Prolog

20.9K 1K 62
                                    

Di pagi hari yang cerah dengan hembusan angin sepoi-sepoi, seorang kunoichi cantik bermarga Hyuuga tengah menelusuri pasar Konoha. Ia berjalan dengan senyuman ramah yang terpatri di wajah manisnya. Walaupun merupakan bangsawan Hyuuga namun hatinya begitu rendah. Ia tidak pernah memandang seseorang dari status yang dimilikinya. Menurut Hinata semua manusia memiliki kedudukan yang sama.

"Ohayou, Hinata-chan!" Sapa bibi penjual sayuran. Hinata balas menyapanya dengan sopan. Ia menghampiri gerai bibi penjual sayuran tersebut.

"Pilihlah, Hinata-chan. Semua sayurannya masih segar." Ucap bibi tersebut. Hinata memperhatikan semua sayuran yang tampak segar itu. Namun, entah mengapa tomat yang terletak paling ujung begitu memikat seleranya.

"Tolong tomatnya sekilo, Bibi!" Pinta Hinata.

"Hanya tomat?" Hinata mengangguk.

"Entah mengapa aku ingin sekali memakan tomat." Bibi tersebut tertawa mendengar ucapan Hinata.

"Perkataanmu seperti orang mengidam saja." Candaan bibi tersebut membuat Hinata tertegun. Walau hanya candaan tapi entah mengapa Hinata merasakan takut.

Hinata pun langsung membayar tomatnya. Setelah berpamitan, Ia dengan segera kembali ke mansion Hyuuga. Dirinya merasa gelisah. Ketakutan kini menerpa hatinya. Jika di ingat-ingat, sudah lima hari ini Ia mengalami gejala kehamilan. Seperti muntah di pagi hari, merasa mual jika mencium bau yang pekat, porsi makan yang berlebihan, dan mudah merasa lelah. Padahal dirinya tidak melakukan pekerjaan berat apapun.

Hinata menggelengkan kepalanya. Ia harus berpikir positif. Tidak mungkin dirinya hamil. Lagian kejadian itu telah berlangsung lama. Sebulan lalu tepatnya.

Sebulan lalu!

Mata Hinata terbelalak lebar. Sudah lewat sebulan tapi dirinya belum juga kedatangan tamu bulanannya. Jika dihitung ini sudah lewat dua minggu. Biasanya periodenya itu selalu datang tepat waktu. Hinata mulai mencemaskan hal itu.

"Aku harus memastikannya." Batin Hinata.

***

Hinata terduduk lemah di lantai kamar mandinya. Apa yang ditakutkannya terjadi. Alat pencek kehamilan itu atau lebih tepatnya testpack menunjukkan garis dua. Artinya dirinya positif hamil.

Hinata masih tidak mempercayainya. Ia pun kembali mengecek ulang. Namun keberuntungan tidak memihak kepadanya. Sudah tiga testpack yang digunakannya dan hasilnya tetap sama. Positif.

Hinata menangis dalam diam. Mengasihani nasibnya yang tidak pernah beruntung. Kini apa yang harus Ia lakukan? Menggugurkannya? Tidak mungkin. Hatinya tidak sekotor itu sampai mau membunuh anaknya sendiri.

Hinata mengelus perutnya yang masih rata. Di dalam rahimnya ada sebuah nyawa. Sebuah nyawa yang diberikan oleh seseorang yang tidak begitu Hinata kenali. Ya, mereka tidak saling mengenal. Namun mereka melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh orang yang hanya sekedar tahu nama saja.

Hinata berniat mempertahankan anak dalam kandungannya. Ia akan membesarkannya seorang diri. Namun masalahnya perutnya tidak akan seperti ini selamanya. Lambat laun orang lain pasti akan mengetahui kondisinya. Apa yang harus Hinata lakukan sampai saat itu tiba?

***

Trang

Trang

Di sebuah hutan lebat, seorang shinobi berjubah hitam tengah bertarung melawan tiga musuh. Tiga musuh yang diketahui merupakan ninja pelarian dari desa Kirigakure. Salah satu dari mereka adalah shinobi pengguna pedang.

Dia, Uchiha Sasuke, merasa cukup kewalahan melawan shinobi pedang itu. Dua temannya yang lain berhasil Sasuke kalahkan. Hanya tersisa dia yang masih mampu bertahan setelah menerima jutsu tingkat tinggi Sasuke.

"Hei, Uchiha! Coba tebak, berapa harga kepalamu jika kutukarkan dengan uang?"  Shinobi bergigi runcing itu menyeringai seram menatap Sasuke. Sasuke tidak peduli. Ia kembali menyerang orang itu dengan kusanaginya.

"Pedangmu cukup bagus." Serangan Sasuke berhasil ditahan orang itu dengan pedangnya. Lalu pedang berbentuk bulan sabit itu berubah warna menjadi biru dan menyerang Sasuke.

Serangan tersebut berhasil mengenai bahu kanan Sasuke. Sasuke pun jatuh terduduk merasakan nyeri di bahunya. Padahal hanya luka goresan biasa, namun mengapa bahunya terasa sangat sakit seperti menerima luka dalam.

"Lihatlah pedangku ini!" Orang itu menunjukkan pedangnya ke arah Sasuke.

"Warna biru yang mengalir di pedangku ini merupakan chakra khas ku. Satu kali terkena walau hanya luka kecil, chakraku yang telah masuk ke dalam lukamu akan mulai bekerja untuk melumpuhkan pergerakanmu dan menghacurkan organmu yang lain." Sasuke mendecih kesal. Seperti yang dikatakan orang itu, tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan.

"Jadi, nikmatilah waktumu sebelum ajal menjemput." Shinobi itu tertawa bagaikan orang kesetanan. Ia merasa hebat bisa mengalahkan salah satu dewa shinobi. Namun tawa itu hanya berlangsung sebentar. Karena Sasuke menusuknya dari belakang dengan pedang kusanaginya.

"Kau lengah." Ucap Sasuke. Orang itu menatap tidak percaya Sasuke. Bagaimana Sasuke bisa bergerak setelah Ia lumpukan?

"Dengan kekuatan mata kiriku, aku bisa menekan keluar chakramu yang masuk ke tubuhku." Sasuke semakin memperdalam tusukan pedangnya. Orang itu pun muntah darah.

"Seharusnya kau lebih bijak dalam memilih lawanmu." Sasuke menarik paksa pedangnya. Membuat orang tersebut jatuh ke tanah dengan darah yang berceceran.

"K-kau...d-dasar i-iblis U..chi..ha!" Lirihnya sebelum ajal benar-benar menjemputnya. Sasuke menatap dingin mayat tersebut. Dia adalah orang kesekian yang mengutuk dirinya.

Sasuke menatap langit yang dipenuhi awan. Pikirannya melayang ke hari itu. Saat itu dia juga mengutuk dirinya. Sasuke tak bisa melupakan bagaimana rintihan kesakitan perempuan itu saat dirinya memaksanya. Sasuke juga tak bisa melupakan tangisan pilu penuh keputusasaan itu. Ada sebersit rasa bersalah di hati Sasuke. Namun dirinya enggan mengakui itu. Egonya begitu besar. Harga dirinya terlalu tinggi. Itulah yang menjadi penghalang dirinya untuk mengakui kesalahannya.

Sasuke memejamkan mata kelamnya. Lalu menghela nafas kasar. Kejadian itu telah lama berlalu. Seharusnya Ia tidak terlalu memikirkannya. Sasuke merasa tidak seperti dirinya yang biasanya.

Sasuke mencoba menyingkirkan pikirannya itu. Ia kembali melanjutkan perjalanan penebusan dosanya. Penebusan dosa? Sasuke terkekeh geli. Bukankah sangat lucu saat dirinya menyebut perjalanan penebusan dosa? Kejadian waktu itu tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan penebusan dosa. Dirinya telah merebut sesuatu yang bukan haknya. Ia mengambilnya secara paksa. Namun, Sasuke tidak bisa melupakan dosa yang menurutnya sangat nikmat itu.

To be continued

My second story with pair Sasuhina, Yeay!
















Not PresumedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang