Kutukan

484 119 13
                                    

"Apa barusan dia menjawab pertanyaanku?"

Tidak ada respon, kelima teman Ilman di sana sama terkejutnya dengan dia. Mereka hanya menatap kaku ke arah layar TV, berusaha keras memproses segala kemustahilan yang malam itu sedang terjadi. Apakah yang sedang mereka alami ini—kejadian gaib? Kalau iya, berarti yang sedang menatap mereka itu ....

"Apa kameramu itu benar-benar canggih sampai dia bisa mendengar apa yang kita bicarakan?"

"Tidak, Fal. Harusnya dia tidak bisa dengar," jawab Dolphy. "Aku hanya pasang mikrofon, tidak pasang speaker."

"Malah harusnya kamera itu tidak bisa dibawa kemana-mana! Aku sudah paku permanen kakinya ke batang logam di belakang tirai!" tambah Dj.

"Jepit permanen? Jadi dari awal kamera itu memang tidak akan dicabut?!"

"Mana kutahu kalau kamera itu akan dicabut, Ji!"

"Kalau pun dicabut paksa, kita pasti tahu. Lah wong kamera itu aktif terus-menerus di laptop Dolphy, kan? Tidak masuk akal kalau tiba-tiba pindah begitu!" timbrung Adyth.

"Pasti ada triknya."

"... atau gaib."

"Tidak, pasti pakai trik!"

"Fal, bagaimana kau menjelaskan kamera yang tiba-tiba pindah begitu coba?! Terus orang itu juga barusan menjawab pertanyaan kita! Ini pasti gaib, yang kau lihat itu pasti makhluk pencabut nyawa sungguhan!" pekik Aji dengan tubuh yang gemetar dari atas sampai bawah.

"Betul, aku adalah makhluk pencabut nyawa—dan kalian sudah melihat sesuatu yang tidak seharusnya kalian lihat."

"Fuck you!" pekik Dj ke arah laptop. "Kau pikir kami akan takut hanya karena kau bawa-bawa sabit besar begitu, hah?!"

"Mungkin sekarang tidak, tapi begitu waktumu habis—kau akan gemetar ketakutan memohon belas kasih dari sang pencabut nyawa."

"Eh, bangsat! Kalau kau memang pencabut nyawa, ayo coba cabut nyawaku sekarang!"

"Dj! Hati-hati dengan mulutmu! Kalau kau kena kutuk bagaimana?!"

"Benar, kau akan menerima kutukan kalau berlaku tidak sopan pada—"

"Aku sudah dikutuk sungguhan sejak lahir! Menurutmu aku sekarang akan takut, hah?! Jangan bercanda! Kambing pun akan tertawa kalau mendengar ancaman tengik kau itu!"

"Dj! Kau kelewatan!" tegur Ilman.

"Jangan ikut-ikutan, Man! Kalau kau takut, diam saja seperti Dolphy!"

"Loh, kok kau malah nyindir aku sih?!" protes Dolphy.

"Kan biasanya yang penakut itu kau sama Ilman," Adyth ikut-ikutan mengejek sambil tertawa kecil.

"Ini bukan masalah penakut, J! Kata-katamu itu tidak pantas diucapkan! Kalau dia marah bagaimana?!" kembali Ilman menasehati.

"Sempat-sempatnya ya kau ceramahi aku!"

Meskipun keadaan makin panas, Naufal diam tanpa melakukan usaha apapun untuk menenangkan teman-temannya. Bukan karena dia tidak mampu, tapi karena ia tidak ingin. Justru keadaan ini yang ia mau, keadaan di mana Dj menghina habis-habisan sosok yang mengaku gaib, juga saat-saat di mana mereka saling berdebat.

Apalagi tujuan Naufal kalau bukan untuk membaca respon psikologis sosok misterius itu. Meskipun yang terlihat dari wajah hanya hidung ke bawah, tetap saja itu sudah lebih dari cukup bagi sang kapten. Namun, yang jadi masalah adalah—sosok itu sama sekali tidak menunjukkan perubahan ekspresi apapun! Saat ia diabaikan, dihina, bahkan saat Six Elves pecah saling bantah, wajahnya tetap datar, pucat seperti mayat. Ya, kalau pun ada yang sanggup melemparkan ekspresi datar macam itu di setiap situasi, dia pasti bukan manusia.

DUAR!

Suara petir menggelegar kencang masuk gendang telinga. Mereka berenam kaget bukan main—yang tadi berdebat langsung senyap mengunci mulut. Bagaimana mungkin suara itu masuk?! Kamar itu kedap suara!

"Manusia memang lemah. Digetarkan langit sedikit, keberanian langsung menguncup."

Naufal langsung mengangkat tangan begitu Dj hendak bicara. Ia juga memberi kode dengan menunjuk dada. Biar aku yang bicara, mungkin begitu maksudnya.

"Apa yang kau inginkan dari kami?"

"Penebusan dosa kalian."

"Dosa? Dosa apa?"

"Dosa karena telah menguntit kematian."

"Tuh kan! Aku bilang juga apa, kita harusnya langsung cabut kameranya tadi!" sahut Aji.

Naufal merespon dengan berdesis, dibantu oleh Adyth yang langsung memukul kepala Aji pelan.

"Kutukannya sudah menempel pada kalian karena terlanjur melihat kematian. Tidak bisa diundur, tidak bisa dihilangkan."

"Kutukan apa yang kau maksud?"

"Kutukan kematian. Sekali melihat kematian, kalian akan terus melihat kematian."

"Maaf, Pak, kalimatmu itu kedengarannya seperti omong kosong besar di telingaku," Naufal lanjut bicara. "Makhluk pencabut nyawa? Bagiku kau seperti kutu buku yang sedang cosplay. Kalau pun kutukanmu benar, kau salah sasaran. Kami tidak akan takut, kami malah senang. Bagi kami melihat dan menyingkap kematian adalah sesuatu yang menarik hati. Itulah kenapa kamera itu terpasang kokoh—karena kami cinta misteri."

"Singkaplah! Temukan kematian itu di tempat biasa!"

"Makin ngaco ini orang!" Dj kembali bicara.

"Batu ini akan menjadi keyakinan bagi kalian yang masih dipenuhi keraguan."

Sosok itu mengeluarkan sebongkah batu hitam dari dalam jubah yang dipakai. Dengan ancang-ancang layaknya pemain baseball profesional, dilemparnya batu itu ke arah kanan kamera.

"Sedang apa dia?"

PRAANG!

Kaca jendela kamar Dolphy pecah, bersamaan dengan batu hitam sebesar genggaman jatuh menggelinding ke atas karpet. Enam sekawan itu shock bukan main, kaku berdiri di tempat masing-masing. Mereka tatap lekat-lekat—batu itu sama persis dengan yang dilempar si pencabut nyawa! Bagaimana mungkin batu itu bisa sampai?!

Beralih pandangan mereka kembali ke layar TV, si pencabut nyawa sudah tak lagi nampak. Layar itu kembali memvisualkan ruang opera gelap, tanpa apapun yang menarik mata.

Tiba-tiba Naufal sadar akan sesuatu. Ia berjalan memungut batu hitam yang tadi dilempar, kemudian perlahan meraba setiap sisi karpet hingga ke tepi jendela yang pecah. Keringat dingin mulai membasahi kulit, dadanya kencang tak beraturan. Ada yang salah!

"Mau kemana kau?!" tanya Adyth saat Naufal tiba-tiba lari ke luar kamar. Jelas yang lain langsung ikut lari menyusul.

Sang kapten masih berlari saat sampai pintu depan, tergopoh-gopoh memakai sendal lalu keluar menuju halaman samping. Ia baru berhenti saat sudah berdiri tepat di bawah jendela kamar Dolphy. Sekonyong-konyong anak itu merangkak pelan, wajahnya tertunduk ke tanah sedangkan telapak tangan disapukan berulang kali ke atas rumput.

"Kau ngapain, Fal?! Hey! Kau tidak kesurupan, kan?!"

"Mustahil."

"Apa yang mustahil?!"

"Kaca jendelanya, teman-teman! Pecahan kaca jendelanya tidak ada!"



Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now