Sejak kecil, Kim Seokjin selalu dijejali dan ditekankan tentang pentingnya pendidikan oleh kedua orang tuanya. Tampak seperti hal yang baik, bukan? Namun, tidak bagi Seokjin karena hal tersebut menyiksa. Ia tak diizinkan berada di luar bersama teman-temannya selain untuk acara sekolah yang dapat dijadikan orang tuanya sebagai ajang memamerkan putra mereka.
Seokjin pintar. Jangan salah. Tetapi, untuk berada di titik yang sekarang, ia mengorbankan banyak hal. Pertemanan, masa remaja, bahkan jam tidur. Orang tuanya mendaftarkan dirinya di tempat les piano, bahasa asing, dan juga tempat khusus untuk mempersiapkan diri memasuki perguruan tinggi. Semuanya dilakukan orang tuanya sejak Seokjin duduk di Sekolah Dasar.
Meskipun begitu, Seokjin tak pernah sekalipun mendebat orang tuanya. Ia mengerti betul bahwa keduanya lahir dan tumbuh di keluarga yang serba kekurangan hingga pendidikan pun menjadi barang mewah bagi orang tuanya ketika kecil. Mereka bekerja keras untuk dapat meraih pendidikan hingga ibunya mendapat gelar S1 dan ayahnya menjadi lulusan S3.
Satu hal yang menjadi penyemangat Seokjin menjalani hari-harinya selama sekian tahun adalah kata-kata orang tuanya.
"Saat kau berhasil menyelesaikan S1 dan mendapat cumlaude, kau boleh melakukan apapun yang kau mau setelahnya."
Maka, saat namanya dipanggil dan tangannya menerima ijazah S1, senyum Seokjin tersungging lebar di wajahnya. Hari ini adalah hari pertama kehidupannya dimulai. Dan, hal pertama yang akan dilakukannya adalah keluar dari rumah orang tuanya sebab ia telah siap menjadi seorang guru musik.
---
"Oh fuck!" ujar seorang pelajar kala americano yang ia pegang tumpah di seragam sekolah yang ia kenakan. Suaranya yang tak dapat dianggap pelan membuat beberapa kepala menoleh ke arahnya dan menggeleng. Walaupun banyak orang tidak berbicara Bahasa Inggris dengan baik, mereka sangat akrab dengan kata berawalan F yang diucapkan pelajar tersebut.
"Ah shit! This is brand new! (Sial! Ini masih baru!)" Pelajar tersebut kembali berujar, masih dengan suara yang dapat didengar jelas.
"Hei, apa kau tidak diajari sopan santun? Kau sudah mengumpat dua kali dalam waktu kurang dari semenit."
Pelajar tersebut menengok dan melihat seseorang yang berdiri di sampingnya dengan tangan di pinggang.
"Dan bukankah ini jam sekolah? Pasti kau membolos," tutur orang tersebut.
"Dude, no offense but mind your own bussines (Bung, jangan tersinggung tapi ini bukan urusanmu)." Sang Pelajar berkata santai sebelum berlalu begitu saja. Ia tak mempedulikan orang yang baru saja menegurnya ataupun bisikan-bisikan mencemooh di kanan kirinya.
"These nosy fuckers, they think they've the right to tell me what to do (Orang-orang sialan, mereka kira mereka berhak memberitahu yang harus kulakukan)."
Ia menyalakan rokok lalu dengan santai berjalan menuju sebuah mobil mewah yang terparkir di tepi jalan. Ia menghisap rokoknya hingga habis dan membuangnya ke trotoar lalu menginjaknya agar bara apinya mati. Ia membuka pintu pengemudi dan bersiap melajukan kendaraan saat kaca mobilnya diketuk.
"Now what? (Apa lagi sekarang?)"
Ia menurunkan kaca mobil dan menatap datar dari balik kacamata hitam.
"Can I help you? (Bisa kubantu?)" Ia bertanya dengan nada sarkastis pada orang yang belum lama lalu menegurnya.
"I just want to give you this (Aku cuma mau kasih ini)." Lelaki tersebut melemparkan puntung rokok yang tadi dibuangnya ke arah jok kulit mahal di samping pengemudi. "That's a nice present for an asshole like you! (Hadiah berharga buat bajingan macam kamu!)"
Pelajar tersebut mendengus menatap lelaki yang berlalu meninggalkannya.
"He's got balls. If only you knew who I was, I bet you would immediately kiss my ass (Berani juga dia. Kalau saja dia tahu siapa aku, taruhan dia pasti langsung jadi penjilat)."
---
Seokjin memeriksa alamat yang tertera di layar ponselnya. Ya, ia berada di rumah yang tepat. Ia sedikit gemetar kala menekan tombol yang berada di sebelah kirinya.
"Ada yang bisa dibantu?" Suara seseorang yang keluar dari interkom menyapanya.
"Selamat sore, saya Kim Seokjin, guru piano untuk putra Nyonya Kim."
"Silakan masuk."
Pagar di depannya terbuka menyamping secara otomatis, membuat Seokjin mengeluarkan 'Wow' tanpa suara. Ia tak pernah melihat yang seperti ini dalam kehidupannya. Seokjin melangkah ke arah pintu depan megah yang tiba-tiba terbuka saat tangannya bersiap mengetuk.
"Selamat datang, Guru Kim. Silakan masuk." Seorang wanita tua membungkuk dan berkata lembut ke arahnya.
"Ah, terima kasih banyak."
"Nyonya Kim menunggu Anda di ruang tamu. Silakan ikuti saya."
Seokjin mengangguk dan tersenyum sebelum melangkah kikuk di belakang wanita tua tersebut. Semua ornamen bahkan lantai yang ia injak saat ini membuatnya berteriak 'orang kaya' di dalam kepala. Ia berniat menghitung kasar di dalam hati berapa juta (mungkin milyar) Won yang dikeluarkan pemiliknya namun niatnya harus tertahan setelah melihat seorang wanita anggun dengan secangkir teh di tangannya.
"Guru Kim, selamat datang. Saya Kim Jisoo, yang menghubungi Anda minggu lalu."
Seokjin terbelalak.
"Anda...Nyonya Kim Jisoo yang penyanyi itu?" ucap Seokjin penuh keterkejutan.
Nyonya Kim tertawa pelan dibuatnya.
"Saya sudah lama tidak menyanyi di depan orang banyak. Tidak tahu apakah masih layak disebut penyanyi." Ia meletakkan gelas tehnya. "Silakan duduk, Guru Kim."
"Eh i-iya. Terima kasih, Nyonya."
"Jadi, berapa lama Anda sudah mengajar piano?"
"Belum terlalu lama, Nyonya. Baru dua tahun."
"Tetapi banyak sekali yang merekomendasikan Anda. Pasti Anda guru yang sangat hebat."
Seokjin tersenyum malu menanggapinya. Meskipun di dalam hati, ia menganggapnya sebagai sebuah beban. Bagaimana jika ia tidak berhasil kali ini?
---
Seokjin menunggu di ruang belajar di lantai dua sejak setengah jam yang lalu. Namun, putra Nyonya Kim Jisoo belum juga muncul. Menurut Nyonya Kim, putranya akan langsung pulang setelah menyelesaikan kegiatan klub. Tetapi sampai sekarang, Seokjin masih sendiri di dalam ruangan besar tersebut.
Ia menyibukkan diri dengan melihat-lihat koleksi buku di deretan rak yang menempel di dinding. Ia bersiul saat membaca beberapa judul buku yang berusia sangat tua dan sangat sulit didapat.
"Kurasa uang bukan masalah untuk keluarga Kim sampai bisa mengoleksi semuanya."
Ia berjalan ke arah rak yang lain dan kali ini menemukan aneka buku sejarah dan filosofi serta karya sastra tua. Susunan yang tidak biasa, pikirnya.
Seokjin menegakkan tubuh dan melihat ke arah jam tangannya. Ia hampir satu jam di rumah keluarga Kim tetapi muridnya masih tidak tahu di mana rimbanya.
"Haaahhh...aku tambah lima menit lagi. Kalau dia belum muncul, aku pulang saja."
Ceklek! Brak!
Seokjin melompat sangking terkejutnya kala mendengar pintu dibanting. Ia memegangi dadanya dan bernafas lega setelah merasakan jantungnya yang masih berdetak.
"Are you the piano teacher? (Kau guru pianonya?)" tanya seseorang yang baru saja masuk.
Seokjin menatapnya dengan kening sedikit berkerut.
"Bukannya kau siswa yang tadi siang membolos, mengumpat, dan merokok? Kau putra Nyonya Kim Jisoo?" tanyanya tak percaya.
"Quit the small talk, will you. Get to the point. Teach me something so that you look like you're actually working (Berhenti basa-basi. Langsung saja. Ajari sesuatu biar kau kelihatan bekerja)."
"Apa kau memang tidak tahu sopan santun?"
"Look, Old Man, I'm exhausted and my mom just lectured me for ten minutes straight because I came home late. So, will you just start doing something so you can get paid then we can both be happy and bid goodbye? (Dengar ya, Pak Tua, aku capek dan baru diceramahi ibuku selama sepuluh menit gara-gara pulang terlambat. Jadi, kau bisa mulai lakukan sesuatu supaya kau bisa dibayar terus kita berdua senang dan berpisah?)"
Seokjin menggelengkan kepala. Ia menyukai tantangan ketika mengajar. Namun, kali ini berbeda. Ia tak ingin berada di dekat anak kecil yang sombong dan tidak sopan seperti ini.
"Kuharap ada guru lain yang mau mengajarmu dan tidak berakhir membunuhmu sebelum kelas selesai."
Seokjin meraih tas punggungnya dan berjalan ke luar tanpa menoleh ke belakang. Ia membungkuk hormat kepada wanita tua ramah yang menyambutnya saat ia tiba sebelum melangkah menuju pagar.
"Kasihan sekali orang tuanya karena punya anak tidak tahu diri seperti itu."
---
Dari kaca jendela ruang belajar lantai dua, putra Nyonya Kim memperhatikan lelaki yang menjadi mantan guru pianonya bahkan sebelum kelas pertama. Lelaki iti menggeleng beberapa kali lalu menghentakkan kaki sepanjang jalan hingga menghilang dari pandangannya.
"The fifth useless piece of shit this month (Orang tidak berguna kelima bulan ini)," ujarnya. "Hopefully she'd stop trying after this (Semoga dia berhenti mencoba sesudah ini)."
Sebuah senyuman sedih hinggap di wajahnya sebelum buru-buru digantikan raut wajah datar saat mendengar Sang Ibu memanggil namanya.
"Kim Namjoon, apa kau baru membuat gurumu berhenti?"
- Lanjoooottt, Gan! -