11. Titik Nadir (2)

6K 475 68
                                    

HAPPY (SAD) READING!


__________________________________________

Hidup memang tak semudah melafalkan 'I love my life so you should love your life as much as I do' dengan lantang.
Hidup memang benar-benar membutuhkan effort yang sangat besar. Yang akan menguji kesiapan, kesabaran, keberanian, dan keseluruhan dari diri kita.

***

Gilang memasuki sebuah ruangan bernuansa putih, indra penciumannya hanya menghirup bau obat-obatan. Setelah menutup pintu, matanya  tertuju pada seorang gadis yang tengah terbaring tak berdaya di atas brangkar rumah sakit, tepatnya di ruang ICU. Sebuah selang oksigen dan beberapa alat medis lainnya sudah terpasang lengkap di tubuhnya, tentunya sebagai penunjang kehidupan gadis itu saat ini.

Saat ini, jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Tadinya Gilang sempat ke sekolah. Namun, hanya sekedar 'titip absen' pada keempat sahabatnya. Setelahnya dia memilih pergi. Memang saat ini, pelajaran di kelasnya belum efektif, jadi dia masih bisa keluar-masuk sekolah.

Dengan langkah pelan, Gilang berjalan mendekati gadis itu. Suara langkah kakinya beradu dengan suara monitor yang digunakan untuk memantau detak jantung gadisnya.

"Hei, jelek! Apa kabar?" sapa Gilang pada gadis yang masih terbaring lemah di hadapannya.

Gilang menyunggingkan seulas senyum hangat kepadanya, berharap gadis itu akan membalas tersenyum dan berbalik menyapanya. Namun, tidak selamanya harapan akan sesuai dengan kenyataan. Kadang justru berbanding terbalik. Lihat saja! Gadis itu diam, tak bereaksi sama sekali. Membuka mata pun tidak.

Gilang tersenyum getir. "Kenapa diam, hem?" tanyanya lagi. Gilang memperhatikan dengan lekat kedua mata yang sangat dia rindukan saat ini. Mata yang jika dia tatap, rasa ingin memiliki mata itu untuk selamanya akan semakin besar. Kenapa mata itu terus terpejam? Kenapa dia enggan membuka mata? Apa gadis itu tidak ingin menatapnya? Gilang merindukannya. Sungguh!

"Yaudah kamu tidur aja kalo gitu, kamu ngantuk banget, ya? Kamu pasti capek. Lagian kamu nakal, sih. Dibilangin jangan begadang, suka ngeyel. Malahan suka gangguin aku tengah malam, katanya nggak bisa tidur kalo nggak denger suara aku dulu." Gilang mengembuskan napas pelan.

"Sampe akhirnya obrolan kamu kemana-mana, dari nge-gibahin keempat kutu kebo' itu, curhat karena kesel sama ibu gara-gara dipaksa buat bantu ngerjain catering orang, pokoknya sampe keluh-kesah kamu hari itu keluar semua. Kalau kata kamu biar nggak ada beban lagi buat besok." Gilang menyondongkan tubuhnya agar sejajar dengan gadis itu. Tangan kanannya terarah untuk mengusap lembut puncak kepala gadisnya.

"Sampe nggak kerasa kalo udah jam dua belas malam aja, itu artinya ocehan-ocehan kamu harus dihentikan secara paksa. Sebenarnya aku suka jika harus menjadi pendengar untuk cerita kamu, bahkan dua puluh empat jam aku bisa. Aku seneng. Itu artinya kamu percaya sama aku. Dan secara otomatis, lingkaran waktu akan membawa kita dalam masa, di mana hanya ada kita berdua. Tapi kamu tahu enggak, kenapa aku selalu ngasih batasan? Karena kesehatan kamu, itu yang paling penting. Aku mau hari esok kita bertemu dan kamu dalam keadaan sehat," ungkap Gilang pada gadis itu.

Gilang tertawa hambar. Urat-urat di wajah juga lehernya bermunculan. Wajah dan matanya memerah. "Tapi aku nggak suka kalo kamu diemin aku kayak gini!" sungut Gilang lantang kemudian berdiri tegak dan memilih membelakangi gadis itu. Tanpa dia minta, genangan air di pelupuk matanya berhasil lolos. Air matanya berhasil lepas kendali. Lagi, Gilang menangis karena gadis itu.

NETTA [END]Where stories live. Discover now