Salah Satu dari Sekian Banyak Kartu

339 89 27
                                    

"Kau yakin tidak ingin makan malam dulu sebelum pulang?" tanya Dolphy sekali lagi karena rumah Ilman sudah tinggal beberapa ratus meter di depan.

"Bukannya aku tidak mau, ini sudah hampir jam sepuluh. Terlambat sedikit takutnya besok aku tidak boleh pergi lagi. Kita ketemu besok, oke? Kabari aku apakah harus datang ke sekolah atau langsung ke tempatmu."

Dolphy mengalah, agak menyesal juga kenapa tidak langsung beli makan tadi saat masih di perjalanan. Sebagai orang kaya bergelimang harta, agak terluka harga diri kalau pergi dengan dia tapi pulang dengan perut lapar.

Ilman menepuk pundak Dolphy setelah mobil berhenti sempurna, mengucapkan salam kemudian keluar dari mobil dengan tersenyum. Tidak langsung masuk, berdiri menunggu mobil sempurna berlalu sambil melambaikan tangan.

"Kita ke Jalan Angsana, Pak," perintah Dolphy dan supirnya langsung mengangguk. Lima lembar uang seratus ribu diselipkan dekat persneling. "Rumah Bapak di Jalan Sindur, kan? Mobilnya bawa pulang saja, jangan bolak-balik ke rumah dulu—terlalu jauh. Jangan lupa beli makan juga untuk Bapak dan keluarga."

"Aduh, terima kasih banyak, Den. Terima kasih banyak."

Mobil berhenti di depan rumah besar bercat biru Jalan Angsana, pagarnya yang hitam seolah tersembunyi di balik remang waktu malam. Begitu turun, tanpa sengaja dia melihat pria tua sedang berdiri di samping gerobak nasi goreng keliling, persis depan pintu pagar. Hidungnya yang bengkok makin naik saat tersenyum lebar ke arah Dolphy.

"Bukankah Meagel seorang chef bintang lima? Masih jajan nasi goreng begini—apa tidak marah dia?"

"Sekarang hampir jam sepuluh, Phy, jam tayang telenovela favoritnya. Peraturan pertama rumah tangga kami: jangan pernah ganggu dia kalau sedang nonton TV. Terdengar konyol memang. Oh, kau sudah makan? Mau aku pesan satu bungkus sekalian?"

"Boleh, aku kebetulan memang belum makan, terima kasih," jawab Dolphy sambil terkekeh. "Naufal ada di dalam?"

"Di halaman belakang. Masuk saja lewat dalam, pintu depan tidak terkunci. Pastikan kau sedikit mengendap saat melewati kamar Meagel, oke?"

Rumah Dolphy tentu jauh lebih mewah, tapi entah kenapa rumah Naufal rasanya jauh lebih—nyaman. Bersih dan rapi, udara keluar-masuk dengan sempurna seolah tidak ada debu yang terbawa. Sedikit berjinjit Dolphy saat melalui koridor utama, sebisa mungkin menuruti perintah Houchi untuk tidak mengeluarkan suara.

Sebuah senyuman yang menyambut ketika Dolphy membuka pintu belakang. "Oh, wow. Kau langsung datang kemari begitu selesai dari tempat Gilda? Sepertinya ada hal besar yang kau dan Ilman temukan."

"Ya, aku tidak mungkin cerita lewat telepon, tidak mungkin pula menunggu sampai besok pagi. Tidurku tidak akan nyenyak kalau begitu," Dolphy menarik sebuah kursi plastik mendekat ke arah Naufal.

Sang kapten saat itu sedang duduk di ujung teras, kaki menapak ke rerumputan yang tampak segar sehabis kena hujan gerimis seharian. "Ada Ilman?"

"Sudah pulang, tadi aku antar."

"Adyth dan Dj bagaimana?"

"Adyth sudah telepon tadi siang. Si Putri ini ternyata sudah tidak pulang ke rumah sejak empat bulan yang lalu. Kabur karena—well, bagaimana membahasakan-nya ya? Adyth sih bilang Putri dijual oleh ayahnya untuk melunasi semua hutang keluarga. Besar alasan karena tidak kuat terus-menerus diperalat dan tersiksa."

"Ada informasi berapa kali dia sudah di-di—seperti itu-kan oleh bapaknya?"

"Pentingkah informasi itu untukmu?"

"Sangat penting, malah. Sudah berapa kali bapaknya melakukan hal itu adalah variabel yang sangat penting. Sebuah informasi yang merupakan jawaban dari pertanyaan: apakah Putri langsung minggat atau terlebih dahulu coba bertahan kemudian minggat? Kalau dia tidak langsung minggat, kenapa? Apakah ada sesuatu yang menahan sehingga dia tidak bisa segera pergi? Kemudian kenapa akhirnya bisa minggat? Siapa yang menolongnya? Bagaimana caranya?"

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang