Menyaksikan Kematian

511 119 10
                                    

Meski terdengar seperti bualan hasil imajinasi bodoh, tetap saja Six Elves percaya penuh pada apa yang diceritakan Aji. Mereka minta diceritakan lebih lengkap apa yang anak itu alami sesampainya mereka di rumah Dolphy.

"Bukan cuma karena seram—yang membuatku takut itu justru karena aku merasa seakan diintimidasi. Makhluk itu seolah menampakkan diri bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk memperingatkan kita agar segera angkat kaki dan jangan pernah kembali. Seolah kita ini pengganggu, seolah kita ini seharusnya tidak boleh mencari tahu."

Jelas sebetulnya yang lain ingin menyanggah. Kejadian unik macam ini jarang sekali terjadi—malah mungkin tidak akan ditemukan kembali. Rugi kalau sampai dilepas, mereka bisa kehilangan pengalaman langka yang belum tentu orang lain punya.

Dari lima orang yang sedang menahan keluh, Dj tentu yang paling buruk. "Sia-sialah aku pasang kamera itu tadi kalau besok sudah harus dilepas lagi." Padahal kerja dia tadi cuma memaku saja, itu pun hanya tiga kali.

"Mungkin tak akan terlalu jadi masalah kalau kita amati sebentar malam ini."

Aji langsung menggeram kesal. "Fal! Kau tadi kan sudah janji?!"

"Loh? Janji apa? Melepas kamera itu besok hari? Tentu, Ji! Kita akan lepas besok pagi—tapi malam ini, biarlah kita tengok sebentar apa isi tempat itu kalau malam datang," Naufal sebisa mungkin memberikan keyakinan. Meski sempat ragu, akhirnya Aji manggut juga. "Bagus! Giliran kau sekarang, Phy!"

"Kalau mau diperhatikan seksama, kita butuh layar yang lebih besar," Dolphy menarik keluar kabel HDMI dari balik TV 60 inci di kamarnya, lalu disambungkan ke laptop canggih yang paling dia andalkan. "Kalian tahu kan, tempat yang ditinggalkan manusia berpuluh-puluh tahun biasanya jadi sarang jin. Mitosnya makhluk astral macam mereka tidak semuanya bisa mewujudkan diri. Jadilah sejak awal aku pun sudah persiapkan mikrofon agar kita bisa dengar suara-suara yang ada."

Begitu muncul gambar di layar TV, suara keras angin yang menyambut keluar dari speaker, berisik betul menusuk telinga. "Wajar—ada lubang besar di bagian atap, mungkin anginnya masuk lewat situ." Naufal coba menerka. Diturunkannya volume TV agar tak sakit telinga Aji mendengar, juga biar makin teliti anak itu membedakan suara kalau-kalau si makhluk mulai berbicara.

Selain suara angin yang mengganggu, gambar hasil tangkapan kamera yang dipasang juga kurang tajam—pengamatan mereka jadi makin kurang nyaman. Tidak ada yang menyalahkan Dolphy tentu, urusan peralatan mana mungkin Dolphy beli yang murahan. Curiga enam sekawan ini malah pada kondisi ruang operanya.

Dilihat bagaimanapun, ruangan itu tampak buram seolah ada yang mengganggu fokus dari si lensa kamera. Yang nampak hanya bayang-bayang kursi memanjang, setengah bagian panggung, juga sesekali terlihat tirai yang masuk frame karena dikibas angin kencang.

Setengah jam melototi layar, belum ada hal aneh yang terlihat. Padahal ekspektasi Six Elves sudah sangat tinggi: Pocong melayang dari atas atap, sosok besar sedang duduk di atas kursi, tangisan parau Kuntilanak di atas panggung, atau jumpscare wajah menakutkan yang tiba-tiba muncul menutupi layar—ah, semuanya hanya imajinasi. Kini mereka sedang tidur-tiduran santai, mengobrol lepas dan mulai melupakan aktifitas yang tadi sempat dianggap menarik.

Santai mereka langsung hilang ketika Aji bangkit dari duduk, wajahnya masam menekuk, kepalanya diputar mencari posisi paling enak untuk menangkap bunyi aneh yang tanpa sengaja masuk telinga.

"Kenapa? Kau dengar suara tikus sedang kawin?"

Aji mendesis sambil menempelkan telunjuk di bibir. Diam dulu bodoh, mungkin begitu yang ingin dia ucapkan pada Dj yang tidak pandai melihat keadaan. Sementara ia sedang fokus, yang lain ikut-ikut coba mendengarkan meskipun yang ditangkap telinga normal hanyalah desir angin menderu kencang.

"Aku mendengar ketukan," Aji mulai memberikan gambaran. Matanya terpejam berusaha makin tajam mendengarkan. "Seperti kaca yang diketuk pelan ... halus ... dengan kuku?" Refleks Aji juga mengetuk karpet tempat ia duduk dengan jari. "Ah, bukan—ini bukan suara benda tumpul. Ini—suara benda tajam ... ujung pisau? Bukan, lebih tipis lagi dari itu. Ini—"

"Sabit?" terka Naufal dan Aji langsung mengiyakan.

"Seingatku tempat itu tidak memiliki kaca," Adyth ikut berkomentar.

"Sabitnya yang harus kau pikirkan lebih dulu, Dyth! Siapa yang membawa sabit ke dalam sana coba?!"

"Bu-bukan, suaranya bukan dari ruang opera. Suaranya berasal dari—sana."

Langsung luluh keberanian mereka begitu tahu ke mana telunjuk Aji mengarah: jendela kamar Dolphy. Tidak, tidak—mereka menolak untuk percaya. Rumah Dolphy bak istana, dikelilingi tembok tinggi dengan pagar besi gagah yang tidak mungkin dilompati manusia. Orang luar tidak mungkin masuk apalagi untuk sekedar iseng mengetuk. Satu lagi alasan yang membuat mereka tidak ingin percaya: kamar Dolphy letaknya di lantai dua.

Namun kesangsian itu tidak berlangsung lama, kali ini mereka semua mendengar apa yang Aji bisa dengar. Ketukan itu terus terdengar, suaranya keras menggema di dalam kamar meski si empunya ketukan tak terlihat oleh mata mereka.

Menolak untuk terus-menerus dikekang rasa takut, Adyth bangkit dari duduk untuk menyambar jendela itu. Dibukanya lebar-lebar lalu menoleh keluar dia mencari apapun yang tadi mengganggu mereka. Nihil—meski kini teman-temannya ikut mencari, tetap saja enam pasang mata tidak juga melihat apa-apa dari balik jendela.

Ting ... ting ... ting ....

Ketuk itu kembali terdengar. Bukan dari kaca jendela—karena enam sekawan ini sedang tegak tepat menghadap sana. Suara itu terdengar dari speaker kamar, dari TV yang harusnya menampikan secara live kondisi di dalam ruang opera yang kosong, tetapi kini malah menampilkan sesuatu yang lain.

Tempat itu seperti basement parkir sebuah pusat perbelanjaan, tanpa ada satu pun mobil yang terlihat. Hanya ada seorang pria terbaring lemah bersimbah darah di lantai, sedang kejang-kejang menyambut sakaratul maut, ditemani seseorang berjubah hitam panjang yang sedang mengetuk layar kamera mereka dengan sabit besar seperti yang dideskripsikan Aji. Ia mengenakan tudung hitam, sehingga hanya bagian hidung ke bawah saja yang terlihat dari wajahnya.

"A-apa-apaan? Kameranya berpindah?!"

"Se-sebentar! I-itu yang tergeletak itu—orang?!"

"Ya, benar—dan kini kalian sedang menyaksikan kematian."



Йой! Нажаль, це зображення не відповідає нашим правилам. Щоб продовжити публікацію, будь ласка, видаліть його або завантажте інше.
Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now