07. Garis Kehidupan

6.4K 476 23
                                    

Tiba-tiba laki-laki itu membuka kaca jendela di belakangnya, membuat rambut panjang Netta tertiup angin. Hingga secara tidak sengaja rambutnya menyapu lembut wajah laki-laki itu. Yang membuat Netta kaget, dengan beraninya laki-laki itu mengendus mencium aroma rambutnya.


Netta berusaha berpikir positif. Ia tak ingin berpikir lebih jauh lagi, hingga akhirnya Netta memilih memainkan ponselnya.

Jemari lentik Netta terulur untuk membuka story chat-nya dengan Gilang. Sebenarnya ia tidak ingin membaca atau mengirim pesan pada cowok itu, hanya sekedar menyibukkan diri. Daripada sibuk berprasangka aneh.

Saat Netta tengah sibuk memainkan ponsel, laki-laki misterius itu kembali menunjukkan gelagat aneh. Laki-laki itu membawa tangan kirinya bertumpu di jok penumpang, mengisi jarak antaranya dan Netta. Otomatis di antara mereka nyaris tidak ada jarak lagi. Gadis itu kembali dikagetkan saat lelaki itu berusaha mencium rambutnya, mengendus tanpa rasa risih dan malu. Padahal kondisi dalam angkot itu hampir penuh.

Kini gadis itu gelisah dengan asumsinya sendiri, karena itu Netta memilih membuang muka ke arah kaca besar di bagian belakang mobil—hampir membelakangi laki-laki misterius di sebelahnya. Sesekali gadis itu melirik ponsel, harap-harap cemas.

Yang paling mengejutkan dan membuat Netta hampir menangis, dengan beraninya laki-laki itu memegang pahanya lantas beralih meraba punggungnya.

"Anjing!" umpat Netta spontan membuat laki-laki itu menarik tangannya. Netta tak habis pikir, masih ada saja lelaki brengsek yang berani melecehkan seorang perempuan di tempat umum seperti itu.

Tidak ada seorangpun penumpang yang mencoba bertanya pada Netta. Semuanya cuek seperti tidak terjadi apa-apa. Karena itu Netta memilih turun dari angkot itu.

"Kiri, Bang!!" ucap Netta gemetar, suaranya nyaris tak kedengaran. Gadis itu sudah ketakutan setengah mati, matanya sudah memerah menahan tangis, ingin rasanya ia loncat dari angkot itu sekarang juga.

"Berhenti, Bang!!!" teriak Netta lebih lantang, membuat sang sopir mengerem mendadak.

Netta segera berlari setelah membayar biaya tumpangannya, tanpa peduli uangnya lebih atau kurang. Yang ada di pikirannya sekarang, ia harus berlari mencari tempat aman. Setelah berlari cukup jauh, Netta memilih untuk duduk dan beristirahat di sebuah kursi halte. Kakinya sudah keram, badannya gemetar hebat. Kejadian di angkot tadi kembali berkelana di pikirannya, air mata yang sedari tadi ia tahan, kini tumpah.

Dengan tangan gemetar, Netta men-slide layar ponselnya dan menghubungi sebuah nomor di sana. Sialnya, pemilik nomor itu tidak mengangkat teleponnya. Apa mungkin dia sudah tidur? Mungkin benar. Ini memang sudah waktunya tidur untuk sebagian orang, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sedangkan gadis itu masih di luar sendirian, dengan rasa takut yang sudah berkecamuk di rongga dadanya.

"Angkat, please," lirih Netta sembari menggigit ujung jari telunjuknya. Namun tetap saja, orang itu enggan mengangkat teleponnya.

Netta kembali menghubungi nomor yang sama hingga beberapa kali, namun tetap saja tidak ada jawaban. Malam semakin larut, jalanan juga sudah sangat sepi, tak ada angkot ataupun taksi yang lewat. Saat ini, tak ada yang bisa Netta lakukan selain menangis.

***

"Si gila itu ke mana lagi?! Ke toilet aja lama bener," ujar Samuel sembari mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Gilang. "Apa jangan-jangan dia diculik om-om lagi, atau enggak, dia nge-lahirin di dalem toilet. Hem, enggak bener, nih." Samuel mulai berbicara sendiri dengan opini-opini gilanya, lalu kembali menyesap soft drink pesanannya tadi.

NETTA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang