Emilia

311 96 19
                                    

Melirik sekali lagi Aji ke arah jam tangan. Pukul empat, sudah lewat setengah jam dari waktu yang ditentukan kenalannya. Pantatnya sudah sakit dipakai duduk di kursi besi sebuah minimarket dekat stasiun. Ah, terbersit keinginan untuk segera pulang; atau mampir sebentar ke rumah Dolphy karena teman-temannya pasti sedang ada di sana. Ditambah angin sore yang sekarang bertiup kencang, makin malas dia berlama-lama di sana. Jadilah Aji bangkit berdiri, membalik badan hanya untuk mendapati perempuan yang ditunggu berlari pelan mendekat ke arahnya.

"Hai! Aji, kan?" perempuan itu menyapa dengan senyuman lebar. "Aku Emillia. Pasti kau sudah pangling, benar?"

Pangling? Bahkan Aji sebetulnya tidak ingat siapa perempuan itu!

Dua minggu lalu, dia mendapat pesan melalui Instagram. Bukan sembarang orang, dia seorang selebgram remaja yang cantik luar biasa. Tubuh tinggi semampai, kulit putih kemerahan, rambut panjang terawat diikat di bagian sisi, oh—sebagai laki-laki normal tentu Aji langsung mengagumi. Kita teman satu SD. Aku hanya ingin memperluas koneksi, begitu yang jadi alasan saat Aji bertanya kenapa dia menghubungi. Meski sebetulnya tidak ingat, percaya saja Aji terlebih saat perempuan itu sedikit demi sedikit bercerita mengenai bagaimana kehidupan SD mereka zaman dahulu. Pengalaman-pengalaman lucu, mengumpat guru, bahkan situasi kantin yang Aji ceritakan disambut seru oleh Emilia. Tidak puas hanya bercengkrama lewat pesan, keduanya sepakat untuk bertemu di senja hari itu.

"Aku pun sebetulnya pangling melihatmu sekarang, Ji. Kau jadi makin tinggi!" ujarnya lagi-lagi dengan senyuman. Satu-satunya yang membedakan dia dengan foto-fotonya di sosial media hanyalah kacamata tebal yang mungkin digunakan sebagai penyamaran. Dengan laman dengan hampir sepuluh ribu pengikut, pasti akan sulit bepergian berdua dengan orang lain tanpa ketahuan.

"Hey, kok diam sih!" tegur Emilia. "Kau banyak ngomong kalau di chat. Beginikah sifat aslimu?"

"Emm ... ya, mungkin. Ah, ti-tidak pendiam juga sebetulnya." Gagap, Aji bicara seperti orang linglung. "Sedikit gugup sebetulnya karena ini kencan pertamaku."

Jelas saja perempuan itu terbahak. "Oh, jadi kita ini kencan?" tanya Emilia dengan nada menggoda.

Makin merah wajah Aji sekarang. "Memangnya bukan?"

"Anggap saja begitu," Emilia mengedipkan sebelah matanya. Lantas ia genggam pergelangan tangan Aji, memimpin berjalan di depan menuju mal terbesar di kota Easterham.

Sebetulnya mal merupakan tempat yang paling dihindari Six Elves kala bermain. Meskipun mengasyikkan, punya banyak hal yang bisa kita lihat, menumbuhkan penasaran dan—ah, itu dia. Itu sebetulnya alasan kenapa mal paling dihindari: karena Aji. Orang yang paling tidak bisa menahan rasa penasaran tentu menjadi orang yang paling membuat kita tidak nyaman saat dibawa berkunjung ke tempat besar.

Lirik sedikit toko kue, diperhatikan betul satu persatu dari segi aroma dan visual. Hidung Aji yang tajam bisa menangkap bahan apapun yang terkandung di dalam sana. Ketemu satu yang dia suka, sudah banyak tanya keluar dari dalam mulutnya. Geram tentu saja pegawai toko karena Aji hanya banyak tanya tanpa beli satu pun kue yang dijual.

Toko pakaian dan aksesoris juga jadi korban Aji. Segala macam disentuh, segala macam dicoba. Ini ya pakaian sutra itu? Jeans ini terlalu tipis, apa mungkin memang sengaja begitu biar cepat robek? Aku suka kaus, tetapi ketebalan kaus ini sudah keterlaluan! Pegawai toko hanya bisa mengelus dada. Ada kalanya tingkah Aji sudah sangat meresahkan, kesal sudah menumpuk sampai ke ubun-ubun. Untunglah selalu ada lima temannya yang menegur dikala Aji bertingkah berlebihan. Senang pegawai toko, murunglah Aji karena merasa dikekang kebebasannya. Lama kelamaan dia jadi malas datang ke mal bersama teman.

Namun, tidak dengan sekarang. Pikir Aji, Emilia adalah perempuan cantik nan anggun yang akan menjaga image terbaiknya setiap saat. Oh, tidak ternyata. Saat Aji terbius dengan harum kue Brownies cokelat, Emilia ikut-ikutan banyak tanya juga dengan si penjual. Jadilah mereka beli dua potong, makan di meja paling sudut agar tidak mengganggu yang lain saat tuntas menerka bahan dan proses pembuatan. Bagi orang lain, Aji yang menebak satu persatu bahan dan cara memasak pastilah kedengarannya seperti anak sok tahu pencari perhatian. Ah, lain dengan Emilia. Dia malah ikut bermain; ikut tertawa kalau tebakan dia dan Aji sama, kadang mengeluh saja kalau tebakan dia dan Aji berbeda.

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now