Orang Yang Tidak Bisa Memancing

436 92 12
                                    

Suatu waktu, tersebar mitos kalau di sudut terluar kota Easterham, terdapat sebuah kolam yang ikannya cukup ramai. Ikan mujair dan gurame sebesar paha orang dewasa—tumbuh subur sampai penuh sesak di dalam kolam. Meski belum pernah ada yang menemukan, kabar itu tetap memacu orang-orang untuk pergi berburu mencari di mana gerangan lokasinya. Tersebutlah seorang pemuda, setelah sehari semalam berkeliling, berhasil ia menemukan kolam yang dimaksud. Jernih bersih airnya, padat memang sampai-sampai beberapa ikan ada yang meloncat keluar permukaan.

Hendak bersiap pemuda itu melempar kail, langit mendadak gelap; siang berubah seolah malam tengah menjelang. Dipikirnya hari memang mendung, terus saja pemuda itu sabar menunggu ikan menangkap umpan. Tak lama kemudian, pancing bergerak kencang—senang hati pemuda itu karena merasa telah sukses menangkap makan malam. Berat, kailnya terasa berat saat digulung naik, tapi si pemuda justru makin senang. Semakin berat kail, ikan yang tertangkap pun pastilah semakin besar.

Sayang, saat mencuat keluar permukaan, yang nampak bukanlah ikan segar, melainkan sosok wanita dengan mulut lebar berhias gigi macan. Pemuda itu berusaha bangkit untuk kabur, tapi usahanya sia-sia. Gigi tajam itu menancap tepat melubangi kaki, mengunci pergerakan meski tubuh meronta tanpa henti. Perlahan kaki si pemuda dikunyah bulat-bulat, tulang betisnya dihisap cepat sampai paha, diputar arah dan dilemparkan masuk ke tengah kolam. Pekik perih membahana, seiring dengan daging si pemuda yang kini tengah dinikmati semua penghuni kolam.

"Jangan-jangan—"

"Betul, Man. Kolam yang dimaksud itu—kolam di depan kita ini."

Gemetar tubuh Ilman, batang pancing yang ia pegang ikut bergetar. Keringat mulai keluar membasahi dahi, padahal malam itu cuaca sedang berangin. "Se-sebentar," Ilman kini merasa ada yang aneh dengan batang pancingnya. Seolah ada yang menggenggam; seolah ada yang hendak menariknya masuk ke dalam kolam.

Sekonyong-konyong Ilman banting batang pancingnya ke tanah, bergoyang hebat benda itu seolah ada jin di dalamnya. "Se-setan! Setan!" pekiknya ketakutan sambil melompat memeluk Aji yang kini puas terbahak.

"Ikan, Man! Itu ikan!" ujar Adyth yang melihat dari seberang. Namun Ilman tidak mendengar, pun Aji yang jahil tidak juga sadar. Beruntung saat itu Dj langsung lari mendekat, dipungutnya batang pancing Ilman untuk kemudian si senar digulung perlahan. Strike! Ikan gurame berukuran sedang berhasil naik meskipun sebetulnya ditangkap Ilman dengan tidak sengaja.

"Kusiksa betul kalian kalau sampai ikan ini lepas tadi," Dj ngedumel sembari berusaha melepaskan kail dari mulut si gurame malang. "Cuma gara-gara cerita hantu lantas kita urung makan—sudah jam delapan ini, seriuslah sedikit!"

Kesal Dj sebetulnya bukan cuma karena tingkah temannya. Ia terbawa emosi karena kolam itu macam tak ada ikan; satu jam lebih ia memancing bersama Adyth, Aji, dan Ilman, baru kali itu ada yang menggigit kail. Padahal saat itu yang memancing hanya mereka dan dua orang pria gemuk yang duduk berdekatan di bawah batang jambu. Ditambah pula tiket seratus lima puluh ribu per orang untuk masuk ke dalam sana, jelas Dj emosi saat tangannya berujung hampa. Kalau uangnya dikumpulkan, enam sekawan ini bahkan bisa beli ikan di pasar yang cukup untuk makan seratus orang manusia!

"Iya nih, Aji!" Ilman menunjuk tajam wajah Aji yang masih menyungging tawa.

"Loh, kok kau menyalahkan aku sih, Man? Aku kan hanya berusaha agar suasana memancing kita jadi ceria."

"Ceria buntutmu!" Ilman nyolot—bibirnya maju, matanya melotot. Ditamparnya lengan Aji satu kali sebagai respon akhir kekesalan yang terlanjur meninggi.

"Cukup, Ji," Adyth yang baru datang, menepis tangan Aji yang hendak membalas. "Sudah dapat berapa kalian?"

"Satu ini saja."

Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Where stories live. Discover now