Mereka Yang Pantas Dijemput Kematian

628 132 10
                                    

"Sedang apa kau?"

Pertanyaan Naufal disambut lama bunyi ketukan keyboard. Tiba waktunya serius, Dolphy memang tidak bisa kau ganggu sampai selesai betul semua perintah di dalam otaknya.

"Memanfaatkan jam kosong," Ia berbalik, meletakkan laptopnya di meja sang kapten. "Jujur, aku masih penasaran dengan tempat yang kita datangi kemarin. Ini semua data yang berhasil aku kumpulkan—sebagian besar dari perpustakaan daerah. Nenek Rui benar, dulu gedung opera itu bagai menara Eiffelnya Easterham. Tutup tahun 1995, satu tahun setelah beroperasinya bioskop pertama di Easterham. Alasannya ya sama seperti yang Nenek Rui bilang: kalah saing. Aku juga menemukan foto-foto pertunjukan terakhir mereka, ada juga daftar penonton lengkap dengan nomor kursi tempat mereka duduk. Sepertinya memang tempat itu benar-benar punya sejarah besar."

"Syamsul Fari, Ahmad Fandani, Pandawa Husin, Bambang Eka—oh oke, sepertinya yang nonton semuanya orang kita," ujar Dj setelah membaca daftar penonton pertunjukan terakhir di laptop Dolphy. "Kupikir karena opera identik dengan Eropa, setidaknya ada satu-dua nama bule nyangkut."

"Keren juga ya kalau pertunjukan opera itu masih ada sampai sekarang! Kota kita bisa jadi destinasi wisata nih," kata Ilman sambil terbahak.

Sedang asyik-asyiknya halu, tiga orang kelas dua masuk ke dalam kelas mereka membawa kardus air mineral. Semua penghuni kelas 3.1 langsung duduk di kursi masing-masing, Naufal bahkan sampai membangunkan Adyth. Kalau sudah ada anak OSIS masuk kelas bawa-bawa kardus, jelas kalau mereka sedang akan minta sumbangan duka cita. Meskipun tak menyumbang banyak, setidaknya kau harus sedikit menunjukkan bela sungkawa dengan memberikan perhatian, bukan?

"Selamat pagi, kakak-kakak. Kami di sini perwakilan dari OSIS ingin mengumpulkan sumbangan duka cita atas meninggalnya Haji Ahmad Fandani, orang tua dari Khoirudin kelas 2.2. Maka dari itu apabila ...."

Lanjutan kalimat adik kelasnya tidak lagi di dengar Naufal. Ia kembali membuka laptop Dolphy, scroll sana-sini, matanya bergulir ke kanan dan kiri.

"Fandani ... Fandani ... Fan—oh, yang benar saja!" 

"Kenapa, Fal?" tanya Adyth dengan mata yang masih setengah membuka.

Menggeleng dia, lantas tersenyum lebar seperti penggali harta yang baru menemukan gunung emas. Kita menemukan hal menarik, jawabnya penuh arti. Oh, sekiranya enam sekawan tahu apa yang akan terjadi kemudian, sungguh lebih baik bagi mereka untuk tetap diam dan berperilaku normal saja. 

✵✵✵

Sepulang sekolah, barulah dijelaskan oleh Naufal kecurigaan yang dia dapat. Ya, sang kapten berpikir kalau wafatnya Pak Haji ini ada hubungannya dengan angka aneh di panggung opera bekas yang kemarin mereka datangi. Meski tidak begitu mengerti, lima yang lain menurut saja. Benar atau salah prasangka itu, setidaknya lebih baik daripada sekedar pulang menonton TV atau tidur sampai tenggelam matahari.

Akan tetapi, bukan gedung opera yang jadi tujuan awal. Terlebih dahulu mereka ingin dapat informasi dari keluarga korban. Satu atau dua hal saja, yang bisa jadi awal pembuka rasa penasaran mereka.

"Betul yang ini rumahnya?"

"Seratus persen yakin."

"Kok sepi, ya?" gumam Dolphy yang baru selesai memarkir mobil.

"Itulah kenapa aku tadi tanya apa betul yang ini rumahnya. Mana ada rumah orang meninggal ditutup rapat seperti itu."

"Haji pula," tambah Adyth saat mereka sudah sampai teras. "Paling tidak kan harusnya ada pengajian atau apa gitu."

Rumah itu memang terlihat—normal. Bagian depan rumah berhias tanaman mungil, tumbuh cantik di dalam pot warna-warni. Ada pula beberapa kursi rotan tempat penghuni bisa bersantai menikmati teh hangat di sore hari—yang sekarang dipakai oleh Dj dan Adyth karena malas mereka berdiri. Namun justru kondisi normal begini bisa berubah arti menjadi mencurigakan kalau situasinya tidak mengenakkan. Benar, pilihan Naufal untuk datang ke tempat itu merupakan keputusan yang benar; mereka pasti punya informasi penting yang bisa digali.

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang