Dua bulan kemudian
Seokjin dan keluarganya beserta orang tua Namjoon tengah berada di sebuah cafe di dekat pintu keberangkatan internasional Bandara Incheon. Mereka mengantar Namjoon yang akan berangkat ke London sesaat lagi. Namjoon memutuskan berkuliah di London sebab ia telah berjanji pada Seokjin untuk berdiri sendiri tanpa orang tuanya.
"Jadi kau akan tinggal di asrama, kan?" tanya Seokjin.
"Iya. Aku juga akan mencari pekerjaan paruh waktu supaya bisa bertahan."
Seokjin tersenyum tulus.
"Aku bangga padamu, Namjoon. Meskipun kau belum memulainya tapi semangat dan pemikiranmu yang jauh ke depan sudah membuatku bangga."
Namjoon mengaitkan jemari mereka.
"Demi janjiku padamu, Jinseok."
Namjoon mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
"Ini cincin murah tapi aku beli dengan uangku sendiri. Aku harap kau akan memakainya sampai aku bisa menggantinya dengan cincin emas. Tapi, kalau kau sudah merasa cukup, kembalikan padaku dan aku akan melepasmu."
Seokjin mengusap kepala Namjoon dengan tangannya yang bebas.
"Bukan hanya dirimu yang mencoba membuktikan janji. Aku juga. Aku berjanji tidak akan memiliki kekasih selama tiga tahun sampai kau kembali," janji Seokjin kala Namjoon menyematkan cincin di jari manisnya.
---
Satu tahun kemudian
Namjoon melangkah hati-hati dengan sekotak fish and chips di tangan kiri sementara telapak tangannya menopang karton berisi empat gelas kopi panas untuk seniornya. Namjoon tengah menjadi karyawan magang di firma hukum Henderson & Associates. Beban kerjanya bukan main banyaknya namun firma tersebut berani membayar mahal sebagai konsekuensinya. Meskipun Namjoon harus mengambil kelas akhir pekan sejak ia memulai magang.
"Here you go, Sir."
"Thanks, Joon. Come sit down."
"Thank you, Sir."
Namjoon dan tiga pengacara senior lainnya tengah mendengarkan putusan hakim mengenai kasus dugaan malpraktik seorang dokter di rumah sakit swasta yang mengakibatkan kecacatan wajah klien mereka.
"Yes! We won! I knew it!" teriak Rick. "Wohoo!"
Namjoon mengepalkan tangannya ke udara. Ia turut larut dalam euforia kemenangan tim firma hukum mereka. Ia segera mengeluarkan ponselnya dan tersenyum ke arah foto Seokjin yang menjadi penghias layarnya dan mengirim pesan pada seseorang yang kemungkinan besar tengah tertidur pulas.
To : Jinseok
Kami menang! Aku senang sekali. Seandainya kau ada di sini, Jinseok!
Namjoon mengantongi ponselnya dan ber-high five dengan Rick yang tampak paling bersemangat. Namjoon merasa tak sabar untuk menangani kasus pertamanya. Suatu saat nanti.
Sementara itu, di belahan bumi yang lain, Seokjin tersenyum kala menerima pesan singkat Namjoon. Ia membalasnya walaupun ia yakin Namjoon akan mengomel sebab ia belum tidur. Seokjin masih sibuk dengan rancangannya yang akan dipamerkan di toko perhiasan Sang Ibu minggu depan.
From : Joonie
Jinseok, tidur atau kuculik kau dari sana?
Seokjin terkikik membaca pesan dari Namjoon. Dilihatnya lagi dua pasang perhiasan lengkap hasil karya tangannya. Satu dengan batu kalimaya dan satu lagi dengan zamrud.
"Cukup untuk hari ini," gumam Seokjin. Ia pun membereskan peralatannya dan mengirim pesan pada Namjoon sebelum beranjak ke kamarnya.
To : Joonie
Aku tidur sekarang. Jangan terlalu banyak minum kopi mentang-mentang aku tidak di dekatmu!
Joonie...aku merindukanmu. Sangat.
---
Dua tahun kemudian
"Aku suka sekali rak buku yang itu. Klasik sekali modelnya." Seokjin menunjuk rak buku di dekat jendela.
"Coba kau tebak berapa harganya?"
"Hmm, sekitar $500?"
"Nol!"
"Kok bisa?"
"Aku melihat iklan di Facebook, pemiliknya akan pindah ke Portugal dan dia tidak mau membawanya karena salah satu kakinya patah. Aku mendatanginya dan membawa pulang. Ada tukang yang memperbaiki kakinya yang patah dan voila!"
"Untung ada tukang. Kalau kau yang melakukannya, bisa-bisa semua kakinya patah." Seokjin terkikik geli. Ia lalu menopangkan dagunya di tangan kanan. "Joonie?"
"Hm?"
"Maaf, aku tidak datang waktu kau wisuda."
"Kau hadir kok."
Seokjin mengerutkan alis.
"Di kepala dan hatiku kau selalu di dekatku. Jadi, apapun yang kulakukan, kau selalu ada di sisiku."
Wajah Seokjin memerah.
"Dasar tukang rayu!"
"Jinseok."
"Hm?"
"Aku mengirim sesuatu untukmu karena ulang tahunmu sebentar lagi."
"Terima kasih. Aku menyukai semua yang kau beri."
"Kalau begitu, sebagai tanda terima kasihmu, coba cium ini."
Seokjin terkikik namun tetap mendekatkan bibirnya ke layar, ke arah pipi Namjoon yang ditunjuk lelaki itu dengan telunjuknya.
"Muuuaaaahhhhh!"
"Yes! Aku akan mimpi indah nanti karena kau sudah menciumku."
Mereka berpandangan lama tanpa kata.
"Tidurlah. Kau pasti lelah."
Seokjin mengangguk walaupun ia belum ingin obrolan mereka berakhir.
"Terima kasih sudah menungguku, Jinseok."
"Terima kasih sudah membuktikan bahwa dirimu layak ditunggu, Joonie."
---
Tiga tahun kemudian
"Unfortunately, you couldn't stay here longer. I'm happy to have you here with us."
"Thank you, Mr.Henderson. I learn a lot from everyone here. Thank you so much for giving me the opportunity to learn. I'll never forget that. Let me know if anyone plans to visit South Korea. I'll treat you to a nice meal."
Namjoon menjabat tangan rekan-rekannya. Ia memang hanya berada di sana tiga tahun. Namun, ia belajar banyak hal dan saat ini waktunya pulang dan menjemput impiannya.
Dua hari setelah resmi meninggalkan London, Namjoon mendarat di Seoul. Ia menjejakkan kakinya kembali ke kota ini setelah tiga tahun. Kepulangannya disambut oleh pelukan hangat orang tuanya serta orang tua Seokjin. Seokjin sendiri sama sekali belum tahu bahwa Namjoon sudah pulang.
"Calon menantu kita semakin tampan ya, Yeobo."
"Benar sekali. Sebagai ayahnya, jadi tidak ragu mempercayakan Seokjin padamu."
Namjoon membungkuk hormat ke arah orang tua Seokjin.
"Terima kasih atas izin dan dukungannya selama ini. Saya akan berusaha menjaga kepercayaan ini."
---
Seokjin uring-uringan. Sejak jam makan siang, ia tak dapat menghubungi Namjoon. Pesannya pun belum dibaca sama sekali, membuat kepala Seokjin memikirkan beberapa skenario tak jelas.
"Ada masalah, Seokjin-ssi?" tanya Park Jimin, yang telah diangkat menjadi sekretaris pribadi Seokjin.
"HP Namjoon mati." Seokjin menelungkupkan wajahnya di atas meja. "Di mana dia?"
"Maaf, Seokjin-ssi, bukannya saya tak berempati, tetapi perwakilan Cartier akan segera sampai. Sebaiknya kita menunggu mereka di lobi sekarang."
Seokjin menarik nafas. Ia frustrasi.
"Saya pasti akan langsung memberi tahu Anda jika Tuan Kim Namjoon menghubungi."
"Oke. Terima kasih, Sekretaris Park."
---
Seokjin menutup pintu mobil sekenanya. Ia baru selesai rapat yang dilanjutkan acara makan malam setengah jam lalu. Ia lelah sekali. Bahkan semakin parah kala sekretarisnya mengatakan bahwa tidak ada panggilan ataupun pesan dari Namjoon.
Mulutnya berulang kali bersiap melontarkan kutukan untuk manusia bernama Kim Namjoon yang sudah membuat kepalanya sakit. Namun, selalu ia urungkan sebab ia tak ingin kehilangan Namjoon. Ia mengetahui perjuangan Namjoon hidup di negeri orang sendirian. Tinggal di asrama bersama banyak orang lalu harus bekerja sambilan dan menyewa apartemen yang sangat kecil. Seokjin bahkan tahu bahwa Namjoon sama sekali tak menyentuh uang dari orang tuanya selama tinggal di Inggris. Ia bekerja dan menabung sedikit demi sedikit bahkan beberapa kali tidak makan agar dapat berhemat.
Seokjin selalu menangis setiap kali orang kepercayaannya melaporkan keadaan Namjoon, membuatnya merasa jahat karena memberi syarat semacam itu pada Namjoon. Namun, di sisi lain, ia bangga sebab kata-kata Namjoon bukan hanya isapan jempol.
Seokjin menggantung mantel serta scarf yang ia kenakan di balik pintu apartemen yang telah disewanya sejak setengah tahun lalu. Seokjin berjalan ke arah dapur sambil memijat lengan dan bahunya.
"Aku butuh pijat."
"Sini kupijat."
"Waaaa!!!" jerit Seokjin. Ia mendengar suara tawa dan menoleh. Bertatapan langsung dengan obyek yang memenuhi kepalanya. "Apa yang kau lakukan di sini? Dan...dan bagaimana kau bisa masuk?"
Pria yang mengagetkan Seokjin itu tertawa, mengakibatkan matanya tertutup dan lesung pipinya tercetak.
"Kejutan, Jinseok."
"Kau tidak bisa begitu, Kim Namjoon. Tidak tidak tidak! Jantungku tidak siap kalau begini."
Namjoon tertawa. Ia melangkah perlahan hingga berada tepat di hadapan Seokjin.
"Kecantikanmu tidak luntur. Justru bertambah." Namjoon meletakkan kedua tangan di pinggang Seokjin. "Aku sangat merindukanmu."
Seokjin terbius ketampanan Namjoon. Ia tak mampu bergerak. Bahkan kala Namjoon mengecup keningnya, hidungnya, dan kedua pipinya.
"Kenapa berhenti di pipi? Tidak ke bibir sekalian?" tanya Seokjin lugu, membuat Namjoon terkekeh.
"Kalau yang ini," ia menyentuh tepian bibir Seokjin dengan ibu jarinya, "harus tanya pemiliknya dulu, mau atau tidak."
"Mau kok."
Keduanya tertawa berbarengan.
"Jadi, kapan kau mau kita menikah, Sayang?" Namjoon menyelipkan helaian rambut Seokjin ke balik telinganya.
"Nanti kulihat jadwal kosongku dulu," lirih Seokjin. "Tapi ciumannya sekarang."
"As you wish, Sweetheart."
- Habis -
Heeeeeaaaaaaaa