Sepuluh Detik

395 105 5
                                    

Betul, kawan—selayaknya teman, Six Elves pun sering bertengkar. Adu mulut mah biasa, tiap hari malah ada saja yang diperdebatkan. Namun, beda dengan orang kebanyakan, mereka berenam tidak pernah sekali pun ambil hati atas apa yang diperselisihkan. Jangankan kebencian, sekedar dongkol pun mana pernah lagi tersemat dalam hati. Jadilah mereka cepat kembali akur seolah tidak ada yang terjadi. Seperti kali ini, saat makan malam tiba, semuanya makan dengan lahap dan tertawa. Hangat betul tampaknya, membuat iri Samuel dan Daka yang makan dalam diam di meja sebelah mereka.

Jangankan bersuka cita, untuk berkumpul lengkap pun mereka tidak bisa. Edi yang pulang duluan, juga si Anto yang ngambek gara-gara tak satu pun ikan ia dapat. Kamarnya memang tidak terkunci, tapi hanya mendengkur saja dia ketika aku bangunkan, cerita Samuel saat Daka menanyakan kabar dari Anto.

"Kau harus banyak makan sayur, J," tegur Adyth yang tengah mengunyah lalapan kol mentah.

"Kau tidak ingat julukanku di luar sana, Dyth? Serigala—dan serigala mana pernah makan tumbuhan," Dj bicara sambil terus menyuapkan ikan bakar ke dalam mulutnya.

Aji yang mendengar, lantas berceletuk. "Memangnya siapa yang memanggilmu begitu? Banci di Taman Kota?"

"Tidak seperti kau, kawan—yang menyebutku gagah dan tampan bukan hanya orang tua," Dj balas menghina dengan sangat luar biasa.

"Padahal aku tadi sudah sangat putus asa," Ilman membuka cerita. "Kan judulnya 'apa yang dipancing boleh langsung dimasak', jadilah kupikir kita cuma bisa makan dari hasil memancing. Kalau tahu bisa pesan makanan dari restoran, untuk apa susah payah berlama-lama di depan kolam?"

"Itulah esensi memancing, Man. Entah akan dapat ikan banyak atau kosong embermu hari itu, kau tetap memancing dengan sabar dan hati riang."

"Bagaimana bisa riang hati kalau kau tidak dapat apa-apa?" tanya Aji dengan sangat masuk akal.

"Contohnya sekaranglah," Naufal mengetuk salah satu piring berisi ikan gurame bakar di hadapan mereka. "Kolam pemancingan yang satu bisnis dengan rumah makan, mana mungkin membiarkan ikan dalam ukuran besar di dalam kolam—rugi. Yang besar akan disimpan di tempat terpisah, dijual kepada pelanggan restoran dengan hitungan harga per ons. Katakanlah kalian berhasil memancing tadi, yang kita makan paling ikan ukuran sedang penuh duri—bukannya ikan lezat penuh daging macam ini."

Jelas teman-temannya sepakat, daging ikan yang mereka makan memang benar tebal macam steak, lembut dikunyah berlapis minyak gurih. Sayang, kenikmatan itu tidak dirasakan oleh semua karena salah satu dari mereka, Dolphy, sedari tadi lunglai menggerakkan gigi sembari menatap hujan yang turun sejak setengah sembilan.

Tiap lima menit, Dolphy pasti melirik jam—jarumnya sekarang sedang menunjukkan angka 8.58. Makin tidak tenang hati Dolphy, sempurna sudah makannya terhenti. Menoleh ia ke masing-masing orang di dalam sana, semuanya lengkap tengah tertawa. Mereka berenam, dua orang tamu yang tengah makan, dan dua orang pegawai yang tengah menonton acara komedi di salah satu stasiun televisi. Ah, sebetulnya masih ada satu orang lagi yang sedang tidur di penginapan lantai dua, tapi benar apa yang Naufal katakan: kalau hanya ada dia seorang, mana mungkin terjadi pembunuhan, bukan? Kecuali pelakunya menemukan cara jenius macam Roni (kasus Garam dan Merica) atau bunuh diri layaknya Ari.

"Kenapa kau, Phy?"

Teguran Ilman membuyarkan lamunan Dolphy. "Ti-tidak, hanya kepikiran mengenai sesuatu."

Mendengar ada pancingan kalimat yang bisa dijadikan bahan menghina, Dj langsung masuk ke dalam pembicaraan. "Bill? Tak usah kau pusingkan, kawan. Kali ini Ilman yang bayar."

Jelas Ilman langsung menoleh, melongo kaget, menatap polos ke arah Dj yang asal menarik kesimpulan dengan mulut penuh makanan.

"Kenapa kau kaget? Kan kau yang paling banyak makan! Nasi pun setengah bakul kau habiskan—jelas kau yang bayar!"

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now