Lantai Empat

357 92 18
                                    

Jelas betul suara nafas dihela panjang, bahkan penjual kue basah di pintu masuk utama rumah sakit sampai menengokkan kepala ke arah mereka berempat. Remaja yang bercelana pendek yang mengeluh, rambut hitamnya basah terurai sampai menutupi daun telinga.

"Kau kenapa, J?"

Diam saja dia sebagai jawaban pada Ilman.

"Masih kesal dia," celetuk Dolphy. "Naufal pergi duluan saat dia masih mandi."

"Jam lima subuh! Sama Adyth pula!" keluhan Dj menyambar. "Tanpa cerita, tanpa pamit—pastilah mengerjakan sesuatu yang berbahaya."

"Apa menurut kau yang kita lakukan ini tidak berbahaya? Kita mau mencari mayat berisi—"

Kaki Aji dijejak keras oleh Dolphy sebagai usaha untuk menutup mulut temannya yang cerewet itu. Mereka kini sedang berjalan di atrium rumah sakit, bagian tengah gedung dengan pencahayaan alami nan teduh. Tempat yang ramai tentu saja, akan mengundang curiga kalau kalimat Aji tadi selesai dan tidak sengaja terdengar orang lain.

"Lantai satu sudah kita lihat sendiri bentuknya seperti apa: aula tengah dengan kolam dan tanaman hias. Coret itu dari daftar kita. Aku dan Ilman akan periksa lantai dua dan tiga, kalian berdua periksalah lantai empat dan lima."

"Kenapa tidak bergerak sendiri-sendiri? Kita berempat dan lantainya ada empat—lebih cepat selesai, bukan? Kau khawatir kalau aku akan mengacau? Atau Dj yang mengacau? Atau malah Ilman yang mengacau? Oh, maaf kalau aku banyak tanya," gumam Aji saat Ilman memberikan tatapan konyol pada dia.

"Bukan kau namanya kalau tidak banyak tanya, Ji," Dolphy kembali buku mulut beriring pintu lift yang perlahan menutup. "Lantai dua dan tiga itu office dan kamar perawatan. Ibuku disanjung seperti presiden di tempat ini, menyusup masuk ruangan administrasi akan jadi perkara mudah. Lagipula, repot-repot aku bawa ini juga biar nampak sedang akan menjenguk seseorang. Penyamaran sempurna tanpa harus merepotkan," Dolphy menunjuk hamper buah dalam genggaman menggunakan bibirnya yang dimajukan. "Lantai empat dan lima harusnya minim penjagaan. Berdua pun kalian harusnya bisa."

"Haahh, kalau tidak ada yang menjaga berarti tidak ada apa-apa, kan?" keluh Dj. "Sedang panas begini kamu malah beri kami jatah yang membosankan."

"Justru aku kasih kalian lantai yang paling mencurigakan. Duh, otakmu memang mana kepikiran," ejek Dolphy tepat saat lift berbunyi tanda mereka sampai di lantai dua.

"Tempat menyimpan mayat mana mungkin di tempat ramai, J," Ilman menambahkan. "Kau sendiri sudah lihat semalam, kan? Bentuknya mengerikan!"

"Kaget dan takut itu beda, Man. Kalau cuma keliling terus ketemu mayat, apa menariknya?"

"Aku ingatkan sekali lagi padamu, J, kita bukan sedang uji nyali," Dolphy menggeram kesal. "Kau temukan mayat itu belum tentu itu yang kita cari. Kita mesti pastikan di dalam mayat itu ada peledaknya—itulah kenapa kau pergi dengan Aji. Mencari benjolan di sekujur tubuh mayat bukan perkara mudah, kawan. Aku penasaran bagaimana rupamu nanti kalau memang kau yang menemukan," berbunyi lift, membuka perlahan pintunya. "Sudah ya! Dua lantai itu aku percayakan pada kalian pokoknya!"

Pintu lift kembali menutup, Aji menekan angka lima dan perlahan mereka kembali naik. Tersenyum lebar dia menatap Dj.

"Kenapa kau?" tanya Dj dengan melotot

"Ungkapan kebahagiaan," perlahan dia mulai tertawa. "Kita sedang berburu mayat, J! Oh, menurutmu apakah mayat-mayat ini akan bangkit seperti zombie begitu kita temukan? Kita akan berperang melawan zombie?!"

"Kalau benar mayat ini jadi zombie, baiknya kita rekam dulu, Ji. Konten langka ini!"

Mengangguk cepat Aji, sementara Dj terkekeh. Padahal keduanya tahu mayat mana mungkin jadi zombie; padahal mereka tahu yang mereka cari bom waktu yang siap menghancurkan diri.

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now