Dark Angel [END]

Autorstwa anna_minerva

137K 27.4K 1.7K

"Kadang kala, kau akan menemukan manisnya cinta dalam setiap tarikan napas seorang pendosa" -Dark Angel- *** ... Więcej

BAB 1 - Anastasya
BAB 2 - Korban Pertama
BAB 3 - Detektif Kembar
BAB 4 - Vicky
BAB 5 - Petunjuk Pertama
BAB 6 - Bunuh Diri?
BAB 7 - Selingkuhan
BAB 8 - Bullying
BAB 9 - Kecelakaan yang Disengaja
BAB 10 - Taksi Biru dan Sebuah Obat
BAB 11 - Surat Dari Igrid
BAB 12 - Siapa Mirai?
BAB 13 - Pencarian
BAB 14 - Kisah Si Genius
BAB 15 - Petunjuk Baru
BAB 16 - Daerah Gunung
BAB 17 - Rahasia Rumah Tua
BAB 18 - Buku Diary Tersobek
BAB 19 - Siapa Dia?
BAB 20 - Album Lama
BAB 21 - Mengumpulkan Kejanggalan
BAB 22 - Sampai Jumpa, Gadisku
BAB 23 - Bertanya Pada Ferida
BAB 24 - 1994
BAB 25 - Aku Yang Sesungguhnya
BAB 26 - Menerima Takdir
BAB 27 - Petunjuk Dari Dokter Yelena
BAB 28 - Menggeledah
BAB 29 - Ancaman
BAB 30 - Penembakan
BAB 31 - SDN Janggala
BAB 32 - Cinta Pertama
BAB 33 - Bukti
BAB 34 - Secarik Kertas
BAB 35 - Penyusup
BAB 36 - Keyakinan
BAB 37 - Kekalahan?
BAB 38 - Julia Kecil
BAB 39 - Si Bedigasan
BAB 40 - Siapa Vanya?
BAB 41 - Seseorang yang Terlupakan
BAB 42 - Perpustakaan
BAB 43 - Penembakan (Lagi)
BAB 44 - Pria Bertopeng
BAB 45 - Kecurigaan Tersembunyi
BAB 46 - Perkelahian
BAB 47 - Bayangan
BAB 48 - Setitik Asumsi
BAB 49 - Terlambat
BAB 50 - Iris
BAB 51 - Tidak Ada Kata Terlambat
BAB 52 - Kembali
BAB 54 - Masa Lalu Itu
BAB 55 - Deklarasi
BAB 56 - Ambigu
BAB 57 - Ruang Bawah Tanah
BAB 58 - Cerita dan Segalanya
BAB 59 - Mirai dan Segalanya
BAB 60 - Pengungkapan
BAB 61 - Pertarungan dan Jawaban
BAB 62 - Permintaan
BAB 63 - Pertaruhan Terakhir
BAB 64 - Sampai Jumpa
BAB 65 - Usai
BAB 66 - Sesuatu yang Berharga
Epilog
Hallo, Kak !
-Sekadar Menyapa (dan curhat)-

BAB 53 - Kenyataan

1.3K 359 5
Autorstwa anna_minerva

Jangan lupa vote sebelum baca 🌟🙌

***

Pada akhirnya, Eliza dan Syahnaz tidak bisa mengumpulkan surat permintaan maaf tersebut jika belum lengkap.

Cukup aneh bagi seorang gadis seperti Tessia untuk tidak masuk sekolah. Apalagi dalam status alfa dan bersamaan dengan murid-murid yang lainnya. Sangat janggal. Tapi, Eliza tidak ingin ambil pusing.

Gadis itu menghela nafas kasar. Dia melirik jam tangannya. Sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Hideo belum kembali dari tempat pencukuran rambut itu. Dia meninggalkan Eliza sendirian di dalam mobil dengan baju seragam sekolah yang masih membalut tubuhnya.

Entah sampai kapan dia harus diantar-jemput seperti ini. Belakangan ini, papanya agak keras dalam menghadapinya. Tentu saja karena video perkelahian itu, nilai-nilainya yang turun dan dia banyak keluar rumah belakangan ini. Andai saja Eliza bisa menceritakan semuanya, pasti papanya akan mengerti kondisinya. Tapi, hal itu haruslah membahas tentang statusnya sebagai anak angkat belaka.

Saat Eliza sedang menatap ke luar jendela mobil, dia seperti melihat sesuatu yang tidak asing baginya.

"Tessia?" Dia bergumam pelan.

Itu adalah Tessia. Gadis itu mengenakan baju rumahan biasa yang dilapisi dengan hoodie merah muda. Dia bersama seorang pemuda dengan hoodie yang sama. Eliza yakin kalau itu adalah Alex. Mereka ada di seberang jalan dan sepertinya hendak pergi dari sana.

"Untuk apa Tessia bolos dan berduaan dengan Alex di tempat seperti ini?! Apa dia lupa akan surat permintaan maaf itu?!" Eliza berdecak sebal.

Dia segera membuka mobilnya dan menemui Tessia.

"Tessia!" serunya.

Tessia menoleh. Alex-pun sama. Tapi, sepertinya mereka tetap berusaha beranjak dari sana tanpa peduli Eliza yang ingin mengejarnya.

Eliza perlu menunggu sampai jalanan sepi untuk menyeberang. Tentu saja akan memakan waktu lama. Apalagi dua orang itu seakan tidak memperhatikannya. Mereka sudah berjalan lurus dari sana. Tapi, Eliza tahu jika sesekali pandangan Tessia masih tertuju padanya.

"Hey, dengar! Tessia!" Eliza terus memanggilnya.

Setelah jalanan benar-benar lenggang. Eliza langsung menyeberang ke seberang jalan. Tessia sudah lumayan jauh dari sana. Tapi Eliza harus terus mengejarnya demi surat permintaan maaf itu. Itu merupakan tanggungan yang harus Eliza selesaikan, tapi terhambat karena Tessia.

"Tessia! Surat! Lo tahu, gue sama Syahnaz repot gara-gara lo!" Eliza memanggil.

Tessia menoleh samar. Tapi, Alex segera pergi dari sana---seolah tidak ingin berjumpa dengan Eliza saat itu.

"Dasar babunya Iki." Eliza menghela nafas panjang.

Kedua remaja itu sudah sempurna menghilang dari hadapan Eliza. Tidak mungkin lagi mengejar mereka. Hal itu membuat Eliza segera membalikkan badannya. Dia kembali menyeberang jalan dan kembali ke tempat mobil Hideo berada tadi.

Namun, hal sial kembali menimpa dirinya. Mobil hitam itu sudah sempurna lenyap dari sana. Eliza hanya bisa mengumpat dalam hati. Hal ini terjadi karena Hideo mengira bahwa Eliza berusaha untuk kabur lagi. Jadi, dia memutuskan untuk langsung pulang tanpa tertarik mencarinya dulu. Dia pasti akan segera memberitahukan hal ini kepada papanya.

Tidak hanya itu, lokasi Eliza saat ini berada di daerah tengah kota. Sangat jauh dari posisi rumahnya. Hideo memanglah mencari tukang cukur yang terbaik. Tidak heran jika dia harus mengelilingi satu kota seperti itu.

Mungkin tidak ada pilihan lain kecuali ojek online untuk saat ini. Eliza mengambil ponselnya dari dalam tas. Saat dia hendak menghidupkannya, dia baru ingat kalau dia tidak mengisi daya ponselnya selama beberapa hari---setelah dia memutuskan untuk tidak menggunakan ponsel karena asumsi sadapan yang dipikirkannya. Kini ponsel itu sempurna mati.

Tiga kesialan. Belum lagi langit yang semakin menggelap dan angin-angin yang mulai bertiupan. Eliza yakin kalau hujan akan segera turun.

Benar saja, setelah beberapa saat dia berfikir seperti itu, hujan benar-benar turun. Entah untuk yang ke berapa kali baju seragamnya harus basah terkena air hujan. Terakhir kali saat di pertunjukan drama itu.

Eliza tidak memiliki pilihan lain selain berteduh sejenak. Dia berjalan cepat menuju kedai-kedai yang berjejer di sana. Entah bagaimana, langkahnya berjalan secara otomatis ke sebuah kafe.

Dari luar, alunan musik Für Elise telah menyentuh gendang telinga Eliza. Musik itu cukup membuatnya terenyuh. Mamanya bilang kalau nama 'Eliza' diambil dari plesetan 'Elise'. Mamanya memang menyukai musik ciptaan Beethoven itu.

Meski begitu, Eliza cukup tahu bahwa nama aslinya adalah Harada Kanae, sebagaimana salinan akta kelahiran yang Dean temukan di rumah Mirai tempo hari. Dia tidak tahu mengapa namanya diganti. Tapi setidaknya, itu lebih baik meski-pun ada beberapa orang yang memanggilnya Harada. Salah satunya adalah Pak Franz.

"Harada?"

Eliza menoleh ke belakang.

Sekali lagi, orang yang sama dengan yang dia temui kala hujan.

"Pak Van?" Eliza memanggil balik.

"Untuk apa kau di sini?" tanya Pak Van.

"Berteduh." Eliza menjawab singkat.

Pria itu hanya manggut-manggut.

Kondisinya tidak jauh berbeda dari Eliza. Pakaiannya basah, kopernya basah dan rambutnya juga basah. Bisa dipastikan jika dia juga meneduh di sana. Pria itu membawa sebuah handycam di genggamannya.

"Mengapa Anda di sini? Bukankah apartemen Anda di depan rumah si kembar?" tanya Eliza.

"Aku hendak menemui temanku di sini. Tapi, karena kondisinya seperti ini, sepertinya dia takkan datang." Pak Van menurunkan handycam yang dia bawa.

"Saya tak pernah mengerti mengapa selalu berjumpa dengan Anda di saat hujan." Eliza tersenyum kecut.

"Kenapa senyumanmu terlihat kecut? Kau sebal denganku karena tidak menerima surat permintaan maafmu?" Pak Van terkekeh.

"Ini karena Tessia. Saya melihatnya tadi. Dan dia menghindar," kata Eliza.

"Dia akan mempersiapkan diri untuk besok." Pak Van menghela nafas panjang. "Tidak hanya dia sih, tapi banyak murid yang akan melakukannya."

"Melakukan apa?" tanya Eliza.

"Demo. Mereka ingin Bu Seril turun."

"Ha?!" Eliza tersentak. "Bagaimana bisa?! Apa mereka tidak waras?"

"Biar saja. Mereka memiliki hak untuk menyuarakan pendapat mereka." Pak Van menyeringai. "Banyak orang yang tidak menyukai Bu Seril karena hal-hal aneh yang dia lakukan. Dan salah satu murid pemberani akan menghasut yang lainnya untuk menurunkan--"

"Biar kutebak," Eliza menyahut, "pasti Vicky."

Pak Van mengangguk.

"Anda tidak menghentikannya?" tanya Eliza.

"Mereka belum benar-benar melakukannya," kata Pak Van.

Eliza menyipitkan matanya. "Maaf, tapi saya akui bahwa Anda agak payah untuk menjadi konseling."

Pak Van meremas celananya. Dia menghela nafas dalam-dalam dan tetap berusaha tersenyum tulus. "Aku memang tidak niat... menjadi seorang guru. Ini hanya untuk ayahku."

Eliza agak ragu dengan pernyataan itu.

"Oleh karena itu, aku tidak nampak seperti guru, bukan? Aku lebih cocok menjadi teman kalian. Aku memang terlalu lembek untuk menghukum karena aku tahu bagaimana rasanya dibelenggu. Itu lumayan menyesakkan---jika kau mau tahu. Jadi aku harap, dengan melakukan apa yang mereka yakini bisa membuat murid-murid itu mendapatkan apa yang mereka inginkan. Lagi pula, tujuan mereka juga untuk kebaikan bersama. Aku tahu betul bagaimana watak Vicky. Dia memang aneh, tapi dia adalah orang yang baik dan selalu mementingkan kepentingan dan kebahagiaan bersama. Dia mampu membuat perubahan yang akan berdampak besar bagi generasi-generasi State Lighting selanjutnya, jadi dia melakukannya. Dia berani, berjiwa sosial, adil, pemimpin yang baik. Dia rela mengorbankan apa-pun, bahkan nama baiknya sekali-pun. Aku pernah dengar bahwa dia mengatakan, 'jika kita memiliki kesempatan untuk melakukan perubahan, mengapa tidak?'"

Eliza hanya bisa tertegun mendengar penjelasan panjang lebar Pak Van. Benar katanya. Dia lebih cocok menjadi bagian dari murid daripada guru. Mungkin dia agak naif, tapi dia mencoba mengerti beberapa hal yang tidak ingin dimengerti oleh orang lain.

"Maaf." Eliza menundukkan pandangannya.

"Tidak apa-apa." Pria itu tersenyum lebar. "Aku adalah guru konseling. Sepertinya pilihan untuk menjadi bagian dari murid adalah tepat. Maksudku, dengan watakku yang seperti ini, mereka akan lebih terbuka. Konseling bukan bekerja untuk menghukum murid nakal. Tapi kami menerima curahan keluh-kesah murid dan berusaha memberi jalan keluar."

"Anda benar," kata Eliza.

"Baik, Eliza. Sepertinya aku harus pergi karena ada urusan." Pak Van melirik ponselnya. "Kuingatkan padamu, besok demo itu akan digelar. Kamu jangan kaget jika ada banyak murid yang akan berbaris dan membawa spanduk di lapangan."

"Tapi, hujan ini?"

"Bukan masalah besar," kata Pak Van. "Baik-baiklah di sini sampai hujan reda."

Eliza hanya tersenyum menatap Pak Van. Pria itu kembali melangkah dari sana setelah meletakkan barang-barang yang dibawanya ke dalam koper. Dia nekat menerobos hujan yang sangat lebat itu. Sepertinya, ada hal penting yang harus dilakukan olehnya.

Setelah pria itu mengambil motornya, dia segera pergi dari tempat itu dengan kecepatan di atas rata-rata. Padahal hujan sangat lebat, ditambah lagi dengan angin kencang. Entah apa yang ada dipikirannya.

Setidaknya, karena perjumpaan Eliza dengan Pak Van ini, Eliza mendapatkan informasi jika Vicky akan melakukan hal sinting lagi.

Gadis itu hanya menghela nafas dalam-dalam dan menyandarkan tubuhnya di dinding kafe.

~~~

Hujan berhenti pukul setengah tujuh malam. Itu belum terlalu larut bagi Eliza. Tapi, mencari angkutan kala gerimis sangatlah sulit. Ia memerlukan waktu hampir satu jam untuk mendapatkan sebuah taksi.

Namun, bukan itu masalahnya. Masalah terbesar yang harus dia hadapi saat ini adalah papanya, Richard. Dia pasti akan marah dengan ini. Perkelahian Eliza di pentas drama sudah mencoreng nama baiknya. Lalu, dia kembali dibuat muak dengan Eliza yang sulit diatur. Pria itu sensitif belakangan ini. Itu semua karena keputus-asaannya akan putra tertuanya yang tidak kunjung mendapatkan titik terang.

Setelah sampai di depan rumah. Eliza gemetar untuk menyentuh knop pintu depan. Bagaimana jika tiba-tiba papanya ada di depannya dan menatapnya dengan pandangan tidak menyenangkan? Itu akan membuatnya benar-benar merasa tertekan.

Saat dia hampir mendorong knop pintu itu, seseorang menariknya dari dalam.

"Hideki." Eliza membelalak.

"Shttttt!" Hideki menaruh jarinya di bibir. "Lo dari mana?"

"Kak Hideo ninggalin gue. Tadi gue ngejar temen gue terus dia udah nggak ada," kata Eliza.

"Papa marah pada Kak Hideo dan mungkin pada lo juga." Hideki menelan salivanya. "Mendingan lo cepetan ke kamar deh."

Eliza mengangguk cepat. Dia segera melangkah masuk ke dalam.

Namun, langkahnya terhenti karena melihat papanya sudah ada di sana. Ekspresi sinis terukir di wajah pria itu.

"Eliza, kau habis dari mana?" tanya Richard.

"Itu Pa, dia--" Hideki menyahut.

"Diam kamu. Aku sedang tidak berbincang denganmu." Richard melangkah mendekati Eliza.

"Ini... aku mengejar temanku. Te-terus kayaknya Kak Hideo ngira kalau aku... kabur. Dia pasti mencariku saat itu dan aku berada lumayan jauh dari sana." Eliza menjelaskan dengan gemetar.

Di saat yang bersamaan, Hideo dan mamanya, Ayane menuju ke ruang depan.

"Maaf..." Eliza berdesis pelan.

"Kau tahu, karena video perkelahianmu itu, aku dianggap tak bisa mendidikmu. Aku juga sering berurusan dengan polisi karena kau terlibat dalam beberapa kasus pembunuhan. Itu benar-benar menyesakkan bagiku." Richard meremas tangannya.

"Eh, Eliza, ayo masuk dan makan." Ayane berusaha mencairkan suasana.

"Kau juga diam! Kau terlalu memanjakan anak-anak ini, Ayane," kata Richard. "Hideki yang tidak becus kuliah, Hideo yang kebanyakan tingkah dan kini Eliza. Itu karena kau memanjakan mereka."

"Aku?! Kau bilang ini karenaku?! Dasar bodoh! Lagi pula, ini bukan masalah besar! Kau hanya emosi karena Hisao tidak kunjung sadar, bukan? Lalu kau meluapkan emosi itu kepada orang lain."

Richard terdiam.

"Kau itu benar-benar memuakkan, Richard." Ayane tertawa sinis.

Richard meremas erat genggamannya. "Kau ini... tidak ada bedanya dengan Rima."

"Apa?!"

Eliza membelalakkan matanya. Ini adalah pertama kalinya kedua orang-tuanya menyebut nama Rima di hadapannya.

"Sudahlah Ma, Pa! Ini takkan menyelesaikan masalah!" seru Hideki. "Dan jika Papa kesal atas apa yang terjadi pada Kak Hisao, Papa tidak perlu menyeret emosi Papa ke masalah lain."

Ayane dan Hideki benar. Richard hanya terpengaruh atas kecelakaan yang menimpa putra tertuanya dan tentunya putra yang paling dia cintai. Oleh karena itu, emosinya meluap seperti ini. Dia mempermasalahkan hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu penting.

"Siapa yang menyuruh anak-anak ikut campur dalam masalah ini?! Katakan, Hideki!" Richard yang telah terbelenggu emosi langsung mencengkeram kerah baju Hideki.

"Hentikan!" Ayane berteriak sambil berlari ke arah Hideki. "Kau memuakkan!"

Wanita itu langsung menarik Hideki dari sana. Dia melindungi putranya di balik tubuhnya. Kedua bola matanya masih melotot ke arah suaminya yang kini juga menampilkan ekspresi yang sama.

Ini adalah pertama kalinya bagi Eliza melihat perkelahian kedua orang tuanya. Tapi, dia yakin kalau selama ini mereka berdua juga sering berkelahi. Hanya saja, Eliza tidak pernah melihatnya. Dan, bukankah ini semua karenanya?

"Kau boleh mencengkeramku, memukulku atau apa-pun itu. Aku akan tetap bertahan di sini. Tapi, jika kau melukai anak-anakku, aku akan pergi." Kedua bola mata Ayane mulai berkaca-kaca.

"Kau... menyebalkan," bisik Richard. "Harusnya, aku menuruti kata Russel untuk tidak menaruh harapan besar pada wanita asing sepertimu."

"Papa!" Hideki melotot.

"Russel itu... ayahku, bukan?" Eliza menyahut dengan air mata yang sudah berlinang dan senyuman kecut yang mengambang di bibirnya. "Dan Rima adalah ibuku, bukan?"

"Eliza, apa yang kau katakan?!" Ayane berjalan ke arah Eliza. "Kami tak mengerti."

"Aku juga tak mengerti mengapa aku ada di sini. Dan bagaimana bisa, aku yang bukan siapa-siapa ini selalu membuat kalian berada di dalam masalah," kata Eliza.

"Eliza." Richard menelan salivanya. "Itu tidak benar."

"Itu benar," kata Eliza. "Aku selalu membuat masalah. Membawa Papa ke kantor polisi, dicemooh rekan kerja dan masih banyak lagi. Beberapa orang mengatakan padaku kalau aku harus menerima kenyataan. Tapi, kenyataan apa yang harus kuterima? Apakah kenyataan bahwa sesungguhnya namaku adalah Harada Kanae? Apakah kenyataan jika Russel dan Rima adalah orang tuaku? Ataukah kenyataan jika aku memiliki seorang kakak laki-laki yang tidak pernah kalian duga sebelumnya?"

"Eliza..." Ayane dan Richard berkata serentak.

"Lihat, bukankah kalian yang tidak mengetahui kebenarannya?" Eliza menghapus bulir-bulir air matanya.

"Ini tidak seperti yang kau bayangkan," kata Richard.

"Aku sudah tahu banyak hal, Papa. Aku mencari tahu kebenarannya sendiri," kata Eliza. "Kau dan Russel adalah teman baik. Mama dan Rima adalah teman baik juga. Rima mengajak Mama untuk pergi ke sini dengan tujuan menemui kekasihnya---yang sebenarnya tidak mencintainya sama sekali---Russel. Mereka menikah karena perusahaan orang tua Russel memiliki banyak hutang dan keluarga Rima akan membantu banyak hal. Dan Mama membiarkan pernikahan antara Russel dan Rima terjadi padahal Mama tahu kalau Russel memiliki wanita lain bernama Namira. Tapi, aku paham betul mengapa Mama tidak berani melakukannya. Itu semua karena Mama tahu kalau Mama bukanlah siapa-siapa di mata Rima."

Isak tangis tidak bisa ditahan lagi. Ayane membungkam mulutnya erat-erat. Dia memang tahu jika Russel memiliki hubungan dengan Namira. Tapi, dia tidak pernah mengatakannya pada Rima karena dia merasa takut.

"Lalu, entah keajaiban apa yang membuat Papa dan Mama juga menikah di sini. Di dalam pernikahan itu, Mama sangat mengharapkan anak perempuan karena menganggap anak perempuan adalah berkat. Tapi, ketika Mama memiliki anak perempuan, dia meninggal. Di saat yang bersamaan Rima juga meninggal. Wanita itu meninggalkan dua anak perempuan. Dengan senang hati, Mama menerima salah satu dari mereka dan mencintainya lebih dari siapa-pun yang Mama miliki. Tapi, dalam hati Papa, sesekali masih menatapku sebagai anak orang lain, bukan?"

"Maaf... aku terlalu banyak mengatakan sesuatu yang sebenarnya harus dilupakan." Eliza tersenyum. "Aku akan menenangkan diri untuk sesaat, sama seperti biasanya."

Eliza membalikkan badan. Dia kembali melangkah keluar dengan baju yang masih setengah basah. Dia meninggalkan Ayane yang bersimpuh di lantai, Richard yang menahan tangisnya dan Hideki serta Hideo yang membisu.

Saat sudah berada di luar, Eliza melihat Vicky. Pemuda itu ada di sana dan sepertinya tahu apa yang terjadi. Dia bersandar di salah satu pilar depan rumah Eliza dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku.

Namun untuk saat ini, Eliza tidak akan banyak memperhatikan kakak anehnya itu. Dia langsung pergi begitu saja. Dia hanya ingin menenangkan diri dari guncangan yang dia buat sendiri.

"Jika kalian tidak ingin menampungnya lagi, biar dia tinggal bersamaku." Vicky menyerobot masuk ke dalam tanpa peduli keadaan.

"Apa?! Lo ini siapa?!" Hideki berseru.

"Aku anaknya Russel."

"Dia masih anak kami dan selamanya akan begitu." Richard mengusap air matanya. "Aku tak mengerti mengapa kalian tahu segalanya?"

"Karena kami bukan anak-anak lagi." Vicky tersenyum lebar. "Terima kasih banyak, Tuan Richard. Anda melindungi adikku dengan sangat baik."

"Aku menyanyanginya. Lebih dari sekedar yang kau ketahui." Ayane tersenyum.

"Tapi, kalian tidak mengerti apa-pun, sama seperti yang Eliza katakan tadi."

Richard, Ayane, Hideki dan Hideo terdiam.

"Apa-pun."

***

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

4.6M 473K 34
[SUDAH TERBIT DAN MASIH LENGKAP] *** "Semesta, bisakah segera kau akhiri semua lukaku? Aku lelah menghadapi cara bercandamu yang menyakitkan." - Clar...
7.4K 769 23
PERINGATAN CERITA INI MENGANDUNG DOSA YANG MEMBUAT KALIAN BERPRASANGKA BURUK DAN MENERKA NERKA!!! Profesional, dia Sabrina Ciptanesia. Ketika harus b...
1.3M 96.2K 73
"lo itu cuma milik gue Lia, cuma gue, gak ada yang boleh ambil lo dari gue" tekan Farel "sakit kak" lirih Lia dengan mata berkaca kaca "bilang kalo...
1.2K 384 20
Dia seorang siswi biasa yang menyukai kakak seniornya yang cuek tapi karismatik, dan populer di sekolahnya, mampukah dia menyampaikan sukanya kepada...