Jari Tangan Manusia

296 88 17
                                    

Where did we come from? Why are we here?

Where do we go when we die?

What lies beyond, and what lay before?

Is anything certain in life?

They say, life is too short, the here and the now

And you're only given one shot

But could there be more, have I lived before

Or could this be all that we've got?

"Safe in the light that surrounds me. Free of the fear and the pain. My questioning mind has helped me to find the meaning in my life again."

"Victoria's real. I finally feel at peace with the girl in my dreams. And now that I'm here, It's perfectly clear, I found out what all of this means."

Tangan menggenggam erat ditempelkan tepat di atas dada. Sambil terpejam, penuh penghayatan tarikan nafas, lanjut kemudian nyanyian Adyth. "If I die tomorrow, I'd be alright because I believe—" berhenti dia agar lirik itu dilanjutkan temannya.

"—that after we're gone the spirit carries on." Dj mengangkat tangan ke atas, kepalanya naik-turun seolah sedang mengiyakan kalimat dari vokalis band dalam konser akbar. Padahal, dagunya sedang berulang kali tercelup dalam air kotor tempat dia tidak sengaja 'mandi' bersama Adyth sedari tadi.

Tenang sudah aliran air yang membawa mereka. Tidak lagi ganas, paniknya Adyth dan Dj pun perlahan menghilang. Berbagai macam cara sudah mereka coba: menggenggam dinding saluran, menjadikan bahu Adyth sebagai tumpuan, sekuat tenaga meloncat dari dasar seperti lumba-lumba pertunjukan—hasilnya tidak ada. Hanya buang-buang tenaga. Jadilah mereka kembali ke rencana asal: menurut saja pada takdir, dan sekarang sedang mencoba menghilangkan kebosanan dengan cara bernyanyi sepenuh hati.

"Suaraku jadi bagus kalau bernyanyi di dalam sini," Dj terkikik. "Mungkin sudah sebagus suara Aji."

"Ya, ya, teruslah bermimpi," Adyth menggeser bungkusan plastik hitam—yang mungkin saja berisi sampah atau kotoran—agar mengapung menjauhi tubuhnya. "Meskipun akan praktis memang kalau dengan tercelup ke saluran pembuangan bisa membuat suaramu menjadi indah. Oh, tapi untuk ukuran lagu bahasa Inggris, pelafalanmu sudah baik kok! Yah, cukup enak didengar telinga daripada saat kau menyanyikan lagu bahasa Indonesia."

"Karena dari kecil aku lebih banyak dengar lagu bahasa Inggris. Aku kan dulu hidup dengan Naufal dan Dolphy. Kumpulan lagu mereka mana ada yang Indonesia."

"Jadi, lagu tadi favoritmu?"

"Bukan, meskipun memang cukup sering aku dengar."

"Coba nyanyikan lagu favoritmu!" pinta Adyth sambil nyengir. "Aku cuma tahu lagu-lagu Indonesia, itu pun tentang cinta. Rasanya kurang pas kalau dinyanyikan sekarang."

Dj berdeham seolah sedang mengatur pita suaranya. Kepala ditegakkan, nampak serius teman kita ini mengeluarkan suara. "Who says, who says you're not—" berhenti dia tiba-tiba. Wajah menyebalkan itu berubah sendu, seolah habis diguyur tiba-tiba dengan kesedihan. "—perfect? Who says you're not worth it?"

Adyth tidak tahu lagu apa yang sedang dinyanyikan sahabatnya, tapi dia tahu pasti kalau Dj punya kenangan menyakitkan dengan lagu itu. Oh, kalau benar demikian, kenapa bisa jadi lagu favorit? Hanya sepenggal yang Dj nyanyikan. Kini malah bungkam menatap aliran air yang keruh.

Namanya juga remaja. Mood swing hanya karena teringat kenangan yang terikat oleh lagu adalah hal yang biasa, bukan?

"Tangga, Dyth! Tangga!" Timbul gores senyuman di wajah mereka tepat lima menit kemudian. Di bawah remang cahaya lampu oranye nampak tangga besi di sebelah kanan. Saking bersemangatnya mereka berdua, batang kelapa yang mereka manfaatkan sebagai pelampung darurat sampai dikayuh sekuat tenaga agar lebih cepat mendekati tujuan.

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now