Omar memijit pelan pelipisnya. Murid baru dihadapannya ini sungguh membuat darah tinggi. Mulut bak petasan banting itu terlalu memekakkan telinga.

"Gak ada masalah yang serius," ujar seorang lelaki dengan wajah yang tidak ada luka lebam sedikitpun. Louren menebak jika lelaki satu ini bernama Ayden.

"Ya sudah, kalian bertiga boleh keluar. Dan untuk kamu." Pak Omar menunjuk gadis di depannya. "Besok pakai seragam yang sudah ditentukan pihak sekolah."

Mendelik kesal, gadis cantik itu melipat lengan seragamnya layaknya orang hendak adu kekuatan. "Bapak emang ngajak ribut ye. Ini si Jevan babak belur, kenapa nggak dibela? Minimal disuruh ke UKS gitu."

"Segera keluar, bisa stres saya melihat murid baru ini," usirnya.

Louren mencibir. "Padahal kita belum gelut, Pak. Masih pemanasan udah nyerah."

"Ayo keluar." Ia menarik tangan Jevan hingga membuat lelaki itu berdiri paksa. "Kita pamit, wassalamu'alaikum aki-aki bau tanah."

"LOUREN!"

"GAK JAWAB SALAM, PANTATNYA BISULAN. NTAR KEPALA BAPAK GAK BAKALAN TUMBUH RAMBUT!" balas Louren dari luar tak kalah kesal dengan guru berkepala pentol itu yang sepertinya pilih kasih terhadap murid.

Lihat! Jika biasanya banyak murid yang tak bisa berlama-lama di ruang terkutuk itu, maka Louren sangat senang. Bahkan dengan kurang ajarnya mengajak guru bertengkar dengannya. Bahkan, diam-diam Jevan sedikit tercengang dengan gadis unik yang sepertinya tak pernah mengenal lelah dalam berbicara.

"Lo tuh kenapa gak membela diri sih?"

"Mungkin Ayden yang akan menjelaskan semuanya pada pak Omar," jawab Jevan diiringi senyum tipis.

"Tapi kalau Ay-An-Deng-Den, Dendeng itu bicara yang nggak-nggak, gimana?"

"Ayden," ucap Jevan membenarkan. "Saya yakin jika dia jujur."

"Naif lo, dasar manusia."

Masih dengan perasaan kesal, Louren berjalan seraya menghentak-hentakkan kakinya. Sedetik kemudian ia teringat sesuatu hingga membuat langkahnya terhenti. Kepalanya menoleh ke belakang, takut jika yang dirinya gandeng kali ini adalah makhluk halus sebab lelaki itu tak berbicara apapun jika tidak ditanya.

"UKS di mana?"

Kening Jevan bergelombang. "Ngapain ke UKS?"

"Mau jualan pentol, ya ngobatin lo lah."

"Nggak perlu, saya bisa sendiri. Lebih baik kamu masuk kelas aja. Lagipun, UKS pasti masih di kunci," terangnya.

Louren berdecak sebal. Pandangannya mengarah ke atas, otak cantik penuh banyak ide itu masih terus berpikir. Tak lama kemudian, senyumannya merekah diiringi dengan jentikan jari.

"Mari membolos!" serunya.

Jevan membelalakkan matanya. Sontak genggaman tangannya terlepas. Gelengan rakus ia berikan sebagai bentuk penolakan. "Jangan. Lebih baik kita masuk kelas. Kamu murid baru, kan?"

"Sayangnya, lo nggak diberi kesempatan untuk protes. Ayo, gue tau jalan buat bolos. Menjalankan ajaran abang gue yang dulu alumni sini." Louren menarik paksa tangan Jevan agar ikut bersamanya.

***

Senyum tipis terbit saat tangannya menyentuh sebuah plester bergambar dinosaurus melekat sempurna di dagunya. Luka di dagu ia dapatkan saat mendapat tendangan pada bagian punggung hingga membuatnya jatuh tersungkur.

Ia mengingat dengan jelas ketika jari lentik itu membersihkan lukanya diiringi dengan omelan yang tidak ada habisnya, membuat suasana semakin menghangat.

"Lo tuh seharusnya lawan. Masa diem doang sih. Jadi cowok itu harus kuat ngadepin spesies setan kea si dendeng."

Louren masih sibuk membersihkan luka noda darah di sudut bibirnya. Ia sengaja menekan luka yang mungkin cukup parah dibandingkan dengan luka di bagian lainnya. Sungguh, ia kesal dengan Ayden yang semena-mena pada manusia. Eh, bukankah Ayden juga manusia? Ah, sudahlah.

"Heh, nangis dong. Masa nggak sakit sih?" Ia bergidik ngeri membayangkan jika dirinya yang diperlakukan seperti itu. Menyudahi kegiatannya, Louren sibuk merogoh tas sekolahnya mencari sesuatu.

Jevan tersenyum tipis menanggapi ucapan gadis di depannya. "Kata ayah saya, laki-laki nggak boleh cengeng untuk hal seperti ini."

"Ya kan kata bapak lo. Kalau sakit banget ya tinggal nangis aja, jangan di pendam." Louren meraih plester bergambar dinosaurus lantas menatap serius luka di bagian dagu Jevan. "Gue kasih plester ini gak papa, kan?"

"Nggak masalah." Lelaki itu termenung, memikirkan ucapan Louren yang sedikit membekas di pikiran dan hatinya. "Eum, Louren. Kalau kita merasa lelah dan sakit, itu artinya kita boleh menangis?"

Gadis itu memberhentikan kegiatannya membersihkan luka. "Teriak pun boleh. Biasanya kalau gue lagi sebel sama mama, gue pergi ke sini buat teriak. Setelah itu, hilang deh kekesalan gue."

Jevan mengangguk pelan. "Terima kasih telah membantu saya hari ini dan maaf karena membuatmu membolos sekolah."

"Kau anggap aku ini sampah. Dinilai dengan sebelah mata. Walaupun hati ini terluka.Tapi ku santuy-in aja."

"Santuy-in aja kali ah," lanjut Louren setelah menyelesaikan lagunya.

Setelah menyelesaikan tugasnya, Louren duduk di sebelah Jevan. Memandang danau dan menghirup udara yang begitu asri. Matanya menjelajah di sekitar, heran sebab tidak banyak orang yang mengetahui tempat sebagus ini.

Louren menggigit pipi dalamnya, memikirkan kalimat apa yang akan keluar dari bibirnya. "Emm, ngomong-ngomong lo berantem kenapa? Masa si dendeng nonjok lo sampai lukanya banyak sih."

"Ayden," ralatnya untuk kesekian kalinya. "Tadi dia datang-datang menarik dan menghajar saya, mendorong punggung saya hingga jatuh tersungkur dan mengenai dagu."

"Alasannya?"

"Hanya karena saya nggak sengaja menabrak dia di belokan koridor," terang Jevan.

"Kekanakan banget si dendeng kerbau." Louren menggeleng pelan. "Cogannya Oren jangan sedih. Kata mama, kita harus selalu bantu orang meski banyak yang nggak suka dengan tindakan kita."

"Tapi ya kalau yang dibantu selalu ngelunjak, itu namanya gak tau diri," lanjutnya. "Udah yuk, kita beli cilok sama pentol goreng. Gue traktir sebagai tanda perkenalan kita. Dilarang keras menolak pemberian cecan, cukup mantan gebetan gue yang nolak kehadiran gue."

Jevan terkekeh pelan mengingat semua tingkah absurd gadis itu. Ia mengingat kembali nama gadis itu. Ah ya, Louren. Nama yang menurutnya cukup unik, sama seperti pemilik nama tersebut.

Ia menerawang jauh memikirkan apa yang akan terjadi jika Louren mengetahui kehidupannya di sekolah. Apakah gadis itu tetap mau bertegur sapa dengannya ataukah memandang dirinya yang layaknya sampah ini?

Duk

Ringisan pelan terlontar dari mulut Jevan saat mendapati seseorang menendang punggungnya lumayan keras. Tanpa bertanya lagi, ia sudah tahu siapa pelakunya. Menahan rasa sakit disekujur tubuhnya akibat kejadian pagi tadi, Jevan memaksakan bangun.

"Kenapa, Yah? Ada yang bisa Jevan bantu?" tanyanya pelan.

"Masuk ke dalam." Pria paruh baya itu terlebih dulu masuk ke dalam dan mendudukkan dirinya di sofa single yang telah usang. "Bersimpuh di bawah."

Segera Jevan menuruti perintah ayahnya untuk duduk bersimpuh di lantai. Posisi mereka saat ini hanya berseberangan dengan meja. Ia terlihat cemas mendapatkan tatapan tajam penuh amarah dari sang ayah.

"Mau jadi apa kamu setiap hari berantem? Seragam kamu selalu kotor setiap pulang sekolah. Wajahmu lebam. Mau jadi jagoan hah?"

Remaja lelaki itu menarik sedikit kedua sudut bibirnya. Tak apa jika dirinya mendapatkan omelan, yang terpenting ayahnya itu sedikit mengkhawatirkannya. "Maaf, Yah. Jevan ta-"

Brak

Ringisan kembali terlontar. Kali ini ayahnya menendang meja dengan keras hingga mengenai dadanya. Namun tak apa, ini belum seberapa baginya. Ia tahu bahwa ayahnya sangat keras, dan kejadian yang baru saja terjadi adalah sebuah bentuk perhatian kecil sang ayah meski sedikit menyakiti fisiknya.

"Banyak alasan kamu! Sekarang cepat bereskan rumah dan kerja. Segera pulang jika masih ingin tinggal di sini!"

Ayahnya berlalu meninggalkan Jevan yang terdiam kaku. Jevan menoleh ke arah meja kecil yang berada di pojok ruangan. Dimana terdapat sebuah bingkai foto berisi ibu, ayah, dan dirinya. Sungguh, ia merindukan masa kecilnya sebelum semuanya berubah dalam sekejap.

"Bunda, Jevan lelah. Bolehkah Jevan menangis?" lirihnya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

831K 100K 13
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3.3M 224K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Ada satu rumor yang tersebar, kalau siapapu...
1.7M 119K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
986K 14.5K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+