Kamar Mayat

347 81 50
                                    

"Kurang lebih seperti itu kejadiannya."

Anwar menghela nafas, antara sesak akibat kesal atau sesak akibat duka. Cerita Ilman dan Dolphy sama sekali tidak membuat lega. Meskipun identitas pelaku sudah didapat, meskipun korban terakhir berhasil selamat, tetap saja ini aib besar. Kasus yang membayangi kepolisian seolah berpindah ke pundak anak-anak SMA.

"Terima kasih," dia berkata kemudian. "Kalian bisa pulang dan beristirahat sekarang. Bantuan kalian sudah lebih dari cukup, tinggal tunggu dipanggil ke kantor untuk dapat penghargaan."

"Bicaramu tenang sekali, Pak. Sudah punya strategi untuk menangkap pelaku?"

Pertanyaan itu membuat Anwar tersentak. "Betul, J, aku paham khawatirmu. Biarlah kinerja bagus kalian ini—polisi saja yang melanjutkan."

Dj terkekeh. Punggungnya disandarkan ke kursi besi dingin ruang tunggu VIP. "Sebaiknya kau saja yang pulang dan beristirahat, Pak. Masalah pelaku—empat temanku yang akan tangkap. Selepas solat maghrib tadi mereka sudah siap di rumah pelaku untuk menyergap," menoleh dia pada Ilman dengan seringai menjijikkan. Temannya itu mengelus bahu, masih linu bekas dipukul Dj yang kesal karena dia meloloskan pelaku. "Oh, dan kami mana bisa pulang sebelum keluarga perempuan itu datang. Mau bagaimana menjelaskan kejadiannya kalau kau bukan saksi mata?"

Anwar ikut menyandarkan pinggang, memandang pintu ruang UGD yang terkunci dari dalam. Kalimat dengan nada kurang ajar barusan meski menyakitkan hati, tapi memang benar adanya. Ditatap sebentar wajah lelah kedua remaja itu, mengangguk pelan sambil tersenyum penuh rasa syukur. Sejenak kemudian ikut larut dalam diam mengistirahatkan mata dan tenaga.

"Kau polisi yang mengurus kasus anak aku?"

Ketiganya membuka mata, mendapati seorang pria paruh baya berkemeja terang tengah menatap mereka dengan kesal.

"Betul. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Anwar bangkit berdiri, menyodorkan tangan untuk bersalaman.

Tangan kekar itu dilirik saja, tidak sedikit pun tersirat dari sorot matanya untuk balas menjabat. "Mana anakku? Bagaimana kondisinya?"

Sudah mati. Ingin sekali Dj menjawab seperti itu kalau saja Ilman tidak menginjak punggung kakinya terlebih dahulu. Jadilah Anwar yang menjelaskan kalau saat ini Vero masih dalam perawatan intensif dan belum bisa dijenguk.

"Kejadiannya tadi siang, kan? Sampai sekarang kok belum selesai? Bagaimana sih kerja dokter di tempat ini?!"

"Anak bapak ditusuk dengan belati militer, Pak. Tidak langsung tewas pun sudah mukjizat Tuhan."

Bukannya paham, pria itu malah makin geram bersungut. "Berarti kalian yang tidak becus sebagai polisi! Kasus sudah lama berjalan, sampai berulang kali terjadi—"

"Kau tahu alasan kenapa anakmu bisa sekarat? Dia mengundang pelaku untuk siaran live di sosial media hanya untuk mendapatkan perhatian! Mikir, Pak, menurutmu dia akan begitu kalau sudah dapat rasa nyaman di rumah? Oh, wow, sebentar. Kalau begitu, bukankah artinya kau itu tidak becus sebagai seorang bapak?"

Wajah penuh angkuh itu makin merah. "Berani-beraninya—kau tidak tahu aku siapa, hah?!"

"Sekali lewat pun aku tahu kau seorang bapak tolol yang tidak becus mengurus anak."

Muka Dj ditunjuk dengan amarah. Wajahnya yang berlipat jelas betul menandakan kalau sebentar lagi akan meledak. "Aku Ramli, kontraktor terkenal—orang paling kaya di kota ini! Tunggu kau ya, pasal pencemaran nama baik di muka umum ini! Lihatlah, besok akan kumasukkan kau ke dalam penjara!"

"Bah, kenapa harus besok? Malam ini sajalah! Ini polisi nih!" Dj menepuk-nepuk lengan Anwar, sekalian memancing mata Ramli untuk melihat kalau pangkat yang tersemat di sana bukan golongan bawah. "Kalau memang kau hebat, coba buat aku masuk penjara sekarang! Jangan cuma ngomong saja kau bisanya!"

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now