Dark Angel [END]

By anna_minerva

138K 27.4K 1.7K

"Kadang kala, kau akan menemukan manisnya cinta dalam setiap tarikan napas seorang pendosa" -Dark Angel- *** ... More

BAB 1 - Anastasya
BAB 2 - Korban Pertama
BAB 3 - Detektif Kembar
BAB 4 - Vicky
BAB 5 - Petunjuk Pertama
BAB 6 - Bunuh Diri?
BAB 7 - Selingkuhan
BAB 8 - Bullying
BAB 9 - Kecelakaan yang Disengaja
BAB 10 - Taksi Biru dan Sebuah Obat
BAB 11 - Surat Dari Igrid
BAB 12 - Siapa Mirai?
BAB 13 - Pencarian
BAB 14 - Kisah Si Genius
BAB 15 - Petunjuk Baru
BAB 16 - Daerah Gunung
BAB 17 - Rahasia Rumah Tua
BAB 18 - Buku Diary Tersobek
BAB 19 - Siapa Dia?
BAB 20 - Album Lama
BAB 21 - Mengumpulkan Kejanggalan
BAB 22 - Sampai Jumpa, Gadisku
BAB 23 - Bertanya Pada Ferida
BAB 24 - 1994
BAB 25 - Aku Yang Sesungguhnya
BAB 26 - Menerima Takdir
BAB 27 - Petunjuk Dari Dokter Yelena
BAB 28 - Menggeledah
BAB 29 - Ancaman
BAB 30 - Penembakan
BAB 31 - SDN Janggala
BAB 32 - Cinta Pertama
BAB 33 - Bukti
BAB 34 - Secarik Kertas
BAB 35 - Penyusup
BAB 36 - Keyakinan
BAB 37 - Kekalahan?
BAB 38 - Julia Kecil
BAB 39 - Si Bedigasan
BAB 40 - Siapa Vanya?
BAB 41 - Seseorang yang Terlupakan
BAB 42 - Perpustakaan
BAB 43 - Penembakan (Lagi)
BAB 44 - Pria Bertopeng
BAB 45 - Kecurigaan Tersembunyi
BAB 46 - Perkelahian
BAB 47 - Bayangan
BAB 48 - Setitik Asumsi
BAB 49 - Terlambat
BAB 50 - Iris
BAB 51 - Tidak Ada Kata Terlambat
BAB 52 - Kembali
BAB 53 - Kenyataan
BAB 54 - Masa Lalu Itu
BAB 55 - Deklarasi
BAB 56 - Ambigu
BAB 57 - Ruang Bawah Tanah
BAB 58 - Cerita dan Segalanya
BAB 59 - Mirai dan Segalanya
BAB 60 - Pengungkapan
BAB 61 - Pertarungan dan Jawaban
BAB 62 - Permintaan
BAB 64 - Sampai Jumpa
BAB 65 - Usai
BAB 66 - Sesuatu yang Berharga
Epilog
Hallo, Kak !
-Sekadar Menyapa (dan curhat)-

BAB 63 - Pertaruhan Terakhir

1.5K 357 37
By anna_minerva

Ren meminjamkam motornya. Dean dan Eliza segera menuju perbatasan. Sore itu, jalanan cukup sepi. Tidak banyak orang yang melintas. Meski ada, orang itu hanya menatap Dean dengan melongo---seakan bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dengannya.

Setelah sampai, Dean memarkirkan motor itu di seberang padang rumput dan silo. Di bagian hutan, sudah tidak ada polisi seperti tadi pagi saat Dean ke sana mencari Eliza. Gubuk terlihat sangat sepi dan padang rumput juga begitu. Tidak ada tanda-tanda Ivan atau-pun mobilnya. Bahkan, tim Edgar belum sampai ke sana---entah bagaimana.

"Ivan!" Dean berseru keras. Dia melangkah menyelusuri padang rumput itu. Eliza bergerak sendiri menuju gubuk.

Namun, sama seperti dugaannya, gubuk itu terkunci. Dan memang sangat mustahil jika Ivan berada di dalam sana. Dari kejauhan, rumah kabin juga masih nampak tutup dengan garis polisi.

Eliza terduduk lemas dan pasrah. Dia dalam dilema saat ini. Antara membunuh Ivan atau tidak. Yang mereka inginkan, Ivan tetap hidup---sebagaimana yang diinginkan orang yang mencintai seseorang pada umumnya. Tapi, jika Ivan masih hidup, ada kemungkinan kalau dia akan membunuh lagi. Dan si kembar berada dalam bahaya karena tingkah naif itu.

Eliza memijat pelipisnya. Dia ingin menangis. Tapi, air matanya seakan sudah habis.

"Bagaimana keputusanmu?" Suara itu membuat Eliza menoleh ke belakang. Ivan ada di sana---entah sejak kapan. Dia duduk di ujung teras gubuk kayu itu.

"Ivan, kau--"

"Shttttt..." Ivan mengarahkan telunjuknya ke bibir.

"Aku mohon kembalikan anak-anak itu. Mereka tidak bersalah. Hanya anak polos yang ingin tahu banyak hal." Eliza memohon.

"Mereka pasti baik-baik saja. Ini juga akan sedikit mengajari mereka; bahwa sesungguhnya apa-pun yang mereka lakukan, pasti ada konsekuensi tersendiri. Mereka masih lima belas kurang dan mereka bermain dengan seorang pembunuh. Itu agak gila, sebenarnya." Ivan terlihat menghela nafas panjang.

"Jadi, kau ingin mengajari kami banyak hal? Mengajarkan Dean bagaimana kesulitan untuk tetap bertahan hidup? Mengajari si kembar tentang konsekuensi? Dan mengajariku tentang--"

"Tidak semua orang mendapatkan cintanya." Ivan menyahut.

"Lalu, kenapa kau membunuh untukku?"

"Karena aku orang gila." Ivan menyeringai. "Hanya saja, jika hal itu tidak kulakukan. Maka hari ini takkan tiba. Aku dan kamu takkan bisa bercakap seperti ini? Bukan? Meski hanya sebentar... tidak apa. Ngomong-ngomong, kau tetap akan membiarkanku kabur dan menjadi penjelajah?"

Eliza memalingkan wajah. "Mungkin, itulah hukumannya. Menyaksikanmu langsung mati, aku tidak sanggup. Semua orang ingin seseorang yang mereka cintai hidup, tidak peduli apa. Cinta itu memang sinting. Tapi, sepertinya aku memang ingin kau pergi, Ivan. Kabur ke suatu tempat ke tempat lain, menyandang gelar sebagai buron, mengalami kesepian di luar sana dan tentu saja bertahan hidup dengan keras. Dengan syarat, kau tak membunuh lagi---kecuali kau terancam."

"Aku bukan tipe orang yang suka melanggar janji---sebenarnya begitu. Dan aku patuh dengan seseorang yang kupikir berharga, seperti ibu dan kamu. Jadi, mungkin aku bisa melakukannya."

"Jadi, kau bisa menghentikan ini?"

"Sebentar lagi."

"Sekarang saja." Dean menyahut dengan tiba-tiba. Dia mengarahkan senapan laras panjang itu ke arah Ivan.

Ivan hanya terdiam sambil tersenyum. "Kau bodoh, Dean. Tidak begitu cara memegangnya."

"Di mana mereka?! Cepat katakan?! Mereka adalah seseorang yang berharga bagiku, dan sejujurnya kamu juga. Tapi, jika disuruh memilih, aku akan memilih mereka!" Dean melotot.

"Jika aku mati, apa kau akan tahu di mana mereka?" Ivan menyeringai.

Dean menurunkan senapannya.

"Sudah kubilang, tidak ada gunanya pandai di mata pelajaran saja. Hal seperti ini, sebenarnya kau juga harus pandai." Ivan menghela nafas. Dia bangkit dari posisinya. Perhatiannya tidak lagi terpaku pada Eliza. Tapi, pada Dean. Dia berjalan pelan ke arah Dean.

Dean hanya mengernyit. Eliza mundur perlahan menatap keduanya. Sesekali, dia juga berfikir; Ivan dan Dean merupakan sepupu. Sangat aneh memang.

"Antara aku dan kamu, siapa yang paling hebat?" Ivan memegangi janggutnya.

"Jangan ada basa-basi saat ini, Ivan!" Dean kembali mengangkat senapannya.

Ivan tertawa halus. Dia mengeluarkan pistol lain dari balik jasnya. Dean hanya melongo---tidak habis pikir, berapa banyak senjata api yang dimiliki Ivan?

Ivan juga mengarahkan pistol itu ke arah Dean. Begitu juga Dean, dia mengarahkan senapannya ke arah Ivan. Tidak ada sepatah kata-pun yang terucap dari bibir mereka. Hanya ada seringai dari Ivan, dan ekspresi cemas Dean. Dia juga tidak ingin mati.

Dor

Ivan menarik pelatuknya. Tapi, dia sengaja memelesetkannya. Meski begitu, peluru itu melewati sedikit daun telinga Dean. Meski hanya sedikit robekan, tapi tetap darahnya mengalir dengan cukup banyak. Dan entah berapa banyak darah yang Dean keluarkan hari itu.

Dean meringis dan secara otomatis dia terjerembab dan tidak sengaja menarik pelatuk senapan laras panjang yang dia bawa. Dua tembakan melesat secara bersamaan. Tapi, tembakan dari Dean berhasil di hindari Ivan.

Eliza menjerit di posisinya. Dia terpaku pada Dean yang saat ini benar-benar buruk. Entah sampai kapan Dean akan bertahan. Ivan sangat gila. Dia benar-benar ingin menghabisi Dean perlahan-lahan.

"Hentikan, Ivan!" seru Eliza. "Ini sudah cukup!"

"Aku tidak bisa menuruti semuanya. Tapi, dia hidup atau tidak akan tergantung bagaimana caranya bertahan... dariku." Ivan menyeringai.

Eliza bangkit dan maju. Kedua bola matanya menatap Ivan dengan dua perasaan yang berbeda; cinta dan amarah. Dalam sekejap, tamparan Eliza mendarat di pipi kiri Ivan.

Plak!

Ivan hanya memalingkan wajah sembari mengusap pelan pipinya sendiri.

Eliza berlari ke arah Dean. Dia mengusap satu-persatu darah yang menetes dari daun telinga Dean. Dean hanya meringis.

Setelah beberapa detik, Dean menepis tangan Eliza dari lukanya. Dia kembali bangkit dan bergerak cepat mencengkeram Ivan---sekali lagi. "Aku menganggapmu saudara, tapi begini balasanmu? Aku beri kesempatan untuk kabur dan bebas, tapi kau--"

"Sejak kapan kesempatan itu kau yang memberikan? Kau hanya anak tidak berguna!" Ivan terkekeh.

"Sudah, Ivan. Cukup! Pergi sekarang, atau tidak pernah! Katakan di mana anak-anak itu dan--"

"Aku membunuhnya." Ivan menyahut dengan cepat. "Mereka sudah tidak ada."

Dean membeku. Dia melepas cengkeraman itu dan mundur perlahan. Dia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Kedua bola matanya sudah basah dan itu tidak bisa membendung air mata lagi. Eliza juga membeku di tempat. Dia menahan air matanya karena pernyataan Ivan itu belum bisa dipastikan.

Ivan membuka jasnya. Dia memperlihatkan bercak darah yang melekat di kemeja putihnya. Tidak banyak. Tapi, bentuknya seperti percikan.

Setelah hening selama beberapa saat, Ivan mulai beraksi lagi. Dia menendang Dean sehingga keluar dari teras gubuk.

Dean tidak peduli lagi dengan rasa sakit di tulangnya. Dia hanya menangis. Dia tidak bisa berfikir dengan jernih. Jika terjadi sesuatu dengan si kembar, apa yang harus dia lakukan? Apa yang harus dia katakan kepada ayah mereka? Anak-anak itu masih terlalu dini---bahkan lebih dini dari usia sesungguhnya. Bagaimana mungkin Ivan tega melakukan itu?

Dean benar-benar marah saat ini. Dia tidak peduli jika Ivan adalah saudaranya atau bukan, yang penting Ivan harus disingkirkan. Sebab jika tidak, dia akan membunuh lebih banyak lagi.

Dean mengambil senapannya dan segera mengarahkannya ke arah Ivan.

Namun, di saat yang bersamaan, Ivan berhasil meraih lengan Eliza. Dia menempatkan posisi Eliza di depannya. Menjadikan gadis itu sebagai tameng.

"Ivan, apa ini?" Eliza berbisik pelan.

"Dean sudah ingin membunuhku," jawab Ivan.

Melihat hal itu, Dean segera menurunkan senapannya. Dia sudah kehabisan akal. Benar kata Ivan, tidak ada gunanya pandai di mata pelajaran saja. Dia sudah benar-benar putus asa. Dia merasa benar-benar gila di sana. Pikirannya tertuju kepada si kembar. Kedua anak itu, harusnya tidak ikut campur. Bayangan wajah mereka menari-nari di kepala Dean. Membuatnya menangis dan menjerit di tempat. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar putus asa, mentalnya rusak dan dipenuhi rasa bersalah. Jika sejak awal dia sanggup untuk membunuh Ivan, maka semuanya tidak akan seperti itu.

Namun, akhirnya dia menegakkan pandangannya. Tidak ada kata terlambat. Dia harus membunuh Ivan saat itu juga. Dia kembali mengangkat senapannya dan mengarahkan ke arah Ivan. Dia harus mempertimbangkan dengan matang supaya tembakannya tidak mengenai Eliza.

"Dean, jangan," bisik Eliza.

Dean tidak menjawab. Gigi-giginya menggertak saat itu juga. Di saat bersamaan, suara tembakan kembali terdengar.

Dor

Itu bukan dari senapan milik Dean. Tapi itu berasal dari pistol yang dipegang Ivan.

Peluru melesat dengan cepat. Meski Dean sempat bergerak sedikit setelah peluru itu dilesatkan, tapi dia tidak dapat menghindar. Peluru itu merasuk ke bahunya---sama seperti kondisi Edgar.

Itu adalah pertama kalinya Dean merasakan rasa sakit se-luar biasa itu. Tubuhnya terasa sakit dan panas di bagian yang tertembak. Dia sama sekali belum merasakan rasa sakit seperti itu. Bahkan, di saat itu dia merasa jika ajalnya akan segera menjemput. Dia kembali tergeletak di tanah dan melepaskan senapan dari cengkeramannya.

"Dean!" Eliza yang melihat hal itu ingin segera menghampiri Dean. Tapi, dengan sigap Ivan menariknya ke posisi semula.

"Sudah terlanjur. Bagaimana akhirnya, tergantung bagaimana dia bertahan." Ivan membisikkan itu di telinga Eliza.

Eliza menangis di sana. Segila apa dia hingga bisa mencintai iblis seperti itu?

"Ayo, Eliza." Ivan menuntun Eliza yang masih membeku untuk berjalan.

"K--kau, mau ke mana?" tanya Eliza pelan.

"Hanya sebentar. Aku akan pergi, sesuai dengan apa yang kau katakan."

"Aku tak bisa meninggalkan Dean."

"Polisi akan segera ke sini."

"Dean akan mati!"

Ivan tetap menarik lengan Eliza. Gadis itu hanya bisa menjerit dan menatap Dean yang tengah sekarat. Walau tembakan itu persis seperti yang dialami Edgar, tapi Dean tidak setangguh Edgar. Darahnya sudah keluar sangat banyak dan pemuda itu sendirian di sana.

Ivan mendorong Eliza masuk ke mobilnya. "Ini yang terakhir, Eliza. Waktuku semakin menipis."

Eliza masih menumpahkan bulir-bulir air matanya tanpa tahu harus berbuat apa. Dia begitu bodoh dan naif. Jika Dean mati di sana, maka dia akan menghukum dirinya sendiri dengan kematian juga.

