Sepuluh Detik

Mulai dari awal
                                    

Braaaaak!

Kursi kayu yang dipakai duduk, jatuh dengan keras menghantam lantai karena Dolphy tiba-tiba bangkit berdiri. Seisi restoran tiba-tiba sunyi, menghentikan gerak karena ingin tahu apa yang sedang terjadi. Dolphy hanya berdiri sambil melotot dengan wajah penuh nafsu, membuat orang yang tadi bingung, kini kesal karena merasa terganggu.

Tentu tidak dengan Naufal, ia tahu persis apa yang Dolphy rencanakan. Dolphy menghentak kursi, menimbulkan kegaduhan tepat jam sembilan, tepat pada waktu pembunuhan yang diperkirakan si kursi opera. Kalau memang pelakunya punya trik khusus macam Roni, tentu perbuatannya akan mendadak terhenti.

Kini sudah lewat jam sembilan. Meskipun hanya satu menit, tetap saja ini angka yang penting. Pembunuhannya tidak terjadi!

"Ada yang salah, Phy?" tanya Adyth akhirnya setelah Dolphy kembali menggurat senyum.

"Tidak, tentu tidak ada!" Dolphy menjawab dengan sumringah. "Makan lagi, kawan! Ayo tambah!"

Namun, ajakan Dolphy kali ini tidak disambut meriah. Pemicunya satu: raut wajah Aji yang kini berubah kelabu. Mood meja langsung hancur; melihat teman mereka yang satu itu mendadak berubah dari santai menjadi serius, jelas mengindikasikan hal yang tidak beres sedang terjadi.

"Aku—mendengar sesuatu," ucap Aji perlahan. Matanya terpejam, berkonsentrasi penuh berusaha menajamkan telinga. "Kedengarannya seperti buah kelapa yang jatuh ke dalam kolam."

"Kelapa? Bukannya di sekitaran sana tidak ada pohon kelapa?"

"Itulah makanya aku jadi heran!" Aji makin ngegas. Meskipun di luar hujan deras, terlihat betul dari raut muka kalau Aji tidak sedang salah sangka. "Apa mungkin—"

Byuurr!

Bukan hanya Aji kali ini, semua yang ada di dalam restoran bisa mendengar dengan jelas kalau barusan—sesuatu yang besar tengah menghantam kolam. Terang saja enam sekawan ini bangkit berdiri, langsung lari menerobos hujan untuk melihat apa yang sebenarnya jatuh.

Bukan batang pohon, bukan pula bangunan runtuh—yang terjatuh dan kini mengambang di permukaan merupakan tubuh seorang manusia; besar dan gemuk—tanpa kepala. Meski mata buram dikaburkan deru hujan, enam sekawan ini melihat betul darah segar masih mengucur keluar dari pembuluh leher yang putus. Air kolam yang tadi hijau oleh alga, perlahan berubah merah tertutup darah. Sungguh pemandangan yang pastinya tidak ingin kau saksikan langsung dengan mata.

"Astaga!"

Teriakan itu datang dari Samuel dan Daka yang baru mendekat dengan mengenakan payung, bersama dua orang pegawai yang tentu panik karena kejadian buruk menimpa tepat saat shift mereka berjaga.

"I-itu—Anto?"

Selain mungkin hapal dengan bentuk tubuh temannya, ada hal lain yang membuat Daka langsung sadar: kepala Anto tengah mengambang dekat tepian kolam. Terlihat betul mata yang masih melotot dan mulut membuka, seolah Anto disembelih dalam kondisi sadar sepenuhnya.

Menoleh cepat Naufal ke arah jendela yang paling dekat dengan kolam. Satu garis lurus di bagian atas, terbuka lebar dengan noda darah terlihat membekas di kusen kayu bagian luar. Ah! Gawat!

"Pelakunya! Kejar pelakunya, Man, Ji!"

Ilman lantas melesat cepat masuk ke dalam restoran, disusul Aji di belakang yang larinya tentu tak secepat Ilman. Tak lagi mengelak, Ilman bahkan melompati meja dan kursi restoran dengan kecepatan tinggi. Berbelok tajam ia ke kanan, hanya butuh satu kali langkah untuk melewati lobi penginapan dan keluar lewat pintu depan. Nihil, kanan-kiri ia tengok tak dapat apapun kecuali gelap dan halaman parkir penuh kerikil.

Cepat—otaknya harus cepat mengambil keputusan. Arah mana?! Kanan atau kiri? Kalau salah ambil keputusan, satu-satunya kesempatan pengejaran akan menghilang bersama derasnya hujan. Oh, itulah kenapa Naufal memasangkan ia dengan Aji. Begitu keluar temannya itu dari lobi, matanya yang tajam langsung menangkap jejak kerikil yang tersapu oleh pijakan kaki. "Kanan, Man! Kanan!"

Aba-aba itu disambut langsung oleh Ilman, melesat ia seperti tingkahnya saat mengikuti festival olahraga tahun lalu—menembus hujan layaknya peluru. Gesit kakinya, gesit pula mata Ilman mencari arah apapun yang masuk mata. Kini tak lagi ia berada di area pemancingan, sudah masuk ke jalan yang kanan-kirinya hutan. Sayang, matanya tak setajam Aji yang jauh tertinggal di belakang. Yang nampak dalam pandangan hanya gelap dan hujan—perlahan larinya pun melamban.

"Dia berhasil kabur?" Aji akhirnya menyusul dengan nafas yang kini naik-turun.

"Dengan berlari? Mustahil—kalau dihitung kasar, aku sampai ke pintu depan hanya selisih kurang dari setengah menit sejak tubuh korban jatuh ke air."

"Benar juga," Aji menatap sekeliling. Wajar Ilman kehilangan jejak, di tengah hutan seperti ini pastilah Ilman hanya bisa melihat gelap. "Dan kau berlari kemari—seratus meter lebih, hanya dalam sepuluh detik," gumam Aji setelah melirik sebentar jam di pergelangan. "Kecuali orang itu atlit olimpiade, ia harusnya masih ada di sekitar sini."

"Trik—orang itu pasti pakai trik," mengangkat ke atas kepala Ilman, menatap arah datangnya hujan, menikmati kegagalan pengejaran yang harusnya menjadi spesialisasi dia seorang.




Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Opera Berdarah (Story Series of Six Elves)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang