Pulang

297 51 39
                                    

Adyth menggenggam pergelangan tangan Ilman, memaksa temannya itu untuk tetap diam di tempat meskipun tiga ekor anjing seukuran singa perlahan makin mendekat. "Setiap detik yang kita punya sangat berharga, Man. Kita hanya akan dapat sedikit waktu kalau kau pancing mereka dari sekarang," menoleh Adyth pada yang lain, yang sedang berkutat berusaha melepas ikatan kencang tali tambang dari leher Putri. "Kalian bisa lebih cepat?"

"Berisik kau beruang cokelat!" pekik Dj kesal, wajahnya merah padam semerah telapak tangan yang mulai perih berusaha memutuskan tali dengan tarikan tenaga saja. "Tenaga kau kan yang paling besar, kenapa tak kau coba sendiri?!"

Lantas Adyth mendorong tubuh Aji dan Gilda ke samping, menyeruak meminta ruang agar lengan berototnya memiliki cukup tempat untuk mengeluarkan tenaga. Sekilas melirik, Adyth langsung tahu simpul ikatan di leher Putri adalah death knot yang sudah terkunci sempurna. Tidak mungkin mengulur lepas, hanya mungkin untuk diputuskan entah dengan bantuan alat atau murni mengandalkan tenaga.

Adyth melilitkan tali dekat leher Putri ke tangan kiri, lalu dia mengulur jarak sejauh mungkin yang rentang tangannya bisa gapai, lalu titik itu dililitkan ke pergelangan tangan kanan. Menghentak kaki Adyth langsung membentuk kuda-kuda, urat leher yang mencuat menjadi pertanda kalau sudah sekuat tenaga dia mencoba. Sayang hanya berakhir sia-sia, hanya berbuah perih di telapak tangan yang merah padam—kini meninggalkan bekas persis rongga talinya.

"Tarik lebih kuat, Dyth!" pinta Dolphy. Adyth tidak menjawab, talk less do more, tanpa diperintah pun dia langsung tarik kembali talinya kuat-kuat.

Pergelutan dengan tali belum selesai, mereka harus membagi panik kembali dengan tiga ekor monster yang sekarang makin dekat. Oh, yakin sekali, kawan, dengan lima kali melompat rahang anjing-anjing itu sudah sampai ke tempat mereka berdiri. Namun, entah kenapa jalan mereka lambat sekali, belum tampak ada tanda-tanda akan menyerang—semoga saja bertahan seperti itu. Entah karena ingin mengusir atau memberi teror, begitu saja sudah cukup memberikan rasa takut dan gugup setengah mati.

Sedekat apapun kematian menghampiri, tidak juga sanggup menggentarkan kuatnya ikatan persahabatan di dalam dada Gilda. Setitik pun tidak terbersit keinginan untuk melangkah pergi meninggalkan Putri. Malah kini makin kencang mendekap, setiap sisi kepala Putri digenggam ke dalam pelukan seolah berusaha memberikan ketenangan dibalik semua panik yang sedang terjadi.

Panik dan tanda tanya, sebetulnya. Ya, di balik semua panik yang sedang terjadi, sempat-sempatnya dia menaruh heran. Heran kenapa lima orang remaja laki-laki yang sama sekali tidak mengenal mereka berdua, mau saja berdiri gagah memasang badan terhadap bahaya yang mengancam. Orang asing tidak seharusnya berbuat demikian, orang asing seharusnya segera pergi menyelamatkan diri.

Ilman tiba-tiba menjejak, lari memisahkan diri dari rombongan setelah memungut beberapa batu tiga kali ukuran buku jari. Merasa sudah cukup jauh, tegap berdiri Ilman di antara dua pohon Kulim yang mengapit. Gugup sudah tentu, gemetar hanya bisa ditelan dalam-dalam. Sudah sepatutnya mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan nyawa. Bisa—ini bukan kali pertama dia melawan kematian.

"Kemari kalian, anjing busuk!" teriak Ilman sambil melemparkan batu dengan sekuat tenaga. Kena telak tepat di bagian kepala salah satu anjing! Aneh, tapi aneh sekali, kawan. Anjing itu sama sekali tidak berpaling!

"Lempar lagi, Man! Kali ini jangan mengumpat, coba sambil mengucap bismillah!" terdengar pekik Dj dari kejauhan, entah saran betulan atau ejekan konyol seorang teman.

Ilman yang mulai berkeringat dengan panik berlutut meraba tanah, mengambil apapun yang masuk ke dalam jangkauan genggaman. Tegak kembali Ilman bersamaan dengan tuntas membaca bismillah, lantas melayangkan batu dengan lebih kencang sesuai perintah. Tidak hanya satu, kali ini kena dua kepala sekaligus! Masih tidak ada efek, kawan. Anjing-anjing itu tetap melangkah tanpa sedikit pun menoleh seolah batu tadi hanya daun yang jatuh tertiup angin.

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now