Delapan Puluh Tujuh

320 87 24
                                    

"Kita matikan saja AC-nya?"

"Jangan! Makin tersiksa dia kalau panas."

"Tubuhnya menggigil hebat, kawan. Padahal sudah tiga jaket kita pakaikan!"

"Kau yakin dibawa ke rumah, Fal? Tidak sebaiknya ke rumah sakit?"

"Fokus saja dengan setir, Phy! Dia begini penyakit lama! Alatnya kan ada di rumah kau!"

Padahal sudah sekuat tenaga Aji menutup telinga, tetapi perdebatan ketiga temannya tetap jelas terdengar. Lima belas menit di jalan terasa seperti lima belas menit di neraka. Suara klakson dan gerung kendaraan seolah ditempelkan tepat di daun telinga. Sampai di rumah Dolphy pun tidak kalah mengerikan, panas matahari membakar kulitnya yang tertutup sempurna pakaian. Rasanya seperti sedang dipanggang hidup-hidup. Menggeliat hebat Aji seperti cacing, membuat repot Adyth yang tengah menggendong dari mobil ke dalam kamar.

Dolphy langsung menyambar remot AC kamar, disetel tepat 29 derajat. Laci mejanya dibongkar, isinya dihamburkan asal di atas karpet. Meraba-raba penuh panik mencari benda putih berukuran satu buku jari. Benda yang dulu dia ciptakan, hadiah ulang tahun Aji yang ke tujuh, yang hanya dipakai satu tahun setengah. Dapat! Terselip ternyata di lembaran buku, langsung dipakaikan ke telinga Aji detik itu juga.

Perlahan, Aji mulai tenang tidak lagi mengeluh dan sakit kepala. Matanya terbuka lebar sekarang, menatap Adyth, Dolphy, dan Naufal yang sama paniknya dengan dia. Dolphy menggerakkan tangan, coba mengajaknya dialog tanpa berbicara.

"Ya, aku baik-baik saja," jawab Aji. Ketiga temannya langsung lega. "Filter hidungnya mana? Aku mual, keringat kalian baunya persis seperti nangka busuk."

Dolphy kembali menggerakkan tangan, bahasa isyarat yang artinya, "Sudah kubuang. Bekas lendir hidung mana mungkin pula aku simpan."

"Apa yang terjadi dengan kau ini?" Naufal nimbrung, dengan ASL tentu saja. Mau tidak mau harus begini cara mereka komunikasi. Alat yang dipasang Dolphy menutup sempurna lubang telinga Aji. Tidak ada satu pun suara yang lolos, Aji sekarang tuli untuk sementara.

"Ini, aku menemukan ini di laci meja korban. Aku coba cicip satu tetes," Aji mengulurkan tabung suntik yang dia pungut kepada Naufal. "Rasanya aku kehilangan kendali atas semua indraku."

"Biar aku teliti," Dolphy merebut tabung suntik itu dari Naufal. "Aku punya hipotesis kuat akan hal ini. Sepuluh menit--aku akan kembali dalam sepuluh menit."

"Kau sebaiknya coba istirahat sampai Dolphy kembali."

"Atau pijat punggungku, kawan. Pegal betul rasanya menggendong kau tadi," Adyth menambahkan sambil terkikik. Bisa ditebak, tidur yang jadi pilihan Aji. Badan keras macam papan, tukang urut pun setengah hati kalau disuruh pijat Adyth.

"Kalian bagaimana, Dyth? Dapat sesuatu?"

"Dolphy yang lebih banyak bicara, yah--tipikal curhat anak orang kaya. Aku hanya menyimak, Fal, kau bisa tanya lengkapnya ke Dolphy nanti. Namun, kalau kau minta secara garis besar, ceritanya begini," wajah Adyth tiba-tiba serius. "Saka dengan suka rela minta agar pelaku membunuh dia. Malah sudah bayar seratus lima puluh juta sebagai uang muka. Ternyata batal, pelaku hanya membuat dia cedera. Anehnya, pelaku datang menjenguk saat Saka masih dirawat di rumah sakit. Uangnya dikembalikan utuh, meminta maaf, bahkan mendoakan kesembuhan."

"Dia kontak dengan pelaku? Pakai apa?"

"Saka sempat upload surat ancaman dari pelaku ke sosial media--untuk menarik perhatian bapaknya. Aduduh, bahagianya tulang punggungku!" senyum lebar Adyth ketika lurus punggungnya di kasur Dolphy. "Nah, saat itulah pelakunya menghubungi--meminta agar Saka menghapus segera. Saka malah menawarkan pelaku untuk membantu dia bunuh diri, dan kelanjutannya seperti yang aku bilang tadi."

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now