Sedikit Lagi

354 86 26
                                    

Makin dekat bayang-bayang pelaku ke arah kafe, angkuh perempuan ini makin tipis. Hancur sempurna percaya dirinya saat orang itu naik ke lantai dua, membuka pintu kaca pertama untuk masuk ruang ber-AC. Yang terlihat dari wajah hanyalah sepasang bola mata, menatap tajam seperti macan yang tidak ingin lepas buruannya. Ya, seluruh tubuh pelaku ditutup dengan jaket tebal, masker medis, topi hitam—persis penjahat yang biasa dia lihat di drama telenovela.

Dia langsung duduk begitu pelaku membuka pintu kaca menuju balkon. Tangan yang gemetar itu sekuat tenaga dikepal, mengumpulkan keberanian demi mendapatkan konten langka yang akan jadi kunci ketenaran.

"Ma-mau pesan ... makan?"

Kepala menggeleng yang dia dapat sebagai jawaban.

"Minum, mungkin? Suasana panas begini enaknya minum dingin, kan?"

Bukannya langsung menjawab, pelaku malah makin melotot. Merogoh sesuatu dia dari dalam saku jaket, dibanting kemudian ke atas meja. Sebuah belati—terbuka setengah sarungnya, menampakkan sisi tajam mengkilat sebagai ancaman agar lawan bicaranya tak perlu lagi banyak tanya.

"Aku tidak punya banyak waktu. Cepat serahkan uangnya kalau kau mau selamat!"

Diancam demikian, Vero bukannya takut—malah sedikit lega. Ini ... ini suara perempuan! Perempuan seperti dia! Dipikirnya pelaku merupakan pria ganas gagah perkasa—ah! Kalau lawan perempuan kenapa aku mesti ngeri? Belati itu paling cuma properti. Toh aku juga harus gagah agar tampak elegan dalam rekaman nanti.

"Kenapa harus buru-buru? Tenang saja! Kafe ini sudah aku sewa, tidak akan ada yang datang dalam satu jam ke depan."

Sebuah koper besar diangkat Vero ke atas meja. Dibuka sedikit penutupnya untuk menunjukkan lembaran-lembaran kertas berwarna merah mengkilat. Duit, jelas. Bau khas kertas yang baru keluar dari bank—semerbak masuk ke hidung si pelaku. Lantas mengangguk dia tanda percaya.

Vero memulai aksinya sekarang. Memperkenalkan diri dengan lengkap, setiap ragam akun media sosialnya disebut satu persatu. Pelaku jelas tidak peduli, fokus mata berulang kali berpindah dari Vero ke koper yang kini diletakkan di lantai. Mulai mengerjap sedikit saat disinggung dia mengenai motif kejahatan. Singkat saja menjawab: uang.

"Aku membawa tiga ratus juta sekarang untuk diserahkan. Apa rencanamu dengan uang sebesar ini?"

"Aku tidak akan menjawab."

"Tentu, tentu saja kau tidak akan menjawab," Vero tertawa. "Pasti karena malu, benar? Kenapa? Kau berhutang besar sampai-sampai tidak punya cara lain selain jadi penjahat?"

"Oh, aku tahu, aku tahu! Yang punya hutang pasti orang tuamu! Mereka sedang disiksa rentenir, dan kau sebagai anak yang berbakti coba menghalalkan segala cara agar bisa membebaskan mereka, betul?"

Bodohnya Vero karena menganggap diam pelaku sebagai kemenangan. Dia pikir orang yang duduk di hadapannya sekarang sama seperti murid-murid Vinhale yang biasa dia permainkan; murid-murid lemah mental yang cukup gemetar menahan kesal saat dilukai harga diri mereka.

Namun, orang ini jelas berbeda. Diam menahan kesal bukan karena takut, bukan karena rendah. Justru sedang mencari celah, waktu yang tepat untuk membungkam mulut besar manusia di hadapannya.

"Atau karena tuntutan gaya hidup? Ingin punya barang branded biar tetap hits tapi kurang modal?"

Sedikit lagi. Ibarat menyalakan api, jarak antara Vero dan ledakan hanya setetes bensin sekarang.

"Hmm ... bisa juga karena kau sebetulnya seorang pahlawan! Orang tuamu sedang sakit keras, divonis umurnya sudah sangat singkat, segera harus operasi tapi biaya tak punya. Astaga, tidak akan berkah kalau begini caramu cari duit untuk kesembuhan mereka. Salah-salah nanti malah—"

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें