Gila Kehormatan

343 88 19
                                    


Tidak puas hanya dengan mengetuk meja, bangkit berdiri Dj untuk mondar-mandir menghabiskan cemas dalam dada. Satu jam sudah mereka habiskan di kantin Bu Thapen, duduk menunggu bel pulang sekolah yang masih dua jam lagi sebetulnya. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu. Target mereka masih belajar di dalam kelas, mustahil didatangi karena mereka sedang minggat sekolah. Akan jadi masalah baru kalau terlihat oleh guru.

Usaha mereka mentok di menyusup masuk lewat kantin Bu Thapen—sudah itu saja. Berharap analisa Naufal benar, korban akan aman selama masih di lingkungan sekolah. Langkah selanjutnya yang terpikirkan adalah menyergap si korban saat dia pulang sekolah.

Tepat pukul setengah dua siang, wajah mereka mulai agak cerah setelah melihat seorang murid perempuan datang. Rambut hitam panjang sepinggang, anggun betul penuh wibawa.

"Loh, kok tidak pakai seragam?"

"Lagi minggat, Ca."

Mendengar itu, Tasya malah tertawa. "Minggat kok malah ke sekolah?" setelah beli sebotol air mineral, mendekat lagi dia karena penasaran. "Sedang menyelidiki sesuatu ya?"

"Ya, pembunuhan berantai. Sebentar lagi—"

Ilman langsung potong kalimat itu sebelum Dj makin jauh membual. "Kasus penganiayaan, kemungkinan besar target selanjutnya adalah Gemi, kelas 2.9. Kalau menurut Naufal, pelakunya akan menyerang saat Gemi ini pulang sekolah. Jadilah kami dapat tugas untuk bersiap-siap. Begitu pelakunya muncul, kami akan langsung sergap."

"Kau kenal orangnya tidak, Ca? Coba bawa kemari! Biar kita interogasi dia!" Dj berkata dengan penuh semangat.

"Alah, memangnya kau paham caranya interogasi? Bisanya kau kan cuma berkelahi?"

"Jauh lebih baik dari ketua OSIS si kacung kepala sekolah, bukan?"

"Oh, ujar seseorang yang tidak bisa melangkah kalau bukan karena diperintah, dan sekarang dapat tugas menunggu seseorang pulang sekolah. Kutebak kau sebelumnya pernah melakukan kebodohan makanya diberikan tugas paling mudah."

Kalah telak Dj, tidak sanggup lagi dia balas menghina. Tasya puas, melihat Dj merengut kesal kadang menjadi kebahagiaan tersendiri bagi dia. "Tunggulah sebentar di sini. Akan aku panggil Gemi untuk kalian."

"Tumben, biasanya kau terus saja balas menghina," ujar Ilman saat Tasya sudah berlalu. "Sudah belajar caranya menahan emosi, ya?"

"Meladeni dia tidak akan mengobati kesal—emosiku sudah penuh aku habiskan untuk pelaku, Man. Kesalku baru akan terlampiaskan kalau pelaku habis aku hajar. Setidaknya setelah aku patahkan tulang kakinya, atau patah sebagian tulang rusuknya."

Tasya kembali sepuluh menit kemudian. Gemi mengekor di belakang, terlihat betul gugup dan gemetar. Dibawa menghadap preman sekolah oleh mantan ketua OSIS jelas bukan pertanda baik.

"Gem, ini Dj dan Ilman. Mereka mungkin punya beberapa pertanyaan dan—cobalah menjawab dengan jujur."

"O-oke, Kak. Mau tanya apa yah?"

"Halo, Dik. Maaf mengganggu waktu belajarmu. Sebetulnya kami—"

Meja kantin ditendang oleh Dj, terguling jatuh hampir mengenai kaki Gemi. Makin gugup dia, terlebih saat didatangi sampai ke dekat muka. "Beda dengan temanku, aku tidak suka basa-basi. Jawab pertanyaan aku dengan baik dan kau bisa kembali ke kelas dengan selamat, paham?"

Gemi mengangguk pelan, membuat Dj kembali menggeram. "Paham tidak?!"

"Pa-paham!"

"Bagus!" meja yang tadi terguling kembali ditegakkan untuk tempat dia duduk. "Sekarang, jawab: apa kau mendapat pesan dari pelaku penganiayaan yang sedang viral?"

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now