Pola Kematian

497 115 10
                                    

Hati manusia—secara rohani—dalam bahasa arab disebut qalbu, yang juga memiliki arti berubah-ubah. Ini menunjukkan sifat manusia yang memang sering berubah-ubah suasana hatinya—termasuklah enam sekawan ini sebagai bukti nyata kalau betul memang demikian manusia itu. Berkali-kali mengalami kejadian gaib dalam satu malam tentu membuat mereka merinding ketakutan. Apalagi kejadian kaca yang secara misterius pecah tanpa sisa, dipikir dari sisi mana pun tetap saja tidak masuk akal logika. Namun, hati mereka langsung berbalik setelah pindah kamar dan saling bicara. Mereka kembali bergairah, penuh semangat—tidak sabar menanti kejadian apa lagi yang mampu menggetarkan hati.

Tidur mereka malam itu pulas betul seolah baru selesai pulang pesta. Nikmat itu muncul akibat ketenangan yang timbul dari kata-kata Naufal sebelum mereka pergi tidur. "Aku tidak ingin begitu saja percaya kata-kata orang yang bahkan tidak jelas asal-usulnya, tapi kalau kita perlu cepat cerna, ada satu yang menurutku menjadi inti: kita diminta untuk menyingkap kematian yang akan terus datang. Coba dengungkan berulang-ulang kata-kata itu, kawan. Mungkinkan kalimat demikian keluar dari makhluk kematian betulan? Entahlah—bagiku kalimat itu seperti tantangan. Seolah dia adalah pembunuh kejam, dan kita diminta untuk membongkar apa yang dia perbuat. Tentu saja tantangan ini akan kita terima!"

Jadilah enam sekawan ini tidur dengan membayangkan besok akan melakukan pengamatan seru nan menegangkan, padahal mereka punya PR fisika yang harus dikumpul tepat jam sepuluh.

Namun, tidak semua dari mereka bisa tidur nyenyak. Setelah setengah jam berusaha terpejam, Dolphy memutuskan untuk bangun dan membuka laptop. Anak ini tipikal orang yang paling tidak percaya perkara gaib, karena menurut dia segala sesuatu itu pastilah bisa dijelaskan secara sains. Satu persatu sumber informasi di internet dia gali, mulai dari blog sampai forum gelap deep web, tetap saja jawaban tak kunjung ia dapatkan. Kesimpulan setelah dua jam membongkar dunia daring: belum pernah ada satu pun manusia selain mereka yang tetap hidup setelah melihat wujud kematian.

Berpaling dia kepada Naufal yang sedang tidur dalam posisi duduk, masih menggenggam batu hitam yang tadi memecahkan kaca kamar secara misterius. Sang kapten pastilah tertidur saat sedang memikirkan sesuatu, tertawa kecil Dolphy membayangkan hal itu. Tawa ini malah kembali mengingatkan Dolphy pada kalimat Naufal. Seandainya memang besok kami akan menyingkap misteri opera ini, aku harus mempersiapkan sesuatu, begitu pikir si jenius.

Kalau benar bangku opera itu ibarat batu nisan, berarti kami harus tahu siapa yang tewas kalau angkanya muncul—tapi, bagaimana caranya? Jelas menerka urutan dari daftar penonton pertunjukan terakhir bukan pilihan untuk dia. Ada 150 kursi di dalam ruangan itu, sedangkan kursi yang sudah muncul angkanya hanya sebelas—variabelnya terlalu banyak bahkan untuk pemodelan matematika. Dia harus cari cara lain.

Saat itu jam tiga buta, Dolphy sedang garuk-garuk kepala sambil tertawa. Ya, menertawakan dirinya yang ceroboh melewatkan hal penting: dia pun belum tahu sepuluh kursi tersisa itu milik siapa saja. Sebenarnya gampang, tinggal cari data penduduk yang meninggal tepat di tanggal yang terukur di kursi. Langkah paling cepat tentu dengan mengakses data milik pemerintah meskipun dengan cara yang sedikit—ilegal.

Alarm di ponsel Ilman berbunyi tepat saat Dolphy selesai menemukan nama dari empat orang. Sibuk mereka bersiap untuk pergi sekolah, sementara sibuknya Dolphy masih tetap pada pencarian nama.

"Cepatlah mandi, Phy! Sudah jam tujuh ini!" ujar Ilman yang sedang menyisir rambutnya yang pirang.

"Aku tidak masuk dulu hari ini, ada hal penting yang harus aku cari," Dolphy mengulurkan selembar amplop pada Naufal. "Ini surat sakit palsu sebagai izin."

"Cepat beritahu kami kalau kau menemukan sesuatu."

"Tentu, Kapten."

"Dan cobalah untuk tidur meski sebentar, Phy! Kantong plastik pun kalah hitam dengan katong matamu!" ejek Dj sebelum beranjak keluar kamar bersama empat yang lain. Dolphy terkekeh, begitu memang cara Dj dalam menampakkan kekhawatiran—dengan melemparkan sebuah ejekan.

Kembali Dolphy menghadap laptop, menghimpun nama yang tersisa satu per satu. Cukup satu jam daftar itu selesai—kecuali yang tewas paling akhir, yang semalam mereka saksikan perih sakaratul mautnya. Mungkin karena masih baru, kematian orang itu belum tercatat di data kependudukan. Dolphy lantas memutar otak, menerka siapa yang kira-kira punya informasi. Jelas tebakan yang paling tepat adalah polisi, tapi menyusup ke dalam database kepolisian sama dengan cari mati. Dia harus cari orang lain—orang yang lebih dulu tahu kalau ada kejadian kriminal macam pembunuhan.

"Itu dia!" Dolphy berteriak keras seolah baru menemukan permata. Orang yang lebih dulu tahu kalau ada kejadian kriminal selain polisi—siapa lagi kalau bukan media?! Dipungutnya langsung ponsel untuk segera menelepon editor percetakan koran di kota mereka. Kalau sekedar informasi dari media cetak, tentu Dolphy tidak perlu repot-repot meretas—karena toh percetakan itu milik keluarga Dolphy.

"Halo—iya, selamat pagi Pak Dodi! Betul ini Dolphy, Pak, betul. Kebetulan ada yang ingin saya tanyakan," berhenti sebentar Dolphy untuk mencari alasan kenapa dia tiba-tiba ingin tahu kabar kasus pembunuhan.

Belum sempat terpikirkan, Pak Dodi yang lebih dulu menyahut. "Ah, pasti mau tahu tentang pembunuhan Pak Murianto semalam, benar?"

Dolphy jelas kaget, nama yang sekonyong-konyong disebutkan itu benar ada di daftar penonton opera berdarah!

"Ke-kenapa Bapak bisa tahu?"

"Loh, anaknya teman satu sekolah kalian toh? Ari Sunandar? Yang sudah tiga hari hilang kabur dari rumah."

Sadarlah si jenius kalau informasi ini petunjuk besar. Lantas ia catat sedetail mungkin informasi mengenai kematian Pak Murianto dan hilangnya si Ari ini. Aneh, entah kenapa dia merasa ada yang aneh. Balik lagi dia buka catatan nama sebelas orang yang sempurna sudah dia temukan. Ada spekulasi besar muncul sekarang di dalam kepala. Dipilihnya satu, Ahmad Fandani, yang tewas lusa kemarin sebelum Pak Murianto, sebagai subjek awal pencarian. Perlahan Dolphy teliti betul satu-satu orang yang meninggal di hari yang sama dengan bapaknya Khoirudin ini. Hasilnya nihil, tidak ada yang aneh. Setelah diperbesar variabelnya menjadi satu minggu, barulah terlihat pola yang mencurigakan. Satu hari sebelum Ahmad Fandani tewas terbunuh, istri keduanya lebih dulu ditemukan tewas di dalam gudang rumah mereka. Begitu pula korban yang lain—semuanya dibunuh selisih satu hari dengan orang terdekat mereka yang juga tewas terbunuh.

Baru juga membuka kontak ponsel untuk menelepon Naufal, sang kapten sudah lebih dahulu menghubungi. "Panjang umur, kawan. Aku baru saja hendak menelepon kau."

"Sepertinya kau bolos di hari yang kurang tepat, Phy. Kita punya kejadian buruk di sekolah. Seseorang tewas gantung diri di gudang gedung olahraga."

"Oh, benarkah? Siapa?"

"Anak kelas 3.7, Ari Sunandar."



Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now