Awal Mimpi Buruk Mereka Yang Selanjutnya

351 90 7
                                    

Melirik sekali lagi Naufal ke arah jam tangan. Pukul setengah enam, sudah lewat setengah jam dari waktu janjian antara dia dan kekasihnya. Pantatnya sudah sakit dipakai duduk di kursi besi dekat pintu utama mal terbesar kota Easterham. Ah, ingin rasanya berjalan-jalan lebih dulu, mencari sesuatu yang menarik daripada menghabiskan waktu dengan duduk termenung. Ditambah angin sore yang sekarang bertiup kencang, makin malas dia berlama-lama di sana. Jadilah Naufal bangkit berdiri, membalik badan hanya untuk mendapati perempuan yang ditunggu berlari pelan mendekat ke arahnya.

"Naufal!" Tasya, perempuan sebaya dengan rambut panjang sepinggang, melambaikan tangan sambil tertawa. "Naufal! Aduh, maafkan aku karena terlambat. Oh, untunglah kau tetap diam di tempat—kupikir sudah akan menghilang entah ke mana!"

"Bukankah sudah kubilang kalau kau tidak perlu mandi?"

Well, tidak heran lagi Tasya. Bersikap biasa saat dibongkar apa yang ada di depan mata dengan cepatnya analisa. Hal lumrah bagi mereka yang ada di lingkaran dekat si Naufal. Lantas Tasya berjinjit supaya matanya sejajar dengan mata Naufal. "Tidak mandi sebelum pergi kencan? Jangan bercanda! Aku pun muak dengan bau badanku sepulang sekolah. Jangan samakan aku dengan kau yang tidak peduli dengan penampilan!" itu pipi Naufal dicubit berkali-kali sampai merah. "Nah, mau ke mana kita sore ini? Cari cemilan? Nonton film?"

"Kau tahu salon La Bellezza?" melangkah masuk Naufal dengan Tasya di sebelah kanan. "Lantai lima kalau tidak salah."

"Kalau yang kau maksud salon tempat orang-orang kaya memanjakan diri dengan perawatan mahal nan eksotis—tahu sekedar tahu saja. Kenapa? Kau disuruh Meagel untuk pesan tempat?"

Naufal menggeleng. Jelas bukan, Meagel tidak pernah tertarik untuk mengeluarkan sejumlah besar uang demi sebuah perawatan kecantikan. Ada alasan tersendiri kenapa Naufal ingin pergi ke tempat itu; sebuah alasan yang mengakar dengan pertemuan dia dan perempuan misterius tadi pagi.

"Ah!" Tasya menarik sebelah tangan Naufal agar mereka saling hadap. "Jangan-jangan kau ya yang mau nyalon? Wah, benar-benar aib, Naufal. Kalau sampai lima temanmu tahu, pastilah akan—"

Gantian pipi Tasya yang dicubit Naufal. "Kau ini pura-pura tidak peka atau memang sebetulnya bukan wanita? Tentu saja kau, Tasya. Kau yang akan perawatan."

Tasya menganga, tatapan heran yang dia lepaskan tetap terpaku pada Naufal bahkan sampai pintu lift membuka di lantai lima.

"Ada apa?" tanya Naufal setelah sadar Tasya nampak benar-benar kebingungan.

Sikap polos Naufal lantas membuahkan tawa. "Astaga. Menurutmu, normalkah kalau kau tiba-tiba membawaku ke tempat perawatan kecantikan?"

"Harusnya normal-normal saja, kan? Kalau yang kubawa pacar tetangga, barulah jadi masalah," Naufal ikutan tertawa.

"Tentu saja tidak normal! Kau tiba-tiba membawaku ke tempat perawatan kecantikan sama saja mengatakan kalau aku ini jelek dan kurang perawatan. Oh, Tuhan—yang begini pasti kau tidak kepikiran, benar?"

"Kau tahu kalau aku tidak mungkin berniat seperti itu."

"Betul, tapi belum tentu perempuan lain bisa menerima sikapmu ini. Kalau salah paham kan bisa runyam! Meagel, contohnya. Kau jangan pernah coba-coba memperlakukan dia seperti ini, yakin murka dia pasti."

Salon yang dimaksud sudah terlihat mata mereka. Terletak tepat di bagian seberang dipisahkan oleh pagar kaca, tinggal berjalan memutar dan mereka akan sampai. Namun, Tasya malah berhenti. Berdiri saja dia menatap salon itu dari sana, tanpa sadar jemarinya mulai meraba permukaan kulit lengan yang kusam oleh matahari. Oh, wajar bukan kalau perempuan ingin dirinya cantik? Perawatan mahal dengan kenyamanan ekstra—tentu saja dia akan suka. Yah, tapi hal seperti itu tercipta bukan untuk orang seperti dia.

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang