Mereka Yang Terseret Kematian

440 110 13
                                    

Saat mereka berlima sampai, gerbang sekolah sudah setengahnya ditutup satpam. Meliuk mereka masuk sambil tertawa bahagia karena lepas dari jerat terlambat. Hari-hari mereka sudah cukup keruh dengan kejadian gaib yang menimpa, ceramah dari guru BP tentu bukan sesuatu yang akan menyenangkan telinga.

Namun, bukannya buru-buru masuk kelas, mereka malah berbelok menuju kantin untuk sarapan. "Percuma kita belajar kalau perut lapar; tidak akan masuk, hanya membuat pusing kepala." Begitu alasan Adyth untuk membujuk teman-temannya kabur dari kelas yang pertama.

"Selamat pagi, Bu Thapen!" sapa Ilman pada ibu kantin paling terkenal di sekolah mereka.

Bu Thapen yang saat itu sedang mengelap meja, tersenyum simpul menahan tawa. "Sepanjang semester ini saja, aku sudah ditegur enam kali oleh kepala sekolah karena ketahuan menyajikan makan pada kalian di jam pelajaran. Tidak ada kapok-kapoknya ya kalian ini."

"Lah apa hak kepala sekolah melarang orang jualan?" komentar Dj setelah mencomot gorengan panas dari dalam lemari kaca. "Kami kemari kan untuk makan, bukan merokok atau main kartu. Masih bagus tidak minggat keluar sekolah."

"Nah, mulut macam itu yang kadang buat guru geram. Wajar saja kau murid teratas di daftar hitam."

"Dan perut macam kami inilah yang buat warung kau tetap buka," Dj balas menyindir sambil tertawa.

"Indomie goreng lima porsi ya, Bu! Punyaku pakai cabai rawit!" ujar Adyth sambil duduk di kursi paling pojok, singgasana mereka. Kursinya bukan bangku kayu macam yang lain, diganti oleh mereka dengan sofa bekas penuh tambalan. Lokasi ini dipilih Six Elves karena tertutup saat dilihat dari arah ruang guru, spot sempurna kalau mereka hendak nongkrong kabur dari kelas.

"Ada apa?" tanya Naufal saat sadar hidung Aji sedang mekar menguncup seperti mencium sesuatu.

"Bau busuk."

"Paling Ilman menginjak kotoran kucing."

"Enak saja!" Ilman bersungut, meskipun ujung-ujungnya diperiksa juga oleh dia alas sepatunya.

"Bukan, ini bukan bau kotoran. Ini seperti ... bangkai."

Tertegun sejenak teman-temannya Aji. "Mungkin hanya perasaan kau saja, Ji. Bekas sugesti kejadian semalam." Naufal coba menenangkan karena wajah Aji mulai terlihat gusar.

Menggeleng tegas dia membantah Naufal. Aji yakin betul bau yang dia cium bukan imajinasi, ini sungguhan! Makin lama malah makin buruk, tak tahan dia berdiam kalau terus begini. Bangkitlah Aji dari duduk, berjalan ia keluar kantin untuk mulai mengendus arah datangnya bau.

"Haa—lihatlah teman kita itu," Dj mengomentari Aji yang kini sedang tegak di depan pintu gedung olahraga. "Mengendus ke kanan dan kiri—makin lama tingkahnya makin mirip anjing pelacak milik polisi." Setelah masuk Aji ke dalam gedung, makin gatal mulut Dj mengeluarkan hinaan. "Berani taruhan yang dia cium itu paling bau busuk seragam tim futsal."

Mereka berempat lantas menunggu dengan tidak sabar—menunggu Aji keluar dengan wajah menekuk karena kesal yang dia temukan tidak sebesar ekspektasi awal. Akan tetapi, sampai Bu Thapen mengantarkan sarapan pagi pun Aji tak kunjung kembali.

"Kalian makanlah duluan—biar aku saja yang memanggil Aji."

Yang tegak bukan Ilman seorang, tiga yang lain juga ikut pergi menyusul. Khawatir—Aji biasanya langsung kembali begitu menemukan apa yang dia cari. Entah berbuah kekecewaan atau penemuan besar, Aji pasti langsung memberikan laporan—tidak pernah ia lama teliti seorang diri.

"Woy, Ji! Di mana kau? Sudah dapat apa yang kau cari?!" teriak Adyth saat mereka melihat lapangan utama kosong.

"Di sini kau rupanya!" Dj menemukan Aji tengah duduk di lantai menghadap ke arah ruang ganti pria. Wajahnya pucat—tampak betul menyiratkan kengerian berat atas apapun yang dia lihat. Mendekat empat temannya untuk mencari tahu apa gerangan yang membuat Aji begitu ketakutan. Ah—Aji ternyata tidak sendirian.

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang