Gilda

306 86 18
                                    

Hujan tengah mengguyur deras bagian utara Easterham. Angin yang berhembus seolah mampu menembus tebalnya kaca mobil, membuat si sopir segera mengatur ulang suhu kabin sebelum tuannya mengoceh. Oh, tapi rasa-rasanya tidak. Tuan yang duduk di kursi depan hanya fokus memandang ke depan. Sesekali melirik ponsel lalu ke arah belakang, ke arah temannya yang duduk di kursi tengah; tengah melamun tidak lepas pandangan dari kaca jendela samping.

"Kau khawatir?"

Bola mata Ilman bergeser ke arah bangku depan. "Sedikit."

"Kau kan pergi dengan aku, Man. Santai sajalah! Semuanya akan baik-baik saja."

Senyum Ilman masih tertahan. "Menurutmu," duduknya berpindah agak ke bagian tengah kursi agar dia bisa melihat kaca depan mobil dengan lebih jelas. "Apa motif pelaku?"

Dolphy kaget mendengar pertanyaan itu. "Pelaku yang membunuh Emilia? Hmm, entahlah. Mungkin akan ada titik terang setelah Naufal dan Aji selesai meneliti. Seperti biasa, Man, karena kita tidak pandai urusan begitu, kita—"

Ilman memukul pelan kursi Dolphy untuk memotong kalimat temannya barusan. "Tidak ada salahnya ikut menerka, Phy."

Bahu Dolphy terangkat, dengan asal dia menjawab, "Dendam? Uang? Masalah pribadi atau keluarga? Itu motif yang paling mungkin. Juga ada kemungkinan orang itu pembunuh bayaran meskipun terdengar mustahil. Kau tahu, seperti adegan-adegan di cerita fiksi: karena tidak ingin ada jejak, pelaku sesungguhnya meminta orang lain untuk membunuh Emilia."

Menoleh Dolphy ke arah sopirnya yang fokus berkendara. Syukurlah sopirnya tidak banyak tanya, akan merepotkan kalau sedikit-sedikit curiga kenapa sang tuan membicarakan perkara kriminal dan bukan membahas tugas kelompok sekolah.

"Sama, aku juga kepikiran dengan alasan-alasan seperti itu. Dendam, uang, masalah keluarga, tapi—apa hubungannya dengan Aji? Maksudku, kenapa dia tiba-tiba menyerang Aji? Mungkinkah—ini hanya mungkin, ya! Aku tidak punya landasan analisa apapun. Apa mungkin Emilia dibunuh seseorang karena dia gagal membunuh Aji?"

Wajah Ilman dilihat lekat-lekat oleh Dolphy, sampai berputar pinggangnya hadap belakang. Ilman yang biasanya kalem, yang biasanya nampak dungu karena rambut pirang yang tak cocok dengan wajah pribumi, kini terlihat serius seolah kalimat barusan adalah hasil pemikiran yang berulang. Miring kepala Ilman, menanti respon dari Dolphy apakah sepakat atau berupa bantahan.

"Terdengar masuk akal, Man. Kesampingkan kenapa Emilia terbunuh kalau begitu. Kita coba pikir dulu kenapa perempuan itu berniat membunuh Aji. Mereka belum menghabiskan waktu banyak! Baru ketemu setelah bertahun-tahun, begitu ketemu langsung membunuh? Well, kalau pun memang demikian, si Emilia ini benar-benar nekat, kawan."

"Mungkin Aji pernah ada dosa besar padanya."

"Aji tidak pernah punya teman masa kecil kecuali kita berlima, Man. Mau dosa besar macam apa?"

"Atau ya—seperti yang kau bilang tadi: ada seseorang yang memintanya membunuh Aji."

Termenung sekali lagi Dolphy. Pembicaraan yang asal keluar ini entah kenapa terdengar sedikit masuk akal. Tentu dia tahu persis Ilman hanya asal tebak, tetap saja jadi kepikiran. "Coba kita sampaikan pada Naufal saat nanti kumpul lagi. Mungkin saja yang kau katakan itu ada benarnya, kan?"

"Maaf, Den," sela si sopir dengan sangat sopan. Mobilnya dipacu melambat, mulai merapat ke sisi kiri jalan. "Nama desanya betul Dusun Bambu, kan?"

Anggukan kepala Dolphy menjadi perintah bagi sopir untuk memutar kemudi. Berbelok mobil yang mereka kendarai, turun dari aspal jalan yang mulus menuju jalan tanah yang becek oleh hujan. Kanan-kiri sekarang hanya ada hutan dan kebun orang—teramat sangat sepi. Rasanya seperti akan ada sekelompok orang yang akan keluar dari tebalnya belukar, menodongkan senjata untuk merebut paksa harta mereka.

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now