Dark Angel [END]

By anna_minerva

138K 27.4K 1.7K

"Kadang kala, kau akan menemukan manisnya cinta dalam setiap tarikan napas seorang pendosa" -Dark Angel- *** ... More

BAB 1 - Anastasya
BAB 2 - Korban Pertama
BAB 3 - Detektif Kembar
BAB 4 - Vicky
BAB 5 - Petunjuk Pertama
BAB 6 - Bunuh Diri?
BAB 7 - Selingkuhan
BAB 8 - Bullying
BAB 9 - Kecelakaan yang Disengaja
BAB 10 - Taksi Biru dan Sebuah Obat
BAB 11 - Surat Dari Igrid
BAB 12 - Siapa Mirai?
BAB 13 - Pencarian
BAB 14 - Kisah Si Genius
BAB 15 - Petunjuk Baru
BAB 16 - Daerah Gunung
BAB 17 - Rahasia Rumah Tua
BAB 18 - Buku Diary Tersobek
BAB 19 - Siapa Dia?
BAB 20 - Album Lama
BAB 21 - Mengumpulkan Kejanggalan
BAB 22 - Sampai Jumpa, Gadisku
BAB 23 - Bertanya Pada Ferida
BAB 24 - 1994
BAB 25 - Aku Yang Sesungguhnya
BAB 26 - Menerima Takdir
BAB 27 - Petunjuk Dari Dokter Yelena
BAB 28 - Menggeledah
BAB 29 - Ancaman
BAB 30 - Penembakan
BAB 31 - SDN Janggala
BAB 32 - Cinta Pertama
BAB 33 - Bukti
BAB 34 - Secarik Kertas
BAB 35 - Penyusup
BAB 36 - Keyakinan
BAB 37 - Kekalahan?
BAB 38 - Julia Kecil
BAB 39 - Si Bedigasan
BAB 40 - Siapa Vanya?
BAB 41 - Seseorang yang Terlupakan
BAB 42 - Perpustakaan
BAB 43 - Penembakan (Lagi)
BAB 44 - Pria Bertopeng
BAB 45 - Kecurigaan Tersembunyi
BAB 46 - Perkelahian
BAB 47 - Bayangan
BAB 48 - Setitik Asumsi
BAB 49 - Terlambat
BAB 50 - Iris
BAB 51 - Tidak Ada Kata Terlambat
BAB 52 - Kembali
BAB 53 - Kenyataan
BAB 54 - Masa Lalu Itu
BAB 55 - Deklarasi
BAB 56 - Ambigu
BAB 57 - Ruang Bawah Tanah
BAB 58 - Cerita dan Segalanya
BAB 59 - Mirai dan Segalanya
BAB 60 - Pengungkapan
BAB 61 - Pertarungan dan Jawaban
BAB 63 - Pertaruhan Terakhir
BAB 64 - Sampai Jumpa
BAB 65 - Usai
BAB 66 - Sesuatu yang Berharga
Epilog
Hallo, Kak !
-Sekadar Menyapa (dan curhat)-

BAB 62 - Permintaan

1.5K 339 7
By anna_minerva

Hai guys, sorry karena aku ngaret up. Aku sibuk karena tugas dan bentar lagi mau ujian. Semoga kalian ga lupa sama cerita ini, wkwkwk.

Jangan lupa tandai ya kalau ada typo. Jan lupa vote dan komen kalau kalian suka cerita ini. Thanks.

Happy reading...

***

Dean berjalan pelan menaiki tangga berwarna coklat itu. Dia tetap memegang erat pistol yang dia dapatkan dari balik kemeja milik Ivan tadi. Itu adalah pertama kali Dean memegang senjata api. Sebenarnya, dia tidak tahu kenapa dia merebut benda itu. Dia tidak ingin membunuh atau melukai Ivan. Tapi, jika dia tidak melakukannya, maka Ivan akan melakukan sesuatu padanya.

Jadi, sekarang Dean harus berfikir bagaimana cara melumpuhkan Ivan tanpa membuatnya terbunuh.

Dean juga berfikir, ada berapa senjata api yang dimiliki Ivan? Pasti lebih dari satu. Dia tidak mungkin hanya menyimpan satu pistol kecil. Dia pasti memiliki lebih dari itu. Artinya, Dean juga harus berhati-hati. Dia mungkin tidak akan membunuh Ivan, tapi Ivan memiliki keinginan untuk membunuh Dean meski dia sendiri masih agak ragu. Dean bisa menebak, Ivan sedang berada di dalam dilema saat ini. Dia memiliki pilihan antara membunuh Dean atau tidak membunuh Dean. Tapi, sepertinya tidak ada keuntungan untuk mengambil salah satu keputusan itu. Ivan hanya gila.

Dean sampai di salah satu pintu di lantai atas. Dia membuka pintu itu perlahan dan berharap Ivan ada di sana. Tapi, dia tidak ada. Ruangan itu kosong. Hanya diisi sebuah ranjang dan lemari. Ketika Dean sampai di ruangan lainnya, ruangan itu juga sama.

Di sudut lantai atas, ada sebuah lantai lagi. Sepertinya mengarah ke loteng.

Sesuatu terjatuh dari tangga kecil itu. Semacam bola kecil yang menggelinding dari atas.

Apakah Ivan di sana? Kalau dia ke sana, apa alasannya? Apakah dia ingin menjebak Dean?

Dean segera menggelengkan kepalanya dan membuang asumsi-asumsi itu. Dia akan tetap naik ke atas. Siapa tahu, ada sesuatu di sana.

Dean kembali berjalan pelan sambil menggenggam erat pistol kecil itu. Menaiki satu-persatu anak tangga. Setelah sampai di atas, dia menemukan sebuah pintu bercat putih yang hampir mengelupas. Di bawah pintu itu, dia melihat celah yang lebarnya sekitar satu jengkal. Dean mengarahkan kepalanya di celah itu dan mengintip.

Ada seseorang di sana. Atau lebih tepatnya seorang gadis dengan gaun putih panjang yang indah. Dean langsung membulatkan matanya ketika tahu bahwa itu adalah Eliza.

"Eliza!" seru Dean.

Eliza menoleh ke arah celah itu. Dia berjalan ke sana dengan tergesa-gesa dan kemudian mengarahkan kepalanya ke celah itu.

"Dean?" Dia memastikan.

"Bagaimana bisa lo di sini, ha?!" Dean mematap Eliza dengan nanar. Pandangan mereka saling bertemu melalui celah kecil itu.

"Gue tidak sengaja tahu kalau Ivan... Dia membawa gue." Eliza menelan salivanya.

"Lo disakiti?"

Eliza menggeleng. "Dia bilang kalau dia akan mengakhiri semuanya."

"Dia ingin membunuh gue." Dean berkata dengan serius. Kalimat itu membuat Eliza melangah.

"Gue udah nyuruh dia buat mengakui kesalahannya. Tapi, entah kenapa... gue nggak ingin dia berakhir di hukuman mati." Eliza berbisik.

"Gue juga. Gue ingin membicarakan ini baik-baik dan menyuruhnya kabur jika bisa," kata Dean.

"Gue udah bilang. Tapi, katanya dia masih punya satu hari."

"Dan satu hari itu bakal digunakan untuk membuat gue gila." Dean tersenyum kecut. "Seumur hidup."

Eliza tidak mengerti mengapa Ivan ingin membunuh sepupunya sendiri. Selama ini, dia tidak pernah melihat permasalahan antara Dean dan Ivan atau pun Kenny dan Ivan. Bahkan, Kenny berteman dengan Ivan. Lalu apa kesalahan Dean hingga Ivan ingin membunuh pemuda itu.

"Dean... jangan mati." Eliza berbisik dengan penuh harap. Dia sama sekali tidak pernah menginginkan pemuda di hadapannya itu mati begitu saja.

Dean terdiam.

"Akhiri semua ini tanpa membunuh Ivan, gue mohon," lanjut Eliza.

"Mengapa?" Dean mengernyit. "Bukankah selama ini lo mencarinya, tanpa peduli apa? Bukankah selama ini dia membuat lo selalu bersalah setiap saat. Bukankah harusnya lo berharap dia--"

"Cinta itu membuat semua orang pendek akal." Eliza terkekeh. "Sejujurnya, gue suka dia. Jauh sebelum hal ini terjadi."

Mendengar jawaban itu, hati Dean terasa dipatahkan---sepatah-patahnya. Dia merasa terluka dan luka itu teramat dalam. Ivan benar, Dean adalah anak yang payah. Hanya di hadapkan dengan kenyataan yang seperti itu, dia merasa dia benar-benar hancur. Tapi, dia hanya bisa tersenyum dan menyembunyikan segala bentuk patah hati itu dari wajahnya.

"Gue nggak akan membunuhnya, kok.Dia adalah saudara gue dan gue akan memastikan dia baik-baik saja." Dean tertawa halus.

Eliza hanya tersenyum dan terdiam selama beberapa saat. Dia menatap darah-darah yang ada ditubuh Dean dari balik celah itu. Tanpa bertanya, Eliza sudah tahu apa yang terjadi pada Dean.

"Siapa gue bagi lo, Eliza?" Dean bertanya setelah sekian lama memandang.

"Saudara." Eliza menjawab tanpa ragu.

Jawaban yang cukup membuat Dean senang dari pada 'sekedar teman'.

"Apa gue bisa membawa lo keluar?" Dean mulai menyentuh pintu kayu itu untuk memastikan apakah pintu itu masih bisa dijebol atau tidak.

"Gue nggak tahu. Tapi, gue akan ngerepotin. Untuk sementara, gue di sini dan lo cari bantuan. Gimana?"

Dean menggeleng. "Gue yakin kalau gue nggak akan bisa keluar dengan mudah. Rumah ini luas dan berkelok-kelok. Setiap pintu terkunci. Dan nggak semua pintu bisa dibobol sama kawat."

Eliza terdiam ketika mendengar langkah kaki berat menuju ke arah mereka. Dia menelan salivanya. "Shttt.... Sepertinya dia di sini."

Dean menutup mulutnya.

Di saat yang bersamaan, Eliza melihat Ivan dari balik celah pintu itu. Pria itu sudah berada di belakang Dean. Eliza membeku tanpa bisa mengatakan apa-pun.

"Boleh ikut?" Ivan menyeringai.

"Sial," umpat Dean. Dia langsung berbalik badan dan menemukan Ivan di belakangnya.

Pria itu mengobati luka dari pena yang ditusukkan oleh Dean. Luka itu kini telah ditambal dengan perban. Sepertinya, Ivan sangat memperhatikan dirinya sendiri. Luka seperti itu-pun sempat dia obati tanpa peduli Dean selama beberapa saat.

"Aku punya pistolmu, Ivan." Dean terkekeh.

"Kau pikir aku peduli? Memangnya kau mau membunuhku?" Ivan menghela nafas. "Aku punya ini." Pria itu menunjukkan senapan laras panjang dari balik tubuhnya.

Dean langsung membeku di tempat dan Eliza juga terdiam tanpa bisa melakukan apa-pun.

"Ivan, jangan," kata Eliza setelah terdiam sekian lama.

"Maaf, aku tidak bisa menuruti permintaanmu yang itu. Aku tidak bisa." Ivan mengerutkan alisnya.

"Dia tidak memiliki kesalahan apa-pun, Ivan. Lagian, kau mau kabur, 'kan? Lupakan ini, Ivan. Dean menganggapmu keluarga dan--"

"Maaf," kata Ivan sekali lagi memotong kalimat Eliza. "Aku hanya ingin menunjukkan betapa menyusahkannya dia."

Dean agak gemetar. Di saat itulah, Ivan meraih tubuhnya dan membantingnya dari tangga. Dean tersungkur ke bawah. Eliza berada di ruangan loteng itu hanya melangah tanpa bisa menolong. Dia hanya memandang Ivan dengan penuh harap. Tapi, kali ini Ivan mengabaikannya dan langsung turun ke bawah.

Sebelum Ivan sampai, Dean memikirkan cara untuk melumpuhkan Ivan tanpa membunuhnya. Pistol yang dia bawa ternyata tidak ada pelurunya. Satu-satunya cara untuk membuat Ivan berhenti adalah dengan mengambil senapan laras panjang yang sedang di pegangnya. Atau mungkin, Dean bisa memancingnya hingga ke tangga bawah dan membuatnya terjatuh. Tapi, itu tidak akan mempan. Pria itu sangat tangguh. Jadi, Dean memutuskan untuk mengambil pilihan yang pertama. Yakni mengambil senapan laras panjangnya. Dia harus menarik kaki Ivan sehingga pria itu terjungkal. Lalu, dia akan merebut senapan itu secara spontan. Jika diperlukan pergulatan, maka Dean akan menusuk matanya. Setidaknya, itu tidak akan membuatnya mati.

Dean kembali mengingat-ingat, dia pernah berkelahi dengan Ivan saat mencari Kenny di gubuk dekat silo. Dia pernah menjatuhkan Ivan dengan menarik kakinya. Jadi, kali ini dia akan melakukannya lagi.

Setelah Ivan sampai, Dean langsung menarik kakinya sekencang-kencangnya hingga tersungkur. Sepertinya, kepala Ivan sedikit terbentur di lantai. Dia memegangi pelipisnya dalam beberapa saat.

Dean langsung berdiri. Dia menendang rahang Ivan kuat-kuat. Setelah itu, dia merebut senapan laras panjang itu. Awalnya sulit. Tapi, bagian ujung atas senjata itu mengarah ke bawah dagu Ivan. Jika Dean menarik pelatuknya secara tidak sengaja, maka Ivan akan berakhir di sana. Jadi, dengan terpaksa Ivan melemaskan genggamannya pada senapan itu. Dean bisa dengan mudah merampasnya karena hal itu.

"Kena kau, Ivan." Dean tersenyum.

Ivan terdiam ketika Dean mengarahkan senapan itu ke arah Ivan. Lalu, dia tertawa halus. "Aku sudah kalah, ya?" katanya.

Dean sedikit menurunkan senapan itu. "Pergilah, Ivan. Sekarang. Lupakan ini dan--"

"Santai, Dean. Aku memiliki sebuah kejutan lagi." Ivan melirik celah pintu dan menatap Eliza dari sana. "Aku titip sebentar, ya?"

"Apa?!" Dean mengernyit.

"Sampai jumpa." Ivan berlari mendorong Dean. Dia menuruni tangga dan entah akan pergi ke mana. Terdengar dia membuka satu-persatu pintu. Entah kenapa Dean tidak bisa mengejarnya. Eliza masih di sana dan dia tidak mungkin meninggalkannya.

Dengan segera, Dean kembali ke ruangan loteng. "Eliza, lo harus keluar."

Eliza mengangguk lemah.

Dean berusaha meraih besi pipih yang dia temukan di pena tadi. Tapi, besi itu sudah tidak ada di sakunya.

"Sebentar, pasti jatuh." Dean kembali turun.

Dean kembali menyelusuri tempat-tempat di mana dia melangkah tadi dan berharap supaya besi pipih itu masih ada di sana. Dean kembali ke ruang belakang. Tapi, dia tidak menemukan apa-pun.

Hal itu membuatnya mencari-cari benda lain yang sekiranya bisa digunakan untuk membuka lubang kunci. Di meja, di kursi, di kamar, di lemari, di gudang. Dia menyelusuri satu-persatu. Tanpa sadar, Dean mengulur waktu cukup lama. Hampir tiga puluh menit dia berusaha mencari cara. Tapi, tidak ada. Dia juga tidak bisa memanggil seseorang karena dia tidak memiliki ponsel.  Dean tidak bisa keluar meninggalkan Eliza. Bisa jadi Ivan masih di sekitar sana dan menunggu waktu yang tepat.

Terlintas di kepala Dean untuk menjebol pintu itu dengan kapak yang ada di gudang. Jadi, Dean kembali ke gudang dan mengambil kapak.

Di saat dia akan kembali ke lantai atas, Dean mendengar suara ponsel berdering. Dean segera mencari sumber suara itu. Dia menuju ke arah sofa. Ternyata, di sana ada sebuah ponsel yang cukup tidak asing bagi Dean. Itu adalah ponsel Eliza. Dan sebuah nomor tidak di kenal memanggil.

Dean segera mengangkat panggilan itu.

"Hallo, Dean."

Dean langsung membulatkan mata. "Kau?!"

"Bisa lihat pesan masuk yang kukirimkan?" Suara Ivan terdengar bersamaan dengan suara kendaraan berlalu-lalang. Kemungkinan besar, dia sedang ada di jalanan. Setelah mengatakan itu, Ivan mematikan panggilannya.

Dean segera melihat apa yang Ivan kirimkan. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat lampiran foto yang di kirimkan Ivan.

Di sana, si kembar dalam keadaan tidak sadarkan diri. Mulut mereka ditutup dengan plester dan sepertinya mereka dalam keadaan diborgol, entah kaki atau tangan. Mereka memejamkan mata di jok belakang mobil. Masing-masing kepala mereka memar dan berdarah. Di sana juga dilampirkan tulisan :

Datanglah ke silo. Sampai jumpa.

Dean langsung meremas ponsel itu. Tiga puluh menit. Bagaimana bisa Ivan melakukan semua itu dalam kurun waktu tiga puluh menit? Dan dia sangat keparat. Harusnya, Ivan tidak perlu menyeret anak-anak tidak bersalah itu.

Dengan segera, Dean mencari kontak Detektif Fenil di ponsel Eliza. Tapi, Eliza tidak menyimpannya. Dean juga tidak hafal nomor polisi. Jadi, satu-satunya yang bisa membantu saat ini adalah Edgar. Dia pasti akan mengerahkan personel kepolisian. Tapi jika begitu, bukankah Ivan akan tertangkap?

"Persetan!" Dean menggeram. Dia sudah tidak tahu harus berbuat apa lagi. Jika Ivan tidak berakhir, maka dia akan mengakhiri orang lain. Tapi, membuat seseorang yang berharga baginya berakhir begitu saja merupakan hal yang berat bagi Dean. Dia memang egois sebenarnya.

Dean segera menghubungi Edgar. Tidak perlu waktu lama supaya panggilan itu terhubung.

"Hallo, Dean?! Kenapa lama sekali tidak menghubungiku? Ada apa? Kalian menyerah?" Suara Edgar terdengar dari balik ponsel itu.

"Tuan, tolong buka foto yang kukirimkan." Dean berkata dengan serius.

"Ada apa?!" Edgar tersentak.

"Kami dalam masalah. Kami menemukan pelaku dan dia... ternyata sepupuku. Dia menawan Eliza, tapi sekarang Eliza baik-baik saja. Lalu, kali ini dia membawa si kembar. Dia bilang kalau dia akan pergi ke silo detat perbatasan."

"Dimengerti. Kami akan bergerak cepat dan menghubungi ayah mereka. Jika bisa, kau datanglah ke kantor polisi."

"Aku akan ke sana!" seru Dean. "Maksudku, silo."

"Jangan gila, kau--"

Dean mematikan ponsel itu. Dia baru ingat kalau Ivan masih memiliki akses ke ponsel Eliza. Ada kemungkinan kalau Ivan tahu jika Dean memanggil Edgar, maka dia akan mengubah posisinya.

Dean tidak bisa basa-basi lagi. Dia segera memasukkan ponsel itu ke sakunya dan kembali pergi ke lantai atas menaiki tangga. Tangan kirinya memegang senapan laras panjang yang direbutnya tadi, sedangkan tangan kanan dia gunakan untuk memegang kapak.

"Eliza, mundur dari pintu," kata Dean.

"Apa? Kenapa?" Suara Eliza terdengar dari balik pintu itu.

"Mundur saja! Gue yakin nggak bisa dobrak pintu ini. Tapi ini masih bisa dijebol dengan sesuatu. Jadi, lo mundur aja."

Eliza mengangguk di dalam sana.

Dean mulai mengayunkan kapaknya ke pintu itu berkali-kali. Sebenarnya, dia tidak ingin melakukannya karena rumah ini adalah milik Daniil. Bukan milik Ivan. Tapi, rasanya tidak ada cara lain.

Setelah puluhan kali mengayunkan kapak ke pintu kayu itu, pintu itu kini telah jebol. Dean meletakkan kapaknya dan membongkar satu-persatu patahan di pintu itu sehingga Eliza bisa keluar.

Namun, ketika Eliza keluar, dia terus menatap Dean tanpa berkata apa-pun selama beberapa saat.

"Kita harus pergi. Ayo! Dia membawa si kembar ke silo. Kita nggak bisa diem aja." Dean menarik lengan Eliza. "Eliza--"

"Kenapa lo separah ini, Dean?" Eliza berbicara sambil berlari digandeng Dean.

"Luka ini, dan darah?" Dean memastikan.

"Ya."

"Dia memukulku dengan botol wine. Lalu terjatuh dari lubang udara. Jari-jari gue terluka karena membongkar lubang udara. Terus masih berkelahi dengannya. Apa darah gue banyak?"

Eliza mengangguk. "Nggak mau ke rumah sakit dulu?"

Dean menggeleng. "Gue nggak apa-apa. Kita enggak ada waktu."

"Mau pakai apa ke sana?"

Dean menghentikan langkahnya tepat di anak tangga paling bawah.

"Apa kita harus cari bantuan? Kita nggak punya sepeda atau semacamnya. Lari ke perbatasan perlu waktu sekitar dua jam," lanjut Eliza.

"Ivan nggak akan membuat kita buntu, Eliza. Asal kita memiliki kemauan, dia pasti akan memberi celah entah bagaimana caranya. Dia pergi ke sana, artinya dia ingin kita mengejarnya. Dan dia pasti memberi celah supaya kita bisa sampai ke sana. Kita bisa menemukan celah itu jika kita berusaha dan berfikir."

"Dean..."

"Karakteristik ini mirip sama kakek gue. Hal itu membuat gue sadar kalau mau bagaimana-pun, darah yang mengalir di tubuhnya merupakan darah yang sama dengan gue."

"Jadi, dia memberi celah. Bagaimana jika celah itu adalah kesempatan buat keluar dan meminta bantuan dari orang lain?"

Dean menggeleng. "Entahlah. Mari kita periksa pintu."

Dean melepaskan lengan Eliza. Dia berjalan ke arah pintu di depannya. Lalu ada pintu lagi sampai beberapa kali sebelum dia berada di pintu depan.

Dean menyentuh kenop pintu itu dan terbuka dengan mudah. "Tuh, nggak terkunci."

"Jadi, kita keluar sekarang?" tanya Eliza.

Dean mengangguk. Dia memutar kenop pintu itu. Pemandangan di luar sudah cukup sore. Entah bagaimana waktu berlalu begitu lama. Lingkungan perumahan ini sepi, tidak seperti dulu ketika Dean pertama ke sana. Tidak ada tukang gosip di sepanjang jalan.

Pagar rumah terbuka meski sedikit. Eliza memutar. Dia melihat ke arah bagasi. Mobil yang awalnya dia lihat, sudah tidak ada di sana. Hanya ada motor milik Ivan.

Perhatian Dean justru teralihkan ke semak-semak hias yang ada di pekarangan. Ada sesuatu yang berisik di sana. Seseorang mungkin?

Dean mendekatinya sambil mengangkan senapan yang diambilnya dari Ivan. Benar saja, semak-semak itu bergerak.

"Siapa di sana?" Dean mengarahkan senapan itu ke arah semak. Siapa tahu itu kaki tangan Ivan atau mungkin orang jahat lainnya. "Bagaimana kalau--"

"Sorry, sorry, sorry.  Kami hanya bersembunyi!" Seorang anak laki-laki keluar dari balik semak-semak itu di susul beberapa yang lainnya. Anak itu tidak asing bagi Dean. Dan entah berapa kali wajahnya terpampang di mana-mana.

"Ren! Tolol!" Dean berdecak sebal dan menurunkan senapannya. "Apa yang lo lakuin di sini?!"

"Harusnya gue yang tanya begitu." Ren menyipitkan matanya. "Dan lo kenapa?"

"Jawab pertanyaan gue dulu, nanti baru gue jawab pertanyaan lo," kata Dean.

Ren tertawa kecil. "Sebenernya itu... pemilik rumah ini menghabiskan stock wine di toko. Menyebalkan."

"Jadi, lo pengen nyolong wine dia?"

Ren hanya tertawa canggung.

"Pemilik rumah ini adalah pembunuh. Lo bisa dicincang kayak gue."

"Kami... nggak jadi, sih. Tadi kami melihatnya pergi dan sepertinya nggak ada orang lagi di dalam. Tapi ternyata ada lo. Dan bagaimana bisa lo begini? Apa ini acara prank atau semacamnya?"

"Anak ini!" Eliza tiba-tiba muncul. "Gue aduin ke nenek lo. Lo tukang mabuk, tukang nyolong lagi!"

"Kalau gitu, gue aduin lo karena bobol rumah orang." Ren menyeringai.

"Sudah gue bilang, kami diculik pembunuh berantai." Dean menepuk jidatnya.

Eliza menghela nafas panjang. "Pokoknya, kami dalam masalah serius. Jadi, please, pinjami kami sepeda atau apalah gitu. Nanti gue nggak akan ngasih tahu ke nenek lo masalah ini."









Continue Reading

You'll Also Like

Ace. By hiatus.

Fanfiction

80K 10.9K 42
argy bargy after story. 25 Nov, 2021.
736K 30.6K 32
[ WARNING 21+ || 1st Book of Evanesce || COMPLETE STORY] "Kita terbakar layaknya kembang api, tetapi hanya abu yang tersisa" - Min Yoongi "Hasrat yan...
137K 6.3K 37
Sebulan menjelang pernikahan Irene dan Eliot, Wira mendatangi Irene untuk menyatakan cinta yang kesekian kalinya. Dan lagi-lagi ditolak. Merasa putus...
7.4K 771 23
PERINGATAN CERITA INI MENGANDUNG DOSA YANG MEMBUAT KALIAN BERPRASANGKA BURUK DAN MENERKA NERKA!!! Profesional, dia Sabrina Ciptanesia. Ketika harus b...