Rencana

356 91 23
                                    

"Ganteng juga wajahmu kalau ada codet begitu."

"Ambil pisau sana! Biar kubuatkan sepuluh garis di muka kau sekarang!" Dj bersungut, melotot matanya pada Adyth yang tertawa. Meskipun tidak dalam, luka bekas pengejaran kemarin tetap kasat mata. Melintang di pipi sebelah kanan--benar kata Adyth, macam codet preman di sinetron televisi bentuknya.

"Jangan ganggu, Dyth, mood dia sedang tidak enak," Ilman coba membela. Dijulurkannya plester luka pada Dj. Ah, tak membantu banyak--tetap macam preman bentuknya.

Tepuk tangan tiga kali Dolphy, bahasa isyarat agar lima sahabatnya beralih fokus mendengarkan dia. "Terima kasih karena sudah rela bolos sekolah demi menjenguk aku pagi ini, kawan-kawan," kalau kalimat basa-basi yang pertama terdengar, kita bisa menerka kalimat selanjutnya akan membosankan. "Meski kemarin pengejaran pelaku berbuah kegagalan, tapi jangan khawatir! Otak jeniusku ini sudah membawa kita ke ujung penyelesaian kasusnya; aku sudah dapat nama pemilik dari motor yang digunakan oleh pelaku saat menabrak Saka, salah satu korban. Dapat nama, jelas dapat alamat. Kita tinggal lapor polisi atau bisa coba selidiki sendiri."

"Aku tidak yakin akan selesai semudah itu," komentar Naufal setelah selesai mengunyah kacang atom. "Kemarin saat kami kejar, dia meledakkan panel listrik untuk memadamkan sistem penerangan jalan--sesuatu yang mana mungkin bisa dilakukan tanpa persiapan. Jelas dia sudah bereskan tempat itu sebelum pergi ke TKP, sudah memperkirakan ke mana akan berlari dan apa yang akan dilakukan kalau sampai dikejar orang. Dengan mind set macam ini, mana mungkin sengaja pakai motor pribadi untuk mencelakai orang."

"Dwan kualau aku bwoleh menyumbwang pikiwan," Aji ikut bicara sambil penuh mulutnya mengunyah kacang. "Swembwunyinyua di--"

"Kunyah dulu yang benar!" pekik kelima temannya serentak dengan kesal.

Buru-buru Aji menelan, meneguk sirup biar makin mudah masuk kerongkongan. "Sembunyinya pelaku saat kita datang menurutku mencurigakan. Kalau dia bisa sempurna meringkuk di dalam semak tanpa ketahuan, seharusnya dia juga punya cukup waktu untuk cepat berlari, bukan? Tapi kenapa malah diam dan bersembunyi? Jelas peluang untuk ketahuannya lebih besar!"

"Kalau dia lari, nanti kedengaran oleh telingamu, Ji."

"Nah, tahu dari mana dia kalau telingaku ini spesial?"

"Di kantin kemarin pagi. Saat gagal dan merasa pelaku sudah pergi, kau terus mengeluh 'padahal suara langkah kakinya tepat kemari!'. Pelaku yang mendengar tentu akan menyimpulkan kalau kau punya telinga yang tajam," Naufal menggosok dagu. "Ah, masuk akal juga. Itulah kenapa dia bisa langsung menghilang dari mata dan telinga: karena memang dia masih di sana! Curigaku dia bersembunyi di balik tumpukan meja bekas dekat mushola, selisih satu belokan dengan lari kalian. Kita periksa lagi kalau nanti masuk sekolah."

"Itu artinya si pelaku sudah hapal apa yang harus dia lakukan selanjutnya."

"Lebih cocok disebut mampu melakukan analisa dan mempersiapkan segalanya," kata Adyth. "Oh, Phy, ibarat kata otak kau dan Naufal dijadikan satu! Pantas saja polisi sampai linglung!"

"Ya, aku setuju," Dj buka mulut juga akhirnya, padahal sedari pagi tidak banyak bicara. "Melemparkan tanah ke arah mata, pura-pura berbelok untuk menyerang," dielusnya perlahan luka di bagian muka. "Kita semalam seperti babi dalam jebakan--seolah bebas padahal terperangkap."

"Dan lagi-lagi yang diserang bagian yang tidak berbahaya."

"Tidak berbahaya apanya?!" Ilman langsung panas. "Kau tarik garis lurus dari luka Dj itu--bagian mata yang akan kena, Fal!"

"Itu, Man--itu!" Naufal mengetuk meja dengan kuku. "Itu yang pelaku inginkan, pikiran macam itu! Dari awal yang ingin dia tanamkan pada korban bukan celaka, tapi rasa takut dan cemas yang luar biasa. Luka di muka secara psikologis memberikan efek yang mendalam karena selalu terlihat oleh mata. Ibarat ancaman, sebuah penekanan agar kita jangan lagi mengejar dia."

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now