"Maaf, Dean."

~~~

"Kita harus bergerak cepat." Detektif Fenil menyetir mobil dengan cepat. Dia baru kembali dari tugasnya ketika mendengar kabar tidak baik tentang kedua putranya.

Edgar duduk di sampingnya. Meski dadanya masih agak nyeri, dia tetap pergi bersama detektif Fenil. Sayangnya, jalanan terhenti karena ada sebuah kecelakaan. Mereka tidak memiliki pilihan lain untuk menunggu. Tidak ada jalan lain untuk masuk ke perbatasan kota itu. Hanya ada satu jalan, dan itu buntu saat ini.

"Apa kita harus mengutus polisi lain menggunakan motor atau apalah?" Edgar mengerti situasinya. Jalanan tidak akan lancar dengan mudah. "Masih sekitar delapan delapan kilo meter menuju perbatasan."

"Lebih, Edgar. Kita masih di sekitar pusat kota." Detektif Fenil memijat pelipisnya.

Seorang petugas kepolian lainnya mengetuk kaca mobil yang ditumpangi Detektif Fenil dan Edgar. Edgar membuka kaca mobil itu.

"Ada apa?" Edgar mengerutkan alisnya.

"Sepertinya kita harus putar balik," kata petugas itu, lalu dia menghela nafas panjang. "Ada ancaman bom di sana."

"Apa?!" Detektif Fenil dan Edgar berseru serentak.

"Bom. Ini terlihat konyol, Tuan-Tuan. Tapi, kita harus benar-benar memastikannya. Akan ada tim khusus yang akan ke sana dan memeriksa sekaligus memberi peringatan kepada orang-orang yang ada di sana."

"Bagaimana jika ini hanya isu pengalihan?" Edgar masih agak ragu. "Penjahat itu sepertinya ingin kita mengulur waktu supaya kita terlambat dan tidak bisa menghentikan semuanya. Seperti dia menembakku, dia tidak ingin kita ikut campur."

"Orang ini pasti tidak waras." Detektif Fenil meremas setirnya.

"Walau bagaimana-pun, kita harus menunggu perintah atasan dulu. Tempat itu diancam bom. Orang itu mengirim surat di kantor polisi," kata petugas itu.

"Kapan?" Detektif Fenil mengerutkan dahi.

"Tadi pagi. Dia mengirimnya di kantor pusat kota. Dan entah kenapa mereka agak lambat mengabari hal ini."

"Sialan." Edgar berdecak sebal.

~~~

Dean membuka matanya perlahan. Langit sudah agak gelap---lebih gelap dari pada ketika dia mulai terlelap tadi. Tapi, rasa sakit, panas dan nyeri itu masih terasa di antara dada dan bahunya---menjalar ke setiap inci di tubuhnya.

Ada dua orang pemuda seusianya yang duduk di hadapannya---sepertinya menantinya bangun atau menanti kondisi yang lebih baik.

"Gue nggak tahu kenapa ambulans belum datang," kata salah satu di antara mereka. "Ada kecelakaan di kota, tapi harusnya mereka harus mencari jalan lain."

"Jalan lain? Gue kira nggak ada. Dari jalan besar, mereka harus masuk ke jalanan terpencil ini. Hanya ada jalan itu. Kalau mereka lurus tanpa berbelok, maka mereka akan sampai ke dermaga. Dan jika kamu lurus dari jalan di depan ini, maka kamu akan sampai di kota lain. Kota kita ini sangat unik, ya?" Yang lainnya terkekeh santai.

"Tapi, gue belum pernah ke sana---ke kota lain lewat jalan ini. Jalanannya 'kan dipenuhi pemandangan hutan pinus. Lalu dermaga, ah... itu nggak menarik. Gue sering melihat kapal-kapal besar beristirahat di sana. Tapi jujur, dermaga adalah tempat paling klasik di kota ini."

Dean merasa tidak asing dengan suara-suara itu. Siapa lagi jika bukan Griz dan Alex? Tapi, bukankah harusnya mereka berdemo di sekolah?

"Eh, lo udah bangun? Sorry, hanya ini yang bisa kita lakukan. Ambulans-nya sangat lambat. Peluru itu bersarang di tubuh, jadi pasti sakit banget dan gue nggak tahu apa yang akan terjadi sama lo. Cuma... gue berusaha supaya darah itu nggak keluar terlalu banyak," kata Griz.

Dean menyadari bahwa bekas tembakannya telah dibalut dengan sobekan jas almamater.

"Vicky yang nyuruh kita ke sini buat memastikan keadaan. Dia nggak bisa pergi meninggalkan sekolah sebelum Bu Seril datang. Itu 'kan memalukan." Kini Alex yang bicara. "Tapi, dia juga nggak tahu kalau semuanya akan terjadi secepat ini. Harusnya, pria itu memiliki beberapa waktu untuk aman. Dia telah menyerahkan banyak bukti di kabin. Tapi, sepertinya Eliza menemukan sesuatu yang nggak terduga."

Meski Dean sangat lemah, dia bisa mencerna kata-kata Griz dan Alex itu. Intinya, Ivan tidak ingin mengungkapkan permainannya secepat ini. Tapi, Eliza malah sudah mengetahuinya terlebih dahulu (secara tidak sengaja). Jadi, Ivan terpaksa mengakhirinya saat ini juga.

"Ngomong-ngomong, itu orang apa ya?" Griz menunjuk segerombolan orang dengan pakaian pelindung serba hitam yang turun dari mobil.

Jarak antara Dean, Griz dan Alex dan orang-orang itu cukup jauh. Posisi mereka berada tepat di seberang jalan. Mereka memindahkan Dean dari posisi semula supaya dekat dengan kendaraan mereka dan area jalan.

Orang-orang itu turun dan menyelusuri ladang rumput, gubuk dan tempat-tempat lainnya. Mereka bisa melihat orang-orang itu dengan jelas.

"Itu terlihat seperti orang yang sedang ingin menjinakkan bom." Griz menelan salivanya. "Apa tempat ini dipasangi bom?"

Alex menggeleng. "Lo pikir dia bisa merakit bom?"

"Pria itu serba bisa. Dia bisa menembak dengan tepat, memainkan senjata apa saja, dia paham tentang astronomi dan berbagai bahasa asing dan tentu saja genius. Dia sering membantu teman-teman kita mengerjakan soal kimia dari Pak Tomo, padahal dia bukan guru kimia. Dan setelah teman-teman kita menyerahkan tugas itu, Pak Tomo akan keheranan dan bertanya-tanya; mengapa muridku bisa menjawab soal ini. Bahkan, Vicky pernah berkata kalau dia mendapat banyak pengetahuan ketika kecil dari pria itu. Tidak hanya kecerdasan akademis, tapi tak-tik lain semacam cara bertahan hidup dan semacamnya. Sayangnya, orang seperti dia malah salah langkah."

"Mau bagaimana lagi? Sepertinya, nasibnya akan lebih baik jika Nyonya Igrid nggak membawanya." Alex mengangkat bahu.

Griz menghela nafas panjang. "Kalau benar ada bom, kita harus pergi sekarang. Kita nggak tahu bomnya dipasang di mana 'kan?"

Alex mengangguk.

Namun, tidak sempat mereka pergi, suara ledakan terdengar dengan sangat keras. Satu-persatu ledakan terdengar. Api muncul dari arah ladang rumput lalu dari arah lainnya. Lalu, menyambar gubuk kecil yang penuh kenangan itu.

Griz dan Alex bertesentak.

Ternyata, ada rencana lain yang telah disusun oleh pria itu. Sebuah rencana yang benar-benar tidak terduga.

****

Hampir memcapai akhir. Rasanya gatel pengen nulis cerita lain. Tapi aku masih sibuk karena sedang berada di fase akhir di bangku SMK, wkwkwk...

Sorry kalau ada typo dll. Aku ga sempet revisi dengan sungguh-sungguh sebelum update. Penting ga telat, gitu aja. Wkwkwk...

See u again...


Continue Reading

You'll Also Like

1.2K 384 20
Dia seorang siswi biasa yang menyukai kakak seniornya yang cuek tapi karismatik, dan populer di sekolahnya, mampukah dia menyampaikan sukanya kepada...
61.2K 7.8K 43
Tentang (Name) yang memiliki kesabaran setipis tisu malah bertemu dengan rubah rubah setan yang ada di klub voli. "Woi (Name), agar silahturahmi tida...
618K 6.8K 100
[ 𝗖𝗢𝗠𝗣𝗟𝗘𝗧𝗘𝗗 ] 𝗡 𝗘 𝗪 𝐁𝐄𝐋𝐔𝐌 𝐃𝐈 𝐑𝐄𝐕𝐈𝐒𝐈❎ ⚠️𝐂𝐋𝐎𝐒𝐄 𝐑𝐄𝐐𝐔𝐄𝐒𝐓⚠️ 𝘉𝘶𝘢𝘵 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘳𝘢 𝘱𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘱...
KENZOLIA By Alpanjii

Mystery / Thriller

88.7K 4.8K 13
Iexglez diketuai oleh Kenzo, anggota inti menyamar menjadi siswa di SMA Rajawali untuk suatu misi. Ditengah misi itu ada Lilia, gadis yang Kenzo suka...