Beauty Psycho (END)

By Yayaaaaa__5

179K 29.8K 1.6K

[Mengusung tema mental health pada tokohnya. Ada plot twist dan teka-teki yang membuat Anda mikir.] CERITA IN... More

Prolog
TPB 1 : Pertunjukan Menarik
TPB 2 : Elisha Laudya
TPB 3 : Kelinci Kecil
TPB 4 : Bertemu Gadis Bernama Airin
MPG 5 : Sahabat Bayaran
MPG 6 : Pertemuan Di Kafe
MPG 7 : Sean Pradipta
MPG 8 : Masa Kelam
MPG 9 : Antara Rahasia dan Penyesalan
MPG 10 : Tertekan
MPG 11 : Mimpi Itu Lagi
MPG 12 : Kelompok
MPG 13 : 6 Bulan
Beauty Psycho 14 : Diskusi
Beauty Psycho 15 : Teringat Sesuatu
Beauty Psycho 16 : Hal Yang Memalukan
Beauty Psycho 17 : Body Shaming
Beauty Psycho 18 : Perselisihan Kecil
Beauty Psycho 19 : Apartemen Nia
Beauty Psycho 20 : Tekanan dan Rasa Penasaran
Beauty Psycho 21 : Kebingungan Sean
Beauty Psycho 21 : Dihantui Masa Lalu
Beauty Psycho 23 : Kecurigaan Sean
Beauty Psycho 24 : Pemakaman
Beauty Psycho 25 : Permasalahan Yazen
Beauty Psycho 26 : Cherophobia
Beauty Psycho 27 : Yazen Yang Menyebalkan
Beauty Psycho 28 : Saling Menatap Tajam
Beauty Psycho 29 : Elena Yang Tiada
Beauty Psycho 30 : Bertemu Rivan dan tunanganya.
Beauty Psycho 31 : Kebencian Sean
Beauty Psycho 32 : Pesan Misterius
Beauty Psycho 33 : Berita Koran
Beauty Psycho 34 : Kode Aneh
Beauty Psycho 35 : Sisi Lain Netta
Beauty Psycho 36 : Penyusup Misterius
Beauty Psycho 37 : Memecahkan Kode (1)
38. Beauty Psycho : Memecahkan Kode (2)
Beauty Psycho 39 : Kematian Elisha
Beauty Psycho 40 : Tertangkap
Beauty Psycho 41 :
Beauty Psycho 42 : Arti Pesan SMS
Beauty Psycho 43 :
Beauty Psycho 44 : Pertanyaan Sean
Beauty Psycho 45 : Bunuh Diri atau Menyelamatkan diri?
Beauty Psycho 46 : Usut Punya Usut
Beauty Psycho 47 : Peringatan
Beauty Psycho 48 : Undangan
Beauty Psycho 49 : Elisha Pemicu Keretakan Alexander
Beauty Psycho 50 : Mengunjungi Ana
Beauty Psycho 51 : Elisha Inginkan Kekuasaan
Beauty Psycho 52 : Apartemen Ana (2)
Beauty Psycho 53 : Kecupan Manis
Beauty Psycho 54 : Anak Lain Edison
Beauty Psycho 55 :
Beauty Psycho 56 : Menyelinap Masuk
Beauty Psycho 57 : Saudara Lain Elisha
Beauty Psycho 58 : Don Alexander
Beauty Psycho 59 : Pertemuan Korban dan Pelaku
Beauty Psycho 60 : Menginap
Beauty Psycho 61 : Bubur Buatan Ana
Beauty Psycho 62 : Kedatangan Nathan
Beauty Psycho 63 : Rumah Sean
Beauty Psycho 64 : Sean, Si Cowok Pasif
Beauty Psycho 65 : Kesalahpahaman Manis
Beauty Psycho 67 : Tamparan
Beauty Psycho 68 : Rumah Makan
Beauty Psycho 69 : Menelisik Lebih Dalam
Beauty Psycho 70 : Diikuti
Beauty Psycho 71 : Perseteruan Para Tetua
Beauty Psycho 72 : Pertemuan
Beauty Psycho 73 : Cerita Masa Lalu Dion
Beauty Psycho 74 : Sosok Dibalik Itu
Beauty Psycho 75 : Hans William
Beauty Psycho 76 : Kecelakaan Mobil
Beauty Psycho 77 :
Beauty Psycho 78 : Penawaran Menarik
Beauty Psycho 79 : Sang Tuan Rumah
Beauty Psycho 80 : Untuk Waktu Kedepannya
Beauty Psycho 81 : Selingkuhan Erika
Beauty Psycho 82 : Keberadaan Syina Pradipta
Beauty Psycho 83 : Satu Nama Terungkap
Beauty Psycho 84 : Hotel (1)
Beauty Psycho 85 : Hotel (2)
Beauty Psycho 86 : Skandal Si Beauty Psycho
Beauty Psycho 87 : Burung Kedasih
Beauty Psycho 88 : Ancaman Edison
Beauty Psycho 89 : Skandal Perselingkuhan
Beauty Psycho 90 : Ada Apa Dengan Anjing?
Beauty Psycho 91 : Dibalik Segala Rencana
Beauty Psycho 92 : Password Brankas
Beauty Psycho 93 : Terkumpulnya Nama Tersangka Dan Bukti
Beauty Psycho 94 : Awal Kelahiran Elena
Beauty Psycho 95 : Identitas Asli
Beauty Psycho 96 : Mendapatkan Kembali Hak Yang Direbut
Beauty Psycho 97 : Menyelesaikan Segalanya
Beauty Psycho 98 : Menyerah Atau Memaksa Diri Untuk Kalah (END)
Epilog
Ekstra Part

Beauty Psycho 66 : Mario William

1.1K 228 10
By Yayaaaaa__5

Edison menatap sekretarisnya dengan tatapan mengintimidasi. Ia mendengus dingin dan menginterupsi sekretaris-nya itu agar melanjutkan kalimatnya yang sebelumnya tertunda.

Sekretaris lelaki itu melanjutkan perkataannya dengan sedikit gugup. "Pukul 7 pagi ini Nyonya Erika bertemu dengan Tuan Pradipta di sebuah restoran cepat saji."

Sekretaris itu lalu menceritakan lebih detail dan memberikan bukti yang jelas berupa rekaman kamera pengawas dan foto yang diambil anak buah Edison yang lainnya.

Edison sekali lagi mendengus, ia lalu menyuruh lelaki dihadapannya untuk keluar. Edison mengusap wajahnya dengan gusar. Lelaki itu lalu mengambil ponsel dan mencari kontak Erika.

"Halo, tumben menelpon ku."

"Kau di mana tadi pagi?" tanyanya dingin dengan suara berat.

"Hah? Apa maksudmu?"

"Pukul 7-8 pagi. Jelaskan ini Erika!" Edison menggeram marah. Mengapa Erika tidak bisa mengerti bahwa ia tidak menyukai anggota keluarga Pradipta.

"Ah, itu ... aku menemui Martin."

Jawaban Erika sanggup membuat dada Edison memanas. Walaupun ia tidak mencintai wanita itu, Erika tetaplah seseorang yang menemaninya sedari kecil.

Melihat bagaimana lancangnya teman kecilnya ini dengan berkomunikasi dengan orang ia benci, Edison tidak bisa menahan gejolak kesalnya.

"Maaf, Tuan. Seseorang sedang mencari Anda. Katanya ini sangat penting dan beliau tidak bisa diusir." Sekretaris culun Edison tiba-tiba masuk sambil menunduk membuat Edison berdecak.

"Siapa seseorang yang lancang itu!?" Suasana hati Edison sedang tidak baik, ditambah dengan orang asing tidak diundang tiba-tiba ingin menemuinya.

Dengan malas, Edison bertanya, "Siapa orang itu?"

"Itu saya!" Dibelakang sekretaris berumur 29 tahun itu, tiba-tiba menyelinap seorang seorang lelaki muda yang tersenyum manis membuat mata Edison terbelalak.

"Kau!?" tunjuknya kepada lelaki itu. Kejutan apa lagi ini. Sungguh, Edison jadi sakit kepala karena ini.

"Untuk apa Tuan Pradipta berada di sini?" tanya Edison sinis.



***

Sean memejamkan mata, tanpa ia sadari tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras ketat. Pemuda itu lalu menatap Elisha yang masih bersimpuh dengan tatapan tidak terima.

Ia lalu berjalan mendekati Elisha dan menariknya untuk berdiri membuat gadis itu menoleh. "Ayo kita pulang." Suara Sean terdengar berat dan dingin membuat Elisha merasa bahwa pemuda itu marah.

Jika Sean tahu bahwa hal ini terjadi, dia tidak akan menyetujui permintaan Elisha untuk datang ke kediaman ini. Bagaimana bisa, antar keluarga bicaranya seperti ini?

Apa tadi? Jadi anjing? Elisha sudah gila!? Gadis itu terlalu berani dengan wajah kalemnya itu. Sean lalu kembali menarik tangan Elisha.

Elisha menatap Sean kesal lalu ia berkata, "Apa sih?" Nada rendah yang sarat akan rasa kekesalan gadis ini.

Sean berdecih lalu mencengkram erat pergelangan tangan Elisha dan menariknya keluar dari ruangan meninggalkan Mario yang masih membeku ditempat.

Elisha meringis, cengkraman tangan Sean menyakiti pergelangan tangannya yang kurus. Ia lalu menghentakkan tangan Sean beberapa kali hingga terlepas.

"Ck!"

Sean berdecak dengan wajah yang kentara sekali menahan amarah. Ia tidak suka harus membuat Elisha merendahkan diri hanya untuk mencapai tujuan mereka berdua.

"Lo gila!?" Sean menahan diri agar tidak mengumpat. Nafas Elisha dan Sean sama-sama memburu dan mereka dikuasai oleh ego masing-masing.

"Iya, gue gila!" balas Elisha, tak bisa menyembunyikan lagi wajah penuh kekesalannya. Usahanya bisa sia-sia gara-gara Sean. Elisha sudah cukup menanggung resiko dengan membawa pemuda ini ke sini.

Sean mengacak rambutnya frustasi. Ia rasanya ingin menendang benda yang ada disampingnya jika tidak mengingat bahwa Elisha bisa saja ketakutan akan apa yang ia perbuat.

"Sha ... please, nggak gini cara kita untuk mendapatkan yang kita berdua mau." Sean memegang kedua bahu Elisha dan berkata dengan lembut, mencoba meredam emosi Elisha.

Mereka berdua tengah diselimuti dengan emosi masing-masing.

Elisha memalingkan wajah, tak ingin menatap wajah gusar Sean yang malah semakin menghantui benaknya.

Sean marah kepada dirinya sendiri. Ia tidak bisa banyak membantu mencari informasi karena keluarga Alexander itu begitu tertutup hingga ia tidak bisa mencari setitik cela.

Elisha menghela nafas, ia lalu melepaskan tangan Sean yang bertengger di bahunya secara perlahan. "Terkadang ..., berlutut memohon bukan berarti kita hina, melainkan menunjukkan rasa bahwa lo masih bisa menurunkan ego untuk kepentingan bersama, Sean."

Gadis itu jadi bingung bagaimana memikirkan cara agar Sean tidak bisa berbicara dan mengeluh. Tapi sayangnya, itu bukanlah kuasa yang bisa ia kendalikan.

Sean mendengus lalu menggeleng tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Lihatlah bagaimana lucunya mendengar Elisha yang mengatakan kalimat seperti itu. Gadis itu terlihat sekali putus asa.

"Lo dan gue harus menjaga harga diri sampai permainan ini berakhir, Sha. Gue ..." Sean kembali mengepalkan tangannya hingga kuku-kukunya memutih, "gue nggak suka lo bersimpuh seperti orang putus asa, Elisha." Sean berkata sehalus mungkin. Tak ingin menyinggung gadis dihadapannya.

"Seperti yang lo bilang sebelumnya, lo mungkin tokoh utama di kisah lo sendiri, tapi nggak menutup kemungkinan lo tokoh antagonis di kisah kehidupan orang, bukan? Kehidupan itu seperti ini Elisha."

Elisha tertegun, tiba-tiba darahnya berdesir dan hatinya menghangat mendengar kalimat menenangkan dari seseorang yang ia sukai.

Gadis itu menunduk pasrah. "Gue udah terlalu lama berada di puncak gunung hingga gue lupa bagaimana rasanya berjuang mati-matian buat mendaki gunung itu sendiri, Sean," jawabnya lirih.

"Gue rasa ..." Elisha menatap tangan Sean yang mengepal erat lalu menggenggamnya membuat Sean terhenyak kaget. Gadis itu mengusap-usap punggung tangan itu hingga kepalannya melonggar.

Elisha mendongak dan menatap Sean dengan tatapan meneduhkan. "nggak ada salahnya kalau gue mengulang semuanya, bukan?"

Sean terhenyak, tiba-tiba jantungnya berdebar hingga debarannya memasuki indera pendengarannya. Senyuman manis gadis itu membuat Sean merasakan dadanya menghangat.

Sean lalu berdehem, dan menatap Elisha. "Mengapa lo nggak memilih mempertahankan apa yang lo punya saat ini?"

Elisha terkekeh kecil lalu menggeleng. "Gue takut." Elisha menghentikan tawanya lalu berujar sembari mengalihkan pandangan dari Sean.

"Takut?" beo Sean membuat Elisha mengangguk. "Gue takut gue terlalu tamak dengan apa yang gue punya hingga gue memilih tetap diam dan bungkam selamanya."

Elisha harap, Sean tidak mengerti makna dari apa yang ia katakan sebelumnya. Karena, Elisha tidak ingin semuanya terbongkar sebelum waktu Elisha rela untuk mempertanggungjawabkan semua hal.

Sean terdiam selama beberapa detik. Pemuda itu menatap Elisha yang masih bungkam. Ia lalu menatap tangannya yang masih digenggam gadis itu.

"Kalau begitu? gimana kalau gue yang mengingatkan lo tentang bagaimana perjalanan rumit itu? Elisha, jadikan gue teman seperjalan saat lo mendaki gunung," kata Sean sembari menyunggingkan senyum tipis.

***

"Gue masuk dulu, gue mohon lo nunggu di sini aja." Elisha menahan Sean dengan wajah serius membuat Sean menghela nafas, tidak bisa berbuat apa-apa.

"Kalau ada apa-apa, lo bisa teriak." Memilih untuk mengalah, Sean menjawab dengan pasrah sembari mewanti-wanti Elisha agar gadis itu memanggilnya jika ada sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi.

"Oke, lo tenang aja. Hubungan gue dan Paman Mario baik-baik aja. Dia nggak akan membuat gue terluka." Elisha membalikkan badan dan kembali berjalan menuju ruang kerja Mario meninggalkan Sean yang dilingkupi rasa khawatir.

Gadis itu menarik nafas gugup lalu memasuki ruangan itu dengan tenang. Ia membeku sekejab saat melihat tatapan Mario yang mengarah kepadanya.

Gadis itu lalu menutup pintu tanpa menguncinya kemudian tersenyum miring sambil duduk dengan anggun di sofa tak jauh dari Mario duduk.

"Lama tidak bertemu, Paman," sapanya, tersenyum hangat.

Mario tersentak dari keterkejutannya lalu mengangguk kecil. "Lama tidak bertemu, keponakanku." Lelaki itu tersenyum canggung.

Mario terkekeh renyah. "Tidak menyangka sapaanmu tadi mampu membuatku terkejut, Elena." Lelaki itu mengungkapkan kekagetannya.

Sungguh, Mario benar-benar tidak menyangka cucu kandung satu-satunya dari ayahnya yang telah meninggal akan membuat kejutan seperti ini setelah lama tidak bertemu.

Elisha terkekeh, ia menutupi mulutnya dengan tangannya secara anggun. "Maaf mengejutkan Paman. Sungguh, saya sangat malu untuk sebelumnya."

"Ah?" Mario tidak bisa berkata-kata. Ia lalu melepaskan kacamatanya dan menutup laptop kerja secara cepat. Lelaki itu lalu menginterupsi agar Elisha mendekatkan dirinya.

Elisha tidak menjawab tetapi gadis itu lalu mengambil sebuah kursi kayu dipojok ruangan lalu meletakkannya didekat pamannya itu.

Gadis itu berdehem. "Sebelumnya, saya meminta maaf akan kekurang ajaran saya dengan cara mengusir Paman yang mengunjungi saya."

Elisha menunduk kecil sembari menelisik ingatannya dulu. Setelah kematian kakeknya, Elisha bahkan tidak menghadiri pemakaman saking terpukulnya.

Gadis itu juga mengusir Mario secara halus dengan tidak menemuinya hingga saat ini ketika lelaki itu mengunjungi dirinya.

Elisha jadi menyesal bertingkah seperti itu. Ia merasa kembali sendirian dan memilih meninggalkan sebelum kembali ditinggalkan.

"Juga ... untuk ketidaksopanan saya hari ini karena menerobos masuk ke ruang kerja Paman."

Memohon dengan wajah kalem tetapi suara yang terdengar putus asa seperti ini, siapa yang tidak luluh coba? Mario tersenyum lembut, ia lalu mengangguk.

Mario tidak memiliki anak, istrinya yang menemani lelaki itu di bahtera rumah tangganya telah berpulang ke sisi Tuhan saat usia pernikahan mereka baru yang ke-5 tahun.

Saat itu, kandungan istrinya memang lemah hingga lima tahun membangun rumah, istrinya mengalami 3 kali keguguran.

Itu sebabnya, ia sangat menyayangi anak dari kakak perempuannya, Elisha. Ia bahkan tidak merasa keberatan saat setengah saham didapatkan oleh Elisha yang masih tergolong bau kencur.

Kedatangan Elisha memang begitu mengejutkan. Elisha memiliki sifat keras, mustahil tidak ada sesuatu hingga gadis itu mendatangi dirinya sambil bersimpuh.

"Siapa pemuda tadi?" Mario baru sadar bahwa ada tamu lain yang datang ke rumahnya ini. Mengingat bagaimana perilaku Elisha, Mario tidak yakin kalau gadis ini memiliki teman bahkan pacar.

"Ah?" Elisha terdiam, bingung untuk menjawab apa. Gadis itu lalu tersenyum. "Dia adalah anak keluarga Pradipta yang saya tunggu bertahun-tahun ini."

Mario tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Lihat saja bagaimana pupil mata lelaki itu melebar saat mendengar jawaban Elisha.

"Pradipta?" Mario ingat, bahwa Elisha pernah sekali bercerita tentang seorang anak laki-laki yang keluarganya menjadi korban dari orangtuanya.

Elisha terkekeh menikmati wajah penuh rasa keterkejutan dari Mario yang begitu menyenangkan dimatanya. "Beda banget, ya? Dulukan saya bercerita kalau wajah anak itu kayak kelinci goblok kecil yang sedang terluka, tapi sekarang malah kayak pangeran-nya Cinderella."

Setelah berbasa-basi singkat. Elisha berdehem dingin, ia lalu menatap lelaki itu dengan seksama.

Mario ikut terdiam, ia jadi teringat dengan apa yang Elisha katakan sebelumnya. "Kamu inginkan kekuasaan?" tanyanya membuat Elisha tersenyum miring.

Diluar dugaan, Elisha menggeleng. Gadis itu memainkan taplak meja dengan jari-jemarinya yang lentik. "Tidak, sesuatu yang merepotkan bukanlah hal yang cocok untuk saya," jawabnya santai.

Mario mengerutkan keningnya. Jadi apa yang Elisha inginkan? Gadis pemalas ini ingin sesuatu tapi malas mendapatkannya. Bisa jelaskan kepada Mario apa maksud dari semua ini?

Elisha mengusap hidungnya yang berkeringat sambil menatap Mario. "Kekuasaan bukanlah 'tujuan' saya melainkan 'cara' saya agar saya bisa berdiri kokoh walaupun badai menghadang."

Elisha menjilat bibirnya yang kering lalu  melirik segelas teh hangat Mario yang belum tersentuh. "Ah, saya memerlukan sedikit kafein saat ini."

Mario ikut menatap apa yang Elisha lirik lalu lelaki itu langsung mengambil gelas teh dengan gesit dan meminumnya hingga tandas membuat Elisha meneguk ludah kecewa.

Ingin mengumpat, tetapi takut dosa. Elisha hanya bisa menelan kekesalannya dan menutupinya dengan senyuman manis.

Mencoba mengalihkan perhatian Elisha, Mario mengangguk. "Semakin menjulang tinggi sebuah gunung, maka angin akan menghembus lebih kencang."

Elisha mendengus, sebelum mengangguk setuju. "Itu resiko. Layaknya posisi seseorang yang tinggi, pasti banyak orang yang mencoba untuk menjatuhkan," sahutnya mengiyakan.

"Sebenarnya, apa yang kamu rencanakan?" Mario masih belum paham dengan jelas maksud dan tujuan Elisha hingga jauh-jauh datang kemari.

Elisha tidak berubah, gadis kalem ini suka sekali berbelit-belit berbanding terbalik dengan tatapan matanya yang malas.

Elisha masih tersenyum. Ia menatap manik kelam dihadapannya dengan serius. Gadis itu lalu menggeleng lemah. "Untuk saat ini, tidak ada yang saya rencanakan. Saya hanya mencoba mengulur waktu."

"Mengulur waktu?" tanya Mario, masih tak begitu paham.

"Ya, sepertinya ada sesuatu yang tidak saya ketahui saat kecil. Saya harus tahu masalah apa yang melatarbelakangi masalah antara Alexander dan Pradipta."

Ah, jadi ini topik yang sedari tadi dibahas? Mario sempat berprasangka buruk bahwa gadis ini ingin mengambil warisan. Walaupun itupun benar, Mario tidak masalah dengan itu. Toh, baginya Elisha itu adalah anaknya juga.

Setelah itu, Elisha membuka tas sekolahnya lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas koran membuat dahi Mario bergelombang.

Gadis itu lalu menunjukkan koran yang menguning itu. "Ini adalah berita selama 3 bulan yang saya dapat," tuturnya pelan.

"Seperti yang Paman lihat, beritanya mengenai perang dingin antara keluarga Alexander dan keluarga Pradipta yang terkenal sebagai pihak netral yang citranya terkenal bersih."

Elisha lalu mengalihkan ke lembaran-lembaran lainnya secara seksama. "Nggak ada yang tahu apa yang melatarbelakangi perselisihan ini. Tapi, sejak sejak Martin Pradipta dan keluarga kecilnya meninggal, bukankah berita ini tiba-tiba teredam dan menghilang?"

Mario mengangguk. Merasa ikut merasakan sesuatu yang janggal. "Ada seseorang dibalik ini semua," sahutnya beranalisa.

"Itu dia." Elisha menjentikkan jarinya frustasi. "Bayangkan, keluarga kotor Vs keluarga sok suci. Apa yang Paman pikirkan?" Elisha tersenyum miring.

"Opini publik dan pihak yang dirugikan," jawab lelaki paruh baya membuat Elisha mengangguk yakin.

"Keluarga Pradipta bukanlah pengusaha kecil. Kematian kepala perusahaan secara mendadak bukanlah hal yang bisa dianggap sepele." Mario menghela nafas, menatap Elisha yang tampak berpikir keras.

"Sebab kematian yang tidak pernah terungkap pastinya mengundang opini publik. Masyarakat berbicara dan bertanya-tanya," sambung Elisha, menggigit bibirnya.

Elisha menatap koran-koran itu dengan pandangan kosong. "Dan tentunya yang dirugikan adalah keluarga Alexander disini. Apalagi berita perselisihan tanpa sebab itu pasti akan disangkutkan dengan kematian Tuan Martin."

"Begitulah seharusnya, tetapi kenapa tiba-tiba teredam dan tenggelam begitu saja?" Mario menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang kering.

"Padahal ..., ini kesempatan bagus bagi mereka yang tidak menyukai Alexander. Berita miring seperti ini bisa membuat keluarga lainnya ikut berasumsi licik. Tapi, kenapa itu tidak terjadi?"

Elisha pusing, ia sudah memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan yang ada tetapi otaknya tetap tidak bisa berpikir lebih jernih.

"Ada kesempatan, tetapi mereka memilih tetap bersembunyi dibelakang keluarga Alexander tanpa melihat keuntungan yang ada." Mario bergumam pelan, namun masih bisa didengar oleh Elisha.

"Betul, 'kan?" Elisha merasa senang saat opininya ditangkap dengan benar oleh Mario. "Seharusnya ada satu saja opsi yang mereka pilih, yaitu berkhianat. Tapi kenapa tidak? Padahal berlian sudah ada dihadapan mata."

Mario mengernyitkan dahi. "Itu berarti, ini semua tidak hanya disebabkan oleh Nathan dan Edison," sahut lelaki itu.

Elisha mengangguk kecil. "Ada keluarga lain yang koneksinya luas, membantu keluarga Alexander untuk mengubur kasus ini dalam-dalam."

Walaupun baru dalam hal-hal seperti ini, Mario yang berjiwa seni juga mengetahui kalau hal sebesar ini tidak mungkin dilakukan keluarga Alexander sendirian.

Walaupun itu mungkin, tetapi persentase besarnya gosip diantara masyarakat itu susah untuk dibungkam. Apalagi kalau banyak bayangan yang memilih untuk menikam dari belakang.

Elisha jadi mengingat tentang teror yang ia dapatkan beberapa bulan yang lalu hingga peringatan yang didapatkan oleh Sean.

"Juga, saya rasa ada pihak yang ingin menjatuhkan saya."

Mario mengernyit. "Bajingan dari mana?"

Elisha menggeleng. "Saya tidak tahu apa dugaan saya benar. Ini masih praduga, tetapi entah mengapa saya cukup yakin."

Tak heran sih. Elisha memiliki kepekaan yang cukup bagus untuk masalah seperti ini. Mario mengangguk kecil. "Baguslah kalau begitu. Menurutmu, apa tujuannya?"

"Belum bisa dipastikan. Tapi yang saya yakini adalah, siapapun dia, saya yakin bahwa dia tahu banyak. Tentang kematian Elena, keluarga Pradipta, dan saya Elisha Laudya Alexander. Tapi ..." Elisha menjeda kalimatnya.

"Tapi, dia salah akan satu hal." Tersenyum sinis, Elisha berkata, "dia tahu bahwa saya adalah Elisha tetapi dia tidak tahu kalau saya bukanlah Elisha yang asli."

"Berarti, dia tahu konteks luar. Secara garis besar, itu sudah sangat bagus dalam mendapatkan informasi." Mario mengetukan jarinya diatas laptopnya yang telah dimatikan.

Elisha mengulum senyum. "Itu yang mencurigakan. Bahkan keluarga Pradipta yang memiliki keterkaitan erat tentang masalah ini saja tidak tahu lebih jauh. Bagaimana bisa yang lain tahu?"

"Pelakunya tidak jauh dari seseorang yang pasti tahu kejadian ini sejak lama. Bahkan orang kepercayaan saya, Don, bisa jadi adalah bayangan dari pelaku itu."

Kedua orang itu larut dalam pemikiran masing-masing untuk beberapa menit. Elisha mendesah lelah dan ia meletakkan kepalanya yang berat diatas meja kerja Mario.

"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Mario, menelaah lebih dalam ekspresi wajah Elisha yang terlihat begitu rumit.

Elisha mengerdikan bahu lelah. "Ada sesuatu yang beresiko, dan yang hanya bisa melakukan itu adalah Paman." Elisha menengadah, menatap Pamannya dengan seksama.

Mario tertegun, entah mengapa ia merasa sesuatu yang akan besar akan mengejutkan dirinya.

"Apa itu?"

Elisha tersenyum miring. "Ungkapkan kepada media bahwa aku anak yang disembunyikan seorang Mario William."

Ah, sepertinya keponakannya ini ingin membuat dirinya bangkrut.



_



Continue Reading

You'll Also Like

95.1K 6.5K 43
[COMPLETE] Manik mata hitam dan sorot mata tajam yang begitu memesona. Tatapannya yang lekat dan dalam bisa membuat siapapun yang memperhatikannya me...
We Don't Know By Ace

Teen Fiction

13.1K 2.3K 24
"Apa yang lo lakuin...." ucap Arleza dengan suara pelan. Ia... hanya... tidak menyangka. Sebuah pemandangan yang tidak pernah ingin ia lihat dalam ba...
1.2M 67.9K 34
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
486 295 22
Thea, seiring waktu berjalan, kematian terus-menerus mengelilingi pikiran nya, satu-persatu hatinya hancur berkeping-keping, sehingga saat ia ingin m...