14. Sahabat atau Pacar Posesif?

Comincia dall'inizio
                                    

Sepulang sekolah tadi, Rena meminta Amel untuk menemaninya jalan-jalan, sekalian shopping katanya. Rena memang sedang berusaha menyibukkan dan menghibur diri dengan mengunjungi tempat-tempat yang ramai.

Dia tidak ingin terus berada dalam keterpurukan dan meratapi nasibnya. Dia tidak ingin penyakit yang di deritanya menjadi cambuk juga siksaan untuknya.

Rena ingin berusaha bangkit, kalau perlu dia harus melawan dan mengalahkan penyakit yang di deritanya itu.

"It's okay, gue seneng kok. Kan kita juga udah lama nggak jalan berdua, gara-gara pacar lo itu yang selalu menyita waktu lo," ucap Amel sedikit mengomel.

Rena terkekeh pelan. "Iya, sih! Udah lumayan lama, terakhir kita jalan berdua sebulan yang lalu kalo nggak salah. Iya nggak, sih?"

"Iya bener, jadi kangen juga kayak gini. Eh, foto bareng yuk!" seru Amel sembari mengeluarkan ponselnya.

"Boleh, boleh." Rena tak kalah antusias. Mereka berpose dengan salah satu tangan berbentuk lambang damai, alias 'peace'.

Cekrek!
Cekrek!
Cekrek!

"Silahkan, Mbak!" ucap salah seorang pelayan setelah meletakkan pesanan mereka di atas meja. Membuat Rena dan Amel segera menghentikan aksi selfie-nya.

"Makasih, Mbak," ucap Rena dan Amel bersamaan.

"Foto-fotonya dilanjut nanti ya. Gue udah laper nih, Ren," ujar Amel sembari mengelus-elus perutnya yang sudah sangat lapar karena telat makan.

Rena mengangguk. "Heem, sama. Gue juga!"

Sambil menikmati makan siangnya, Amel juga sibuk mengamati hasil jepretan foto-foto tadi di layar ponselnya. Amel menggeser slide demi slide, dia berusaha mencari kekurangan yang kemungkinan ada dalam salah satu foto itu. Jika memang ada, itu artinya harus dihapus.

Rena kemudian memilih salah satu foto yang dianggap paling sempurna untuk diposting pada akun sosial medianya.

Dahi Amel mengkerut setelah memperhatikan wajah Rena di foto itu. Sahabatnya itu terlihat sangat pucat.

Amel menatap Rena dengan tatapan menyelidik. "Yakin lo nggak papa, Ren? Lo nggak lagi sakit, kan?" tanya Amel tiba-tiba. Membuat Rena hampir tersedak makanan.

Rena segera menyesap es teh di depannya kemudian mengelap mulutnya dengan tisu.

"Gue enggak papa kok. Kenapa emang? Emangnya gue keliatan sakit, ya?" tanya Rena bingung.

Raut wajah khawatir terpancar di wajah Amel. "Lo pucat banget, sumpah! Kok gue baru ngeh ya?!"

Rena segera meraih ponselnya, gadis itu memperhatikan wajahnya secara detail melalui pantulan layar ponselnya. Memang benar. Dia terlihat pucat.

"Emang iya? Biasa aja kayaknya, mungkin karena gue abis pake bedak terus lupa pake lipstik. Jadi kelihatan pucat gitu," elak Rena asal.

"Tapi gue denger sih, akhir-akhir ini lo lagi kurang sehat. Itu bener? Lo kok nggak bilang ke gue, terus di sekolah lo keliatan baik-baik aja. Lo beneran nggak papa?" Amel menatap Rena dengan tatapan menyelidik.

"Siapa yang bilang, orang gue nggak papa! Lo lihat sendiri kan, gue masih sanggup keliling mall tadi." Rena kembali mencoba meyakinkan sahabatnya itu.

"Kemarin gue ke rumah lo, tapi lo malah nggak ada di rumah. Gue cuma ketemu sama Bi Heni, dia bilang kalo lo pergi ke rumah sakit. Emang lo sakit apa?"

Amel semakin bingung memikirkan hal itu. Bagaimana kalau Rena bener-bener sakit? Apa iya dia sengaja menutupinya? Amel rasa tidak mungkin Rena melakukannya. Selama ini Rena selalu terbuka padanya, perihal apapun itu.

NETTA [END]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora