21. Di Bawah Pohon Flamboyan

3.7K 356 58
                                    

Gilang meletakkan barang belanjaannya di atas meja dapur. Lantas, beralih mencari keberadaan ponsel di dalam saku celana abu-abunya. Beberapa menit yang lalu, dia merasakan ponselnya bergetar, pertanda ada pesan masuk. Ya, semoga saja pesan penting, bukan ajakan main togel atau 'mama minta pulsa'.

Farrel
Lang, lo jangan biarin Netta pegang handphone! Apalagi sampai buka aplikasi sosmed, jangan sampai! Gua sama anak-anak masih berusaha nyekidikin semuanya.

Sialan!

Gilang mengumpat kasar, wajahnya berubah sangar, juga urat-urat lehernya mulai menampakkan diri. Tangan kirinya sudah mengepal kuat, sementara tangan lainnya dia angkat tinggi-tinggi. Ponsel di tangannya hampir saja dia banting kalau saja Netta tak datang tepat waktu.

"Jangan, Lang!" Suara itu sontak membuat Gilang kembali menurunkan tangannya cepat. Kini gadis itu berdiri di sisi lemari es yang berdiri kokoh di dekat pintu dapur, Netta menatap bingung ke arah kekasihnya itu.

"Ada apa?" tanyanya, kemudian ia berjalan mendekat.

Gilang menggeleng. "Enggak papa!" ujarnya sembari mengulum seulas senyuman, meski Netta tahu, itu adalah senyum paksa.

Tangan kanan Netta bergerak mendekati wajah Gilang. Netta mengusap lembut kedua rahang milik laki-laki di hadapannya, secara bergantian. Usapannya begitu lembut, tentunya dengan gerakan slow motion. Netta menatap sendu kedua manik mata yang menurutnya sangat indah. Tatapan yang semula tajam, kini berubah teduh dan menenangkan. Netta menyukai tatapan itu. Apa bisa dia memiliki mata itu selamanya?

Entah dari mana datangnya dorongan itu, tiba-tiba Netta berhambur memeluk tubuh Gilang erat. Sementara yang dipeluk hanya diam terpaku. Netta menenggelamkan separuh wajahnya di dada hangat yang menjadi tempat favoritnya itu. Irama detak jantung Gilang selalu saja menjadi candu untuknya.

"Kenapa, Lang?" tanya Netta pelan.

Gilang membelai lembut rambut panjang gadis itu. "Enggak papa!"

Netta menengadah, menatap wajah Gilang. Meski separuh wajahnya masih menempel di sana. "Kenapa detak jantung kamu cepat sekali?"

Gilang membalas tatapan itu. "Emang iya?"

Netta mengangguk pasti.

"Mungkin karena kamu peluk," jawab Gilang disusul kekehan kecil.

"Jangan marah sama siapapun!"

"Aku nggak marah, Netta."

"Dia yang marah." Netta menunjuk letak jantung Gilang. "Nggak papa kalau kamu nggak mau ngasih tau aku masalahnya apa,  yang jelas kamu harus jaga emosi! Kamu nggak boleh berantem pokoknya!" ujar Netta tegas. Kali ini tidak memelas, kesannya seperti tak ingin dibantah.

"Iya, sayang!" Gilang mengecup kening Netta lembut. "Waktunya masak!" seru Gilang kemudian.

"Kamu yang masak," ujar Netta.

"Masak bukannya tugas istri, ya?"

"Iya, sih, tapi suami wajib ngebantu istrinya. Nggak kasihan liat istrinya kecapekan?"

"Iya-iya, dasar paling bisa ngejawab."

***

"Gua nggak habis pikir, kenapa berita ini bisa nyebar di sekolah? Siapa coba yang udah berani nyebarin gosip murahan tentang Netta? Dengan sok sucinya, si pecundang itu sembunyi di balik embel-embel peduli. Cuih! Pengecut!" Lintang mengumpat dengan sorot mata tajam, menyala.

NETTA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